Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1—PPMITMC
HAPPY READING
_______________________________
Rintik hujan di batas jalan adalah denah alam yang memaparkan bahwa tangisan semesta baru saja reda, menghantarkan seorang gadis cantik berwajah lusuh dengan mata sembab.
Wajahnya cantik, namun ia redup, suaranya sayu tak bertenaga, tiap jejak yang dia ayunkan adalah nyanyian emosi yang meluruh di hatinya—Caroline Damanik Dzansyana berjalan mendayu menitikkan sendu di batas-batas jalan kota.
"Bulan ini aku harus mendapatkan uang sebanyak dua miliar untuk pengobatan ibu yang telah koma sepanjang tahun ini," rengek sendu Caroline terdengar lebih lemah dibanding rintihan angin sehabis hujan tadi.
Gadis bermata almond itu awalnya adalah anak paling beruntung, setelah keluarganya tiada pasca kebakaran hebat belasan tahun lalu, sang ibu angkat mengadopsi dan merawatnya dengan sangat baik.
Tidak kekurangan materi ataupun kasih sayang, sejak usia tiga tahun. Namun, roda berputar dalam sekejap, Kanzha Dzansyana mengalami kecelakaan hebat tahun lalu, dan harus terbaring koma di rumah sakit hingga saat ini.
Caroline menangguhkan dirinya demi pengobatan sang ibu angkat, dia melangkah bagai menyeret rantai besar di ke-dua kakinya, setiap langkah terasa penuh beban, dia merangkak masuk ke sebuah restoran besar di ibu kota.
"Mau sampai kapan kamu terus bersikap kekanak-kanakan seperti ini, Calvino!" Jeritan seorang wanita terdengar menggelegar dari tengah ruang restoran itu.
Kedatangannya ke sana untuk bekerja, sejak beberapa bulan lalu, Caroline memutuskan bekerja double untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pengobatan, tetapi hari ini sepertinya gadis ini harus melewati pertikaian dulu sebelum masuk ke dapur.
Kerumunan manusia berkumpul menghalangi pandangan, Caroline yang layuh bergerak lambat sambil memakaikan masker ke wajahnya untuk menutupi setengah penampilan yang dia kira lusuh akibat tangisan sepanjang jalan.
"Ada apa ini?" keluhnya mengerutkan wajah seraya menyelinap ke depan di antara puluhan pengunjung restoran, "Apa yang terjadi?"
Seorang pria terduduk santai di kursi, tatapannya tenang, tetapi ia tajam penuh ambisi, bersandar bagai tak terjadi apa-apa, di sisi lain seorang wanita berpakaian modis tersungkur penuh luka membiru.
Di antara mereka ada seorang wanita cantik, kulitnya putih kemerahan bergaun sek si warna merah padam, dia menggenggam sebuah gelas dengan penuh emosi. "Cukup! Aku capek! Bisa gak sehari aja kamu jangan berulah!" pekiknya meregangkan otot tangan hingga lehernya menegang.
"Ini udah wanita yang entah ke berapa di minggu ini, apa kamu gak capek, terus-terusan selingkuh dariku, hah?!" tambahnya tersengal-sengal karena terlalu marah.
Yang dia dapatkan hanya jawaban tawa meremehkan dari lelaki itu. Pria berpunggung tegap nan gagah mulai beranjak dari kursi, dia sibak rambut ke belakang, lalu berjalan ke depan yang kemungkinan besar adalah istrinya.
"Selingkuh?" serunya dengan suara mendayu bak pria nakal, "Bangun, Sayang," tambahnya menarik ujung bibir menyulam senyum di sana.
Perlahan dia mundur usai membenamkan dua tangan ke dalam saku celana. "Jangan menganggap diri kamu adalah istri sesungguhnya," jawabnya ketus.
Senyum yang semula berada di sana, seketika memudar tatkala sorot mata menghunus. "Kamu gak akan bisa menggantikan istriku, dan jangan mengusikku, paham!" berangnya menyipitkan mata.
"Kamu hanya wanita yang dipaksa masuk ke hidupku dan aku membencimu! Aku gak akan sudi menyentuhmu layaknya seorang istri!"
Wanita itu memberang, dia menegang di tengah tangisan, tubuhnya yang bergetar, pelan-pelan merangkak mendekati laki-laki pemilik hunter eyes di depannya, tatapan bingung lagi kesal menghantui dengan luas.
Disodorkan gelas dalam genggaman ke hadapan Calvino Vandzani Harmoine—nama pria itu. "Kenapa?" rintihnya menyedihkan.
"Kenapa kamu begitu mencintai mendiang istrimu, sampai aku gak bisa menggantikan posisinya, dan sekarang ...," sambungnya lirih.
Sejenak dia menoleh ke belakang, memastikan wanita yang sudah dia habisi tadi masih terengah-engah di sana, meratapi luka-luka yang dia torehkan di tubuh wanita mal*m itu.
"Kamu memilih bersama wanita ren da han kayak dia!" bentaknya mengarahkan telunjuk ke arah wanita itu.
Lantang suara wanita itu membidik rasa takut yang dimiliki wanita di sana, wanita berlumur luka itu mengerjap sambil tertatih-tatih dia merangkak meminta pengampunan. "Maafkan saya Nyonya, saya gak akan menerima job dari suami Anda lagi, tolong lepaskan saya, Nyonya."
Rintih wanita itu sepanjang dia merangkak mendekati kaki wanita dari istri lelaki bernama Calvino, wanita itu mendekap kaki Nyonya Calvino dengan tubuh bergetar. "Ampuni saya ...."
Bugh!
"Aarght ...." Tubuhnya terhempas saat wanita itu menepis dan menendang dada wanita tersebut.
Dia terguling dan menggelinding ke tengah. Semua orang tercengang, lebih anehnya Calvino tetap diam dengan dingin ekspresi wajahnya, sesekali dia mendelik ke arah istrinya.
Lantas dia mendengkus. "Kamu tahu, kenapa aku membencimu?" urai Calvino membidik ke arah istrinya.
"Karena kamu gila, orang udah ma ti gak akan hidup lagi. Mau sampai kapan kamu terpenjara masa lalu," sarkas wanita itu.
Degh!
Mengguncang hati Calvino yang mulai mereda. Pria bertubuh tinggi sekitar 189 cm itu terguyur api amarah, dia berbalik dengan rahang mengeras. "Yuzdeline Barbara!" sentak Calvino menggeser tubuh istrinya sedikit menjauh.
Angin yang membentang seketika membeku, seolah merasakan ketegangan yang terjadi di sana, Calvino semakin mendekat dan tak segan dia mencekik istrinya di depan semua orang.
Spontan semua yang ada di sana menjerit. "Arght ...."
"Istriku akan selalu hidup!" bentaknya tepat di depan mata Yuzdeline, "Wanita sam pah kayak kamu, gak akan pantas menggantikan istriku yang luar biasa!"
Grepp!
Cengkeraman di leher Yuzdeline semakin mengerat. "Arght ..., Cal-vi-no ..., lepaskan! A—" Wajahnya memerah nyaris keunguan.
Uhuk-uhuk.
Bola matanya tegang. Mulut terbuka, mencari oksigen lebih banyak dibanding sebelumnya dimana tangannya bersusah payah menarik cengkeraman Calvino meregang darinya.
"A—"
Sh it!
Calvino mengerutkan hidung, lantas dia melempar istrinya ke sisi. "Aarght ...." Tubuh kecil Yuzdeline berguling ke sisi kanan, tetapi dia tidak terjatuh.
"Jangan pernah mengungkit soal istriku lagi. Aku membencimu, aku akan buat kamu paham, kalau posisi kamu tidak lebih dari tumpukan beban yang tak bernilai," sarkas Calvino tak pernah memikirkan kata-kata lebih baik dari ini.
Yuzdeline tersengal karena oksigen baru saja memasuki rongga secara perlahan, dengan mata merah, wanita itu bangkit. "CUKUP ...!"
AARGHT ...!
Kembali Yuzdeline mengamuk. Dia menjerit histeris sambil menjambak rambutnya sendiri, berputar dan melompat kecil ditambah mengacak-acak kursi, meja dan beberapa botol, piring serta gelas yang ada di atas meja di sekitarnya.
Calvino menjeling tak peduli, dia memerhatikan kemarahan itu dengan senyuman sinis, berbeda dengan pengunjung di sisi mereka, keadaan ini mencekam, ingin melangkah pun agak segan, takut jika mereka menjadi sasaran.
Berbeda dengan Caroline, gadis bermata dessert itu bergerak cepat dari kerumunan, menerobos mereka semua dan menghentikan keributan. "Stop ...!"
Teriakan Caroline menjeda angkara murka dari Yuzdeline, meski cemas dirinya yang akan menjadi sasaran, gadis ini tetap melangkah ke depan, semua itu atas perintah langsung dari atasannya.
Semakin dibiarkan pertikaian ini berlangsung, maka pengunjung restoran bisa pergi satu per satu. Caroline berdiri di tengah keributan. "Jika kalian punya masalah pribadi, tolong selesaikan di rumah kalian," tegas Caroline mendelik ke sisi Calvino.
Sekelumit pandangan menerjang Yuzdeline yang tertunduk penuh amarah. "Restoran ini tempat semua orang melegakan dahaga lapar dan haus, bukan tempat pertikaian kalian, tolong pergi jika kalian masih ingin melanjutkan pertengkaran ini."
Semoga ini berhasil menghentikan mereka. Aku harus bekerja, dan gak ada waktu untuk menonton drama rumah tangga ini. Juga gak peduli apa yang terjadi dengan mereka. Batin Caroline menggerutu.
Atmosfer menghening.
Pengunjung perlahan meluruh, kembali ke kursi mereka masing-masing. Dipikir Yuzdeline cukup berbudi untuk mendengar larangan dari gadis kecil ini, namun nyatanya ....
Dia mendongak dan menunjukkan wajah memprihatinkan-nya pada Caroline. Hidungnya mengkerut sambil menyeret sebuah botol dari tangannya. "DIAM! BED*BAH!"
Shuut ....
Sebuah botol beling melayang ke hadapan Caroline.
Arght ....
To be continued ....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt