NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / CEO / Romansa
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27

Davin menutup laptopnya perlahan, lalu bersandar di kursi. Di luar jendela, langit sore tampak keruh, mendung tipis menggantung, seolah ikut menyimpan sesuatu yang belum sempat tumpah.

Suasana kantor sudah mulai lengang. Satu per satu rekannya keluar sambil mengucapkan salam. Tapi Davin tetap di tempat, tak buru-buru, seolah menunggu sesuatu yang sudah ia tahu akan datang.

Dan hari ini, akhirnya datang juga.

Tangannya merogoh saku, mengambil ponsel, lalu membuka ulang pesan singkat dari Kayla. Pesan yang ia baca entah untuk keberapa kali.

[Angkringan deket kantor kamu bisa? Jam lima sore, ya.]

Ia menarik napas pelan. Sekilas bibirnya melengkung, tak sepenuhnya senyum, lebih mirip kilatan kepuasan kecil yang nyaris tak terlihat.

Semuanya terjadi seperti yang ia bayangkan.

Kayla menghubunginya lebih cepat dari yang ia perkirakan. Mungkin karena terlalu lama menunggu Nathan bicara, atau mungkin karena... Davin sudah cukup memberi 'bumbu' agar benak Kayla terusik.

Ia berdiri, merapikan kemejanya. Langkahnya ringan saat keluar ruangan, menyapa satpam di lobi seperti biasa, bahkan sempat membantu seorang resepsionis yang menjatuhkan map. Gerak-geriknya selalu terlihat ramah, bersih, dan terkendali.

Tak ada yang menyangka, bahwa di balik tatapan hangat dan senyum sopan itu, Davin sedang menghitung langkahnya dengan sangat hati-hati.

Di parkiran, ia menaiki mobil, menyalakan mesin, dan membiarkan angin sore menyapa wajahnya. Perjalanan menuju angkringan hanya lima menit, tapi pikirannya jauh lebih dulu tiba di sana.

Ia tidak tahu pasti apa yang akan Kayla tanyakan. Tapi ia bisa menebak arahnya.

"Kadang... orang terlalu percaya waktu bisa menyelesaikan semuanya," Davin bergumam pelan, suara mesinnya menelan sebagian kalimat itu.

Ia tersenyum kecil, seolah menyambut ironi yang hanya ia sendiri yang tahu.

"Padahal waktu cuma bikin orang lain mulai mencari jawaban di tempat lain."

Davin memarkir mobilnya di ujung deretan kendaraan, menurunkannya dengan hati-hati. Angkringan kecil di pojok gang itu masih sama seperti terakhir kali ia datangi. Remang, sederhana, dengan aroma khas arang dan kecap yang menyambut dari jauh. Meja kayu panjang dan bangku plastik tersusun rapi. Di satu sudut, lampu temaram menggantung, menggoyang pelan tertiup angin.

Dan di sanalah Kayla.

Ia duduk di meja paling pojok, dekat gerobak, dengan jaket tipis dan rambut yang digerai seadanya. Wajahnya menunduk, tapi dari posisi Davin berdiri, ia bisa melihat tatapan yang sedang berpikir keras. Seperti seseorang yang ingin bertanya tapi belum tahu harus mulai dari mana.

Davin melangkah mendekat.

"Tumben ngajak nongkrong di sini," sapanya sambil menarik bangku di seberang Kayla.

Kayla mendongak, tersenyum kecil. "Lagi pengin yang sederhana."

"Kayak kita dulu?" goda Davin setengah bercanda, mengambil tusuk sate usus dari atas meja dan meniupnya sebentar sebelum menggigit.

Kayla tidak menanggapi lelucon itu. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menatap Davin agak lama. Diamnya bukan karena ragu. Tapi seperti sedang menyusun ulang keberanian yang sudah hampir runtuh.

Davin menyesap teh panas dari gelas plastik bening, lalu meletakkannya kembali. Ia tak menunggu lama, tidak juga berusaha mengisi keheningan dengan obrolan basa-basi. Ia tahu, pada akhirnya Kayla akan mulai.

Dan benar saja.

"Aku cuma mau tanya satu hal, Vin," ujar Kayla akhirnya. Suaranya tenang, tapi mengandung tekanan yang tidak bisa disembunyikan. "Kamu tahu soal bisnis baru yang Nathan lagi jalanin, kan?"

Davin tidak langsung menjawab.

Ia menatap Kayla, seolah sedang menilai sejauh mana wanita itu siap mendengar kebenaran atau setidaknya, versi kebenaran yang akan ia pilih untuk diberikan.

"Kayla…" Davin menunduk sedikit, lalu menautkan jemari di atas meja. "Kenapa kamu nanyanya ke aku, bukan ke Nathan?"

Pertanyaan itu bukan tuduhan. Tapi cukup tajam untuk membuat Kayla menunduk sebentar.

"Aku udah nunggu dia cerita. Tapi sampai sekarang... dia enggak buka mulut," jawab Kayla, pelan. "Dia bilang belum waktunya, dan aku percaya. Tapi empat hari, Vin. Empat hari kami ketemu, ngobrol, pelukan, dan dia tetap diam."

Davin mengangguk pelan. Wajahnya tampak tenang. Tapi dalam diam, pikirannya bekerja cepat.

Ia tahu ini momen yang harus ia tangani dengan sangat hati-hati. Sedikit terlalu jujur, ia akan tampak seperti pengadu. Terlalu tertutup, ia akan kehilangan kesempatan.

"Kalau aku cerita, kamu janji enggak akan langsung ambil kesimpulan?" tanyanya.

Kayla menatapnya tajam. "Aku cuma pengin tahu yang sebenarnya."

Davin menghela napas, lalu menoleh ke arah jalan yang mulai ramai oleh pengendara pulang kerja. Cahaya matahari sore membentuk siluet pada wajahnya. Wajah yang tampak hangat, tapi sekaligus menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

"Kayla, kadang apa yang kelihatan kecil buat kita… sebenarnya enggak sesederhana itu bagi orang lain."

Ia diam sebentar, lalu melanjutkan, "Bisnis baru itu bukan cuma soal kerjaan. Bukan juga soal proyek yang bisa dia jelasin lewat dua tiga kalimat. Ada alasan kenapa dia belum siap cerita."

Dan untuk sesaat, suara-suara angkringan mengisi keheningan mereka.

Davin mengangkat gelasnya lagi, meneguk perlahan, lalu menatap Kayla.

"Kalau kamu siap dengar semua, aku bisa ceritakan. Tapi jangan salahin dia setelah ini. Jangan lihat dia sebagai orang yang nyembunyiin sesuatu. Kadang... seseorang bisa sangat mencintai, tapi tetap punya hal-hal yang belum siap dia buka."

Kayla menahan napas. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dan di saat itu, ia tahu, apa pun yang akan keluar dari mulut Davin setelah ini, akan mengubah banyak hal.

Davin kembali menyesap tehnya yang sudah dingin. Matanya menatap Kayla, tapi pikirannya sudah jauh. Ia tahu, kalimat berikutnya akan jadi ujung dari semua langkah kecil yang ia bangun selama ini.

"Bisnis itu... bukan hal dadakan, Kay," ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. "Itu proyek yang udah lama dirintis almarhum ayah Nathan. Dibangun dari nol, pelan-pelan. Di Kanada."

Kayla langsung menoleh. "Kanada?"

Davin mengangguk. "Bangunan, sistem, bahkan tim kecilnya. Semua udah dipersiapkan sejak beberapa tahun lalu. Tapi baru sekarang semuanya siap. Tinggal buka. Jalanin."

Ia menarik napas, lalu menatap Kayla lebih dalam. "Dan mereka butuh Nathan di sana. Bukan seminggu dua minggu... tapi setidaknya dua tahun."

Kayla tak berkata apa-apa. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun, tapi Davin tahu, kalimat-kalimat itu menabrak keras di dalam sana.

"Ini bukan cuma soal kerjaan, Kay. Ini mimpi ayahnya. Yang akhirnya bisa diwujudin setelah sekian lama. Dan Nathan diminta buat jadi ujung tombaknya."

Davin menunduk sedikit, suaranya makin pelan. "Aku ngerti kenapa dia belum cerita. Mungkin dia takut kamu salah paham. Takut kamu ngerasa ditinggal, atau... dia belum siap lihat kamu kecewa untuk yang kesekian kalinya."

Ia berhenti sebentar, memainkan gelas plastik di tangannya. Lalu dengan nada sangat hati-hati, ia melanjutkan.

"Tapi... kamu nanya ke aku, bukan ke dia. Berarti, kamu sendiri udah ngerasa ada yang nggak beres, kan?"

Satu kalimat. Pelan. Lembut. Tapi tajam.

"Buat aku, Nathan itu orang yang selalu mikirin orang lain lebih dulu. Tapi kadang... terlalu mikirin, sampai dia lupa, yang paling nyakitin justru waktu dia milih diam."

Davin menyandarkan punggung ke kursi. Ekspresinya tetap ramah. Tapi kata-katanya sudah cukup untuk mengguncang benteng tenang Kayla.

Kayla tak langsung menanggapi.

Tatapannya kosong menembus kepulan asap dari pembakaran sate, tapi pikirannya justru semakin kusut. Kanada. Dua tahun. Proyek besar yang seharusnya membuat Nathan bangga, tapi kenapa terasa seperti kabar buruk?

Terlalu banyak yang ia pikirkan, sampai ia nyaris lupa caranya bicara.

Davin tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menunduk, memainkan tutup botol teh manis dengan ujung jarinya. Tenang. Tak mendesak. Seolah memahami bahwa satu kenyataan itu saja sudah cukup untuk membuat siapa pun diam cukup lama.

Dan di sela-sela kesunyian itulah, muncul retakan kecil di dada Kayla. Retakan yang tidak pecah, tapi cukup untuk membuat segalanya terasa... berbeda.

Ia memeluk jaketnya sendiri, menahan dingin sore yang perlahan berubah jadi malam. Tapi lebih dari itu, ia sedang menahan sesuatu yang menggumpal di dalam dada. Antara kecewa, marah, dan kehilangan rasa percaya yang belum jelas bentuknya.

Davin melirik jam tangannya, lalu kembali menatap Kayla. Ekspresinya... biasa saja. Tak ada senyum, tak ada empati yang berlebihan. Tapi sorot matanya seolah berkata.

“Kamu yang minta tahu.”

Dan mungkin memang begitu adanya.

Saat Kayla akhirnya berdiri dan mengucapkan terima kasih singkat, Davin hanya mengangguk pelan. Tidak menahan, tidak mengejar.

Tapi saat punggung Kayla menjauh, untuk sesaat, ekspresi di wajahnya berubah. Bukan senyum. Tapi semacam kepuasan kecil yang singgah lalu pergi, nyaris tak terlihat.

Lalu ia meneguk teh yang sudah dingin, menatap langit yang mulai gelap.

"Waktumu tinggal sedikit, Nath," gumamnya pelan.

"Tapi bukan aku yang akan menjatuhkanmu. Kamu sendiri yang memilih jalannya."

1
Paradina
Lanjut kakak, seru setiap bab
no name: Terima kasih, kak. tiap hari up kok, meskipun cuma 1. hehe.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!