Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Kebenaran Pahit di Balik Amplop Putih
Ponselnya Karina berdering. Pihak rumah sakit, tempat ia melakukan tes kesuburan atas permintaan ibu mertuanya, mengabarkan bahwa hasilnya sudah keluar.
Tanpa membuang waktu, Karin segera bergegas menuju rumah sakit terbaik di Ibu Kota itu. Dalam perjalanan hatinya dipenuhi semangat, ia sudah membayangkan betapa leganya ia bisa menunjukkan bukti kepada Ibu mertua bahwa ia baik-baik saja. Dengan begitu, tekanan soal anak akan sedikit berkurang. Ia bahkan sudah menyiapkan ponselnya, siap merekam penjelasan dokter untuk dikirimkan kepada ibu mertuanya yang sedang menemani suaminya dinas ke Jepang.
Dokter wanita yang menanganinya menyambut Karina dengan senyum ramah, namun ada nada hati-hati dalam suaranya.
"Silakan duduk, Bu Karina. Hasil pemeriksaan sudah kami terima," ujar Dokter itu, menyerahkan amplop putih.
Karin mengambil amplop itu, dadanya berdebar penuh antisipasi. "Gimana, Dokter? Semuanya bagus, kan? Saya yakin semuanya normal. Mungkin memang belum dikasih Tuhan saja," katanya, sambil menyalakan mode rekam video di ponselnya. "Dokter, tolong jelaskan hasilnya secara singkat dan jelas ya, saya mau kirim ke Ibu mertua saya."
Dokter itu menatap Karin dengan tatapan kasihan. "Bu Karin, saya harap Anda tetap tenang. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ada kendala serius..."
Karina mengernyit. "Kendala apa, Dokter? Maksudnya ada yang harus diperbaiki? Vitamin?"
Dokter itu menghela napas, nadanya berubah profesional dan serius. "Maaf, Bu Karina. Dari serangkaian tes yang kami lakukan, termasuk analisis hormon dan pemindaian organ reproduksi ... hasil ini, sayangnya, jauh dari ekspektasi. Anda ... didiagnosis Mandul."
Seketika, senyum di wajah Karin membeku. Ponselnya, yang sedang merekam, jatuh dari tangannya ke atas meja, menghasilkan bunyi bluk kecil yang memecah keheningan ruangan.
"Ma-mandul?" kata Karina, suaranya seperti bisikan tak percaya. "Apa? Tunggu, Dokter, ada yang salah, kan? Mungkin sampelnya tertukar? Atau tesnya salah?"
Dokter itu menggeleng pelan. "Kami sudah melakukan semua tes sesuai prosedur dan ini adalah rumah sakit terbaik, Bu Karin. Hasilnya valid. Secara medis, peluang Anda untuk memiliki anak secara alami, sangat, sangat kecil."
Karina tidak bisa berkata-kata. Ia merasa seperti ada yang menghantam dadanya. Air mata langsung membanjiri matanya. Ia menangis histeris, isakan yang dipenuhi amarah, penyesalan, dan ketakutan yang mendalam. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, ia langsung bangkit dan berlari keluar ruangan, tidak sanggup mendengar kebenaran itu lagi.
Di luar rumah sakit, Karin membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Ia membaca terminologi medis yang rumit, namun kesimpulan akhirnya jelas: Infertilitas Permanen. Sialan, itu benar-benar mandul.
...----------------...
Karin mengemudi ke rumah Ibunya, Saras. Ia masuk dengan panik, air mata dan maskaranya berlepotan.
"Mami!" panggil Karin, suaranya serak dan putus asa. Ia bahkan tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Saras, yang dipanggil Mami, terkejut melihat putrinya dalam keadaan seperti itu. "Ada apa, Karin? Kenapa kamu panik begini? Hasil tesnya kenapa?"
"Mi ... Mi, aku ..." Karin terisak lagi. "Aku ... aku mandul, Mi!"
Saras syok. Ia membeku selama beberapa detik, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya berubah pucat pasi.
"Mandul? Itu tidak mungkin, Karin! Itu bohong! Pasti ada yang salah dengan tesnya! Ayo, kita ke rumah sakit lain! Kita coba di Singapura!" desak Saras, panik.
"Nggak, Mi!" Karin menggeleng kuat. "Aku tes di rumah sakit terbaik di negara ini! Itu juga pilihan Ibu mertua! Hasilnya nggak mungkin salah, Mi!"
Saras memaksa dirinya untuk berpikir jernih. Semua kepanikan itu segera berganti menjadi perhitungan bisnis yang kejam. Ia menarik Karin menjauh dari pintu, memastikan tidak ada yang mendengar.
Karin menggeleng di antara isak tangisnya. "Belum, Mi. Aku bahkan nggak sanggup telepon kamu."
Saras menarik napas lega. "Bagus. Dengarkan Mami. Kita harus segera menyuap Dokter dan semua orang yang terlibat dari pemeriksaan ini untuk tutup mulut. Berapa pun biayanya, Mami akan tanggung."
Saras menangkup wajah Karin, tatapannya penuh peringatan yang keras.
"Kamu jangan pernah bocorkan perihal ini kepada siapa pun! Jangan sampai Sergio, apalagi orang tuanya, tahu tentang ini! Rahasia ini harus kita kubur dalam-dalam, Karin. Ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk tetap bertahan."