NovelToon NovelToon
Pemain Terahir DiGame Sampah Mendapatkan Class Dewa!

Pemain Terahir DiGame Sampah Mendapatkan Class Dewa!

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Nocturnalz

Di dunia yang dipenuhi oleh para gamer kompetitif, Kenji adalah sebuah anomali. Ia memiliki satu prinsip mutlak: setiap game yang ia mulai, harus ia selesaikan, tidak peduli seberapa "ampas" game tersebut. Prinsip inilah yang membuatnya menjadi satu-satunya pemain aktif di "Realms of Oblivion", sebuah MMORPG yang telah lama ditinggalkan oleh semua orang karena bug, ketidakseimbangan, dan konten yang monoton. Selama lima tahun, ia mendedikasikan dirinya untuk menaklukkan dunia digital yang gagal itu, mempelajari setiap glitch, setiap rahasia tersembunyi, dan setiap kelemahan musuh yang ada.
Pada sebuah malam di tahun 2027, di dalam apartemennya di kota metropolitan Zenith yang gemerlap, Kenji akhirnya berhasil mengalahkan bos terakhir. Namun, alih-alih layar ending credit yang ia harapkan, s

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nocturnalz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35: Unjuk Gigi Sang Master

Jalan kembali dari Dojo Cermin Ketenangan terasa seperti berjalan di dunia yang sama sekali baru. Warna-warna tampak lebih tajam. Aku bisa merasakan pergeseran angin di kulitku sebelum dedaunan berdesir. Setiap langkahku terasa seimbang dan disengaja. Aku menghunus Astrafang. Bilah legendaris itu, yang sebelumnya terasa seperti alat yang kucoba paksa untuk kuturuti, kini terasa seperti bagian dari jiwaku, berdenyut selaras dengan detak jantungku.

Aku tiba di stasiun pemadam kebakaran saat senja. Pemandangan pertama yang menyambutku adalah Ryo, yang berdiri di gerbang yang telah ia perbaiki, palu perang tersampir di bahunya. Ia sedang menguji mekanisme penutupan baru.

Saat ia melihatku, ia berhenti bekerja. "Kenji-san! Kau kembali!"

Suaranya menarik yang lain. Elara muncul dari bengkel, Nephie yang mungil bersembunyi di balik jubahnya, dan dari atap, sebuah bayangan melesat turun dengan keanggunan yang mustahil, mendarat tanpa suara di depanku. Anya.

Mereka semua menatapku. Dan mereka semua terdiam.

Aku pasti terlihat sama. Pakaianku berdebu karena perjalanan, rambutku berantakan. Tapi aku bisa melihat dari mata mereka bahwa mereka merasakan apa yang kurasakan. Perubahan itu begitu fundamental, begitu jelas, hingga memancar dariku seperti aura.

"Kenji-san..." kata Anya pelan, matanya yang seperti kucing menyipit, menganalisis. "Kau... berbeda. Sesuatu tentang caramu berdiri."

Elara mengangguk, matanya yang bijaksana memancarkan pemahaman. "Auramu... telah tenang. Kekuatanmu yang bergolak kini telah terfokus. Seperti sungai yang deras telah menemukan jalurnya yang dalam."

Aku tersenyum tipis. "Ujiannya berhasil," kataku, mengangkat Astrafang. Cahaya senja memantul dari bilah bintangnya. "Jurang itu... telah dijembatani."

Anya, yang tidak pernah puas hanya dengan kata-kata, menyeringai. Itu adalah seringai dari seorang [Lunar Strider], seorang predator puncak yang baru saja melihat sesuatu yang menarik. "Kata-kata itu murah," katanya, nada suaranya penuh tantangan main-main. "Buktikan."

Ia menghunus [Moonfang Dagger]-nya. "Satu ronde. Hanya untuk melihat."

Aku tertawa kecil. "Ide yang buruk, Anya."

"Kita lihat saja."

Sebelum aku sempat bereaksi, dia menyerang. Dia tidak menahan diri. Diberkati oleh [Lagu Kelincahan] permanen yang tampaknya selalu dinyanyikan Elara di sekitar benteng, Anya bergerak. Dia lenyap. Dia tidak berlari; dia menggunakan [Tarian Hantu], berteleportasi dari bayangan gerbang ke bayanganku sendiri, muncul tepat di belakangku, belatinya mengarah ke leherku. Itu adalah serangan yang sempurna, serangan yang akan melumpuhkan 99% musuh.

Dan aku... aku hanya bergeser.

Aku tidak berbalik. Aku tidak menggunakan skill. Aku hanya menggeser berat badanku ke kaki kiriku, memutar pinggulku sepersekian inci. Gerakan itu membuat tubuhku keluar dari lintasan belatinya hanya beberapa milimeter. Belatinya hanya memotong udara kosong.

Momentum Anya yang luar biasa membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan. Bagi mata biasa, itu tidak terlihat. Tapi bagiku, itu adalah sebuah celah sebesar gerbang garasi.

Aku tidak menyerangnya. Aku bahkan tidak menggunakan Astrafang. Aku hanya mengangkat tangan kiriku yang bebas, telapak tanganku terbuka. Aku menangkap pergelangan tangannya yang memegang belati. Dengan satu putaran pergelangan tangan yang cair—sebuah teknik Kunci Sendi yang kutahu secara naluriah—aku menggunakan momentumnya untuk melawannya.

Anya terkesiap kaget saat tubuhnya sendiri memaksanya berputar di udara. [Moonfang Dagger] terlepas dari genggamannya. Aku menangkap belati itu di udara dengan tangan kananku, sementara aku dengan lembut menempatkan Anya kembali ke tanah, kini tak bersenjata.

Semuanya terjadi dalam waktu kurang dari dua detik.

Keheningan total.

Anya menatap tangannya yang kosong, lalu pada belatinya yang kini ada di tanganku, lalu kembali padaku. Matanya yang seperti kucing melebar tak percaya.

"B-bagaimana...?" bisiknya. "Aku bahkan tidak... melihatmu bergerak."

Aku mengembalikan belatinya, gagangnya terlebih dahulu. "Aku tidak perlu," jelasku. "Tubuhmu memberitahuku semua yang perlu kuketahui. Cara bahumu bergerak sebelum kau berteleportasi. Cara napasmu tertahan tepat sebelum kau menyerang. Kau cepat, Anya. Sangat cepat. Tapi kau masih... berisik."

Aku menunjukkan kepada mereka skill baruku: [Tangan Seribu Senjata].

Ryo tampak seolah-olah otaknya akan meledak. "Penguasaan senjata... Level MAX? Untuk semua senjata? Itu... itu melanggar aturan sistem."

"Itu menciptakan aturan baru," koreksi Elara pelan, kekaguman terdengar jelas dalam suaranya. "Dia bukan lagi seorang pemain yang menggunakan skill. Dia telah menjadi skill itu sendiri."

Kemenangan ini terasa lebih besar daripada saat aku mendapatkan Astrafang. Kini, aku akhirnya memiliki kendali penuh. Kami adalah party yang sempurna. Sebuah benteng yang tak tergoyahkan, seorang pembunuh bayangan, seorang penyanyi support, seorang naga penghancur, dan seorang master senjata. Kami siap untuk apa pun.

Saat itulah, suara panik terdengar dari luar. "Tolong! Buka gerbangnya! Tolong!"

Kami semua langsung tegang. Aku memberi isyarat pada Ryo. Dia membuka celah kecil di gerbang. Seorang pria, mengenakan zirah kulit Vanguard yang khas, tersandung masuk dan langsung jatuh berlutut. Itu adalah Taku, "duta besar" yang ditugaskan Kaito untuk berjaga di ujung jalan kami.

Dia terluka. Ada luka panah di bahunya dan luka bakar di lengannya.

"Elara!" perintahku.

Elara segera berlutut di sampingnya, [Himne Menenangkan]-nya mulai menyembuhkan lukanya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku, suaraku dingin.

"Geng Burung Bangkai..." Taku terbatuk, darah menyembul di bibirnya. "Mereka kembali. Tapi... mereka lebih kuat. Jauh lebih kuat."

Taku menceritakan kisahnya dengan terbata-bata. Tatsu, si pemimpin Berserker, tidak hanya melarikan diri setelah kekalahan memalukan kami. Ia melarikan diri dengan sebuah tujuan. Ia pergi dan menyatukan beberapa kelompok perampok yang lebih kecil di bawah benderanya. Dan yang lebih buruk, ia telah menemukan sekutu yang kuat.

"Seorang penyihir," kata Taku, matanya dipenuhi ketakutan. "Mereka memanggilnya 'Corvus'. Dia menggunakan sihir api. Dia membakar pos penjagaan kami di Jembatan Grand Zenith seolah-olah itu terbuat dari kertas."

Berita itu membuatku terdiam. Geng Burung Bangkai telah berevolusi dari segerombolan preman menjadi pasukan kecil yang terorganisir dengan dukungan artileri magis.

"Mereka telah mengambil alih jembatan," lanjut Taku. "Satu-satunya jalan keluar yang aman dari distrik industri ini. Mereka membangun barikade. Mereka memungut 'pajak' dari setiap penyintas yang mencoba lewat. Makanan, air, senjata... wanita."

Kemarahan yang dingin menjalari diriku.

"Tapi itu belum semuanya," kata Taku. "Mereka secara spesifik... bertanya tentang kalian. Mereka menyebut tempat ini 'Benteng K'. Tatsu menyebarkan berita bahwa siapa pun yang ingin berdagang dengan kami... harus membayar pajak kepada mereka terlebih dahulu. Dia tidak hanya menyerang Vanguard. Dia mencekik kita."

Ini adalah deklarasi perang. Tatsu tidak hanya menyerang kami secara fisik; ia menyerang fondasi aliansi kami, memotong akses kami ke dunia luar.

Aku menatap party-ku. Ekspresi mereka mencerminkan ekspresiku. Ryo mengepalkan palunya erat-erat, zirahnya berderak. Anya memutar-mutar belatinya, matanya yang seperti kucing kini sedingin es.

"Elara, rawat Taku," kataku. "Ryo, Anya, bersiaplah. Kita berangkat dalam lima menit."

"Kenji-san," kata Ryo. "Ini bukan hanya dua belas orang lagi. Taku bilang mereka mungkin tiga puluh orang. Dan seorang penyihir."

Aku berjalan ke rak senjata yang baru saja Ryo buat, tempat kami menyimpan senjata-senjata cadangan. Aku mengabaikan kapak dan pedang. Aku mengambil sebuah tombak sederhana yang kami dapatkan dari Goblin beberapa minggu lalu. Sebuah [Tombak Runcing (Common)].

Anya menatapku bingung. "Kau... tidak akan membawa Astrafang?"

Aku mengikat tombak itu di punggungku, di samping Astrafang. "Oh, aku akan membawanya," kataku. "Tapi aku ingin memulai dengan sesuatu yang sedikit lebih... mendasar."

Aku ingin menunjukkan kepada Tatsu, kepada Vanguard, dan kepada seluruh kota ini apa arti sebenarnya dari skill.

Nephie, yang merasakan ketegangan di ruangan itu, berlari ke arahku. "Tuan... berbahaya?"

Aku berlutut dan menepuk kepalanya. "Tidak untuk kita. Kau dan Elara tetap di sini. Jaga rumah kita." Aku menatap Elara. "Nyalakan [Simfoni Perlindungan] jika ada yang mencoba mendekati gerbang."

Kami bertiga—aku, Anya, dan Ryo—melangkah keluar ke senja yang memerah. Kami tidak menyelinap. Kami berjalan di tengah jalan. Sebuah benteng, seorang hantu, dan seorang master senjata.

Jembatan Grand Zenith berjarak sekitar dua kilometer. Kami bisa mendengar suara tawa kasar dan teriakan-teriakan sombong mereka sebelum kami bahkan melihat mereka. Mereka telah membangun barikade yang kokoh dari mobil-mobil yang hancur. Sekitar dua puluh lima anggota Geng Burung Bangkai berjaga di sana. Tatsu duduk di atas sebuah jip yang terbalik seperti seorang raja di atas takhta, kapak besarnya bersandar di bahunya. Di sampingnya berdiri seorang pria berjubah gelap—Corvus, si penyihir api.

"Nah, nah, nah!" Tatsu tertawa saat melihat kami bertiga mendekat. "Lihat siapa yang merangkak keluar dari lubang mereka! 'K' yang agung! Kau datang untuk membayar pajaknya?"

Aku berhenti sekitar tiga puluh meter dari barikade. "Aku di sini untuk mengambil sampah."

Kemarahan Tatsu tersulut. "Bocah sombong! Kau pikir kau siapa? Corvus, bakar mereka!"

Si penyihir api mengangkat tangannya. Sebuah bola api besar—jauh lebih kuat dari yang bisa dibuat oleh para pemain Vanguard—terbentuk di tangannya.

Dia tidak pernah sempat melemparkannya.

Sebuah anak panah perak melesat dari bayangan di sampingku. Anak panah Anya. Itu tidak mengarah ke dada si penyihir; itu mengarah ke pergelangan tangannya. [Anak Panah Pena Bertuah] menembus dagingnya, memakukannya ke barikade mobil di belakangnya. Bola api itu meledak di tangannya, membuatnya menjerit kesakitan.

"SERANG!" raung Tatsu, menyadari kami bukan datang untuk bicara.

Gerombolan itu menerjang ke depan.

"Ryo," kataku tenang. "Tahan mereka."

Ryo menghentakkan kakinya. "[Pukulan Resonan]!"

Gelombang sonik menghentikan serbuan mereka, membuat barisan depan tertegun.

Dan kemudian, aku bergerak.

Aku melepaskan tombak dari punggungku. Bukan Astrafang. Hanya sepotong kayu dengan ujung logam yang tajam.

Bagi mereka, aku pasti terlihat seperti orang gila.

Seorang anggota geng pertama menerjangku dengan pedang. Aku tidak menangkisnya. Aku menggunakan gagang tombakku, dalam gerakan yang telah kulatih ribuan kali dalam benakku, untuk membelokkan bilah pedangnya ke tanah. Dan dalam gerakan memutar yang sama, ujung tombakku menusuk bahunya, melumpuhkan lengannya.

Dua lagi datang dari samping. Aku memutar tombakku dalam sebuah busur yang lebar, gagangnya menghantam lutut yang satu dan wajah yang lain. Mereka jatuh.

Mereka adalah para brawler, petarung jalanan. Aku adalah seorang master senjata. Mereka mengandalkan kekuatan. Aku mengandalkan teknik. Ini bukan pertarungan. Ini adalah pembongkaran.

Dalam tiga puluh detik, aku telah melumpuhkan enam orang tanpa menerima satu goresan pun, semuanya menggunakan senjata Common. Aku bergerak di antara mereka seperti air, setiap serangan mereka meleset, setiap serangan balikku mendarat dengan presisi yang melumpuhkan.

Tatsu dan para pengikutnya yang tersisa menatap dengan ngeri. Orang yang mereka ingat sebagai brawler yang kuat dengan gada raksasa kini bergerak seperti seorang dewa perang, melucuti senjata mereka dengan sebatang tongkat.

Aku akhirnya berhenti, berdiri di antara para perampok yang mengerang kesakitan. Aku menancapkan tombakku ke tanah.

Lalu, aku menghunus Astrafang.

Bilah legendaris itu menangkap cahaya senja, bersinar dengan kekuatan suci yang membuat para perampok itu mundur ketakutan.

Aku mengangkat pedang itu dan menunjuk lurus ke arah Tatsu, yang kini gemetar di atas "takhta"-nya.

"Aku sudah selesai dengan pemanasan," kataku, suaraku bergema di jembatan yang sunyi itu. "Giliranmu."

1
Babymouse M
Uppppp🔥
Mamimi Samejima
Gak pernah kepikiran plot twist-nya seunik ini! 🤯
Shishio Makoto
Cepat update, jangan biarkan kami menunggu terlalu lama!
Nocturnalz: terimakasih dukungannya, saya usahakan untuk update secepatnya
🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!