NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:520
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SULTAN YANG BIASA

Hahaha! Pergi, pengemis busuk! Pergi!”

Lelaki lusuh itu hanya terdiam, sambil tersenyum tipis dengan raut yang agak masam, tapi masih menyisakan senyum tipis ke seliling, tanpa memperdulikan sedikitpun ejekan para pedagang pasar, dan orang orang yang di pinggir jalan. Nama nya Al-Fariz  Sultan Penguasa Kerajaan Nurendah.

“Lihat bajunya! Hahaha, seperti kain pel kandang kuda!” teriak pedagang kain sambil menunjuk.

“Benar! Kalau itu disebut baju, maka aku ini Sultan!” seru yang lain, hahaha !!!,  membuat kerumunan tergelak.

Al-Fariz berhenti, menatap si pedagang kain. Dengan mata jernih dan tersenyum lembut, 

“Kalau kau Sultan,”, “semoga rakyatmu tidak tertawa melihatmu menghina yang lemah.”

Kerumunan mendadak riuh.

“Berani sekali pengemis ini membalas!”

“Dasar mulut busuk! Mana ada pengemis bicara sebijak itu?!”

Pedagang kain mendengus, wajahnya memerah.

“Diam, kau! Kalau kau bicara lagi, akan kupanggil penjaga pasar!”

Al-Fariz tidak menjawab. Ia terus melangkah, seolah dunia tidak bisa mengusik  ketenangannya dan dengan santainya ia berlalu dari kerumunan pedagang.

Dari kejauhan perempuan muda dengan pakaian mewah mendekat, wajahnya masam.

“Iih! Kenapa kepala pasar membiarkan pengemis masuk seenaknya? Lihatlah, bajunya dekil sekali, jalannya lambat seperti orang kekurangan gizi. Menjijikkan, hoek, perempuan itu meludah ke samping!”

Ia menutup hidung dengan sapu tangan sutra, lalu menoleh pada pedagang di sebelahnya.

“Orang hina seperti ini harus dilarang masuk. Apa tidak malu? Pasar jadi kotor gara-gara mereka.”

Sultan Al-Fariz menatap perempuan itu sejenak, lalu menunduk.

“Yang kotor bukan pasar, tapi mata yang selalu melihat rendahnya kain dan tampilan fisik.”

Perempuan itu tersentak, wajahnya memerah. Hahahaha !!! Kerumunan di sekitar tertawa terbahak bahak , kali ini dengan nada berbeda antara terhibur dan ter heran heran. Siapa sebenarnya pengemis aneh ini dengan begitu tenang melawan hinaan?

Di ujung jalan, seorang kakek penjual buah berteriak,

“Sudahlah, nona. Biarkan ia lewat. Dia tidak mengganggu kamu dan siapapun disini. Kadang yang terlihat hina bisa lebih mulia dari yang kita kira.”

Perempuan itu langsung sinis sambil mendengus .

“Hmph! Kakek tua, kau sudah gila ya,  lebih membela  pengemis dari pada aku !!”, aku bukan orang sembarangan, kakek tua !!! 

Al-Fariz menoleh, menundukkan kepala kepada si kakek.

“Terima kasih, paman. Dunia ini tidak sepenuhnya buta seperti yang aku kira.”

Kakek itu mengangguk . Tatapannya penuh dengan tanda tanya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari lelaki lusuh di depannya.

Al-Fariz bergumam dalam hati.

“Beginilah jalanku. Jalan hinaan, jalan sabar. Biarlah mulut mereka tajam, biarlah tawa mereka menusuk. Semua ini hanya batu asah bagi ku. Saat segel ini pecah, dunia akan tahu siapa sesungguhnya yang mereka hina.”

Tiba-tiba… , dari dalam  dadanya, segel tua bergetar halus, seolah ada desiran angin lembut menusuk ke sekujur tubuhnya. Kilatan samar terasa bahwa hinaan yang ia tahan hari ini, mampu  memperkuat langkah kultivasinya.

“DUM! DUM! DUM!”, suara genderang keras berdentum dari arah utara. 

Hiruk pikuk di pasar mendadak sunyi. Semua orang menoleh. Seekor kuda putih dengan penunggang yang mengenakan jubah Istana berhenti di depan kerumunan,lalu  mengangkat gulungan perkamen emas dan membukanya pelan pelan seraya membacakan isi perkamen emas itu dengan suara lantang dan tegas.

“Dengarkan , rakyat Kerajaan Nurendah!” . “Sultan memanggil semua pejabat, bangsawan, dan rakyat untuk hadir di Sidang Besar Balairung Kerajaan hari ini! Siapa pun yang berkeinginan menyaksikan kebesaran dan keagunan Sultan kita , bersiap bersiaplah!”

Seketika itu kerumunan sontak gaduh dan kembali hiruk pikuk kembali terdengar. Semua bersorak sambil mengacungkan tangannya .

“Akhirnya! Kita semua akan melihat wajah asli Sultan kita!”

“Kudengar dia gagah, memakai jubah emas berkilau!”

“Pastilah auranya sangat mulia dan agung , menakjubkan sekali !”

Mata mata berbinar penuh harap ingin melihat wajah sultan mereka yang sudah lama menghilang dan tidak tahu kabar rimbanya. Namun,lelaki lusuh yang mereka hina beberapa waktu lalu hanya tersenyum samar. Ia melangkahkan kakinya  pelan meninggalkan pasar, bisikannya hanya terdengar oleh dirinya sendiri:

“Sidang besar, ya? Hm… mari kita lihat siapa yang benar-benar mengenal rajanya.”

Langkahnya tenang, tapi setiap hentakan kakinya seolah mampu menggetarkan rahasia yang siap mengguncang negeri

Sultan itu masih berdiri di keramaian  orang-orang di tengah pasar, menahan sesuatu yang menyebabkan dadanya sesak, dan seakan akan ingin keluar dari dalam dadanya . Matanya menyapu ke sekeliling pasar: para pedagang yang sibuk menata dagangan, beberapa ibu ibu sibuk menawar barang, sementara anak-anak mereka berlarian ke sana kesini di lorong lorong pasar. Semua itu biasa dan seperti kondisi biasanya layaknya pasar pada umumnya.

Tapi ia sendiri yang tidak lagi biasa.

Keringat dingin mengalir dari pelipisnya, bukan karena teriknya matahari siang, sesuatu yang samar mulai bergetar menekan dan terus menyesak didalam dadanya dan serasa hendak keluar. Seolah olah ada pintu yang akan terbuka tapi kehilangan kuncinya hingga seperti ada yang menekan berat tapi tak kunjung terbuka 

Tiba-tiba ada anak kecil yang sedang berlarian membawa sekantong ikan asin  menabraknya .

“Oi! Jalan, Pak Tua!”. Bocah itu mendengus, lalu lari lagi tanpa memperdulikan Sultan Al-Faraz.

 Pak Tua? Usianya memang tidak lagi muda tapi tidak juga terlalu tua atau ketuaan, di matanya, ia adalah raja. Raja yang gagah. Raja yang berdaulat. Mestinya setiap rakyatnya menaruh hormat dan menunduk padanya.

Namun, ia hanya terlihat seperti orang lusuh yang tak dianggap, bahkan dianggap angin lalu pun tidak, malah dianggap sebagai beban dan sampah masyarakat, setiap ia melewati keramaian.

“Oi, kau dengar tidak?” suara kasar pedagang kain memecah lamunannya. “Kalau cuma berdiri menghalangi, pergi sana ! Pasar ini bukan untuk orang melamun.”

Sultan Menoleh. Mata pedagang membelalak itu tajam, menusuk bak pisau belati menusuk ke dadanya.

“Aku... hanya numpang lewat,” jawabnya pelan.

“Lewat?”. “Hahaha! Kau kira siapa dirimu? Lihat pakaianmu sudahlah compang camping,, lusuh, penuh debu! Bisa jadi kamu pencuri yang menyamar ya !” pedagang itu nyeletuk, cekikikan lagi.

Orang orang sekitar melirik ke arah Sultan, ada yang tersenyum, ada yang cekikikan, tapi ada juga yang merasa kasihan, tapi namanya di pasar mereka lebih peduli barang bawaan mereka daripada mengurusi keributan kecil, atau hal-hal yang mereka anggap sepele.

“Benar juga,” wanita yang menjual sayur menyela dari samping . “Mukanya mencurigakan. Bisa saja dia orang buangan dari utara.”

“Ah, menjauh sana, sudahlah dekil, bau lagi !” timpal yang lain.

Ejekan demi ejekan bak pisau yang menusuk ke telinga. Sultan menarik  napas dalam dalam. Seumur hidup, belum pernah ia diolok-olok seperti ini. Dulu, setiap kali ia berjalan atau keluar istana, seribu prajurit siap melindungi dan membentenginya bahkan sebelum sampai di pasar prajurit telik sandi sudah mengamankan dan menstrerilkan pasar dari mata-mata musuh ataupun dari penghianat yang akan mencelakai nya . Sekali ia membuka mulut, dengan serentak rakyat menunduk, setiap titah pasti akan dipatuhi seluruh kalangan Negara Nurendah yang agung dan berkuasa penuh.

Sekarang? Bahkan tukang sayur berani menghinanya.

Tiba tiba seorang anak muda maju menyelinap ke depan dengan berkacak  pinggang, 

“Jika kau orang baik, buktikan sekarang,”. “Siapa namamu? Dari mana asalmu?” lalu pemuda itu melipatkan tangannya di dada

Sultan menatap lama pemuda itu, bibirnya terasa kaku dan dalam hatinya berucap,

Nama? bisa saja ia menjawab, Akulah Sultan Kalian !!!!, pewaris takhta yang sah!

Tapi, adakah yang akan percaya dengan ucapannya itu?

Dan malah menggumam, “Namaku... tak penting. Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat sini.”

Pemuda itu tertawa miring. “Pengembara? Hahaha! Sebagai pengembara setidaknya engkau membawa barang, atau setidaknya kuda. Kau? Hahah . Bahkan sendalmu saja hampir putus!”

Kerumunan mulai riuh dengan sorakan orang orang yang sedari tadi ramai menonton

“Hukum saja dia!” teriak seorang pemuda lain. “Kalau dibiarkan, nanti bisa mencuri di pasar ini!”

“Ya, bawa ke kepala pasar !”

Sultan menggenggam erat tangannya yang sudah mulai gemetar. Ada sesuatu yang hendak meledak dari dalam tubuhnya , namun ia tetap menahannya hingga keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhnya.

Jika ia marah, semua bisa kacau dan berantakan. Ia sudah mulai memahami bahwa dunia ini tak lagi seperti dulu. Ia harus banyak menahan diri, setidaknya untuk sementara waktu.

Dari kejauhan, suara seorang nenek terdengar dengan nada lembut:

“Cukup! Jangan permalukan orang asing begitu, seharusnya kalian memperlakukannya secara baik baik.”

Sontak kerumunan hening sejenak dan menoleh ke arah suara itu. Seorang nenek renta dengan tongkat berjalan pelan kerumunan. Rambutnya putih, kulitnya keriput, tapi sorot matanya masih tajam bak mata elang yang siap menerkam mangsanya.

“Pasar ini memang ramai, tapi itu bukan alasan untuk menginjak injak harga diri orang lain,”.

Pedagang kain tadi mendengus. “Nek, jangan ikut campur. Orang sangat ini mencurigakan.”

Nenek itu mendekati ke arah Sultan, menatapnya lekat-lekat. Anehnya, tatapannya seolah bisa menembus ke dalam jiwa.

“Engkau...” dengan lirih, hampir berbisik. “Aku mengenali sorot matamu. Itu... kamu bukan orang biasa.”

Sultan sontak terkejut. “Apa maksudmu nek ?”

Nenek itu tersenyum, lalu berbisik, “Kau... pernah jadi sesuatu yang besar. Tapi kini kau sedang diuji.”

Sebelum Sultan sempat bertanya, kerumunan tadi sudah ribut lagi.

“Sudahlah! Orang tua itu sudah pikun!” teriak pemuda. “Bawa saja orang ini ke kepala pasar!”

Beberapa lelaki mulai mendekat, mencoba meraih lengan Sultan.

Dan saat itulah, sesuatu terjadi.

Langit mulai meredup, awan hitam menggantung tepat di atas pasar. Angin berhembus kencang, kain-kain dagangan berkibar liar. Orang-orang berteriak kaget.

“Badai, badai !!”

“Kenapa tiba-tiba gelap?”

Sultan merasakan dadanya bergetar hebat. cahaya samar mulai merembes keluar dari telapak tangannya putih, hangat, suci. Ia terkejut dan  buru-buru menutupinya dengan jubah lusuhnya.

Nenek itu melihat. Matanya melebar, bibirnya bergetar.

“Itu......” bisiknya lirih. “Benar! Kau... bukan sembarangan orang anak muda!”

Sultan membeku. Orang-orang di sekitarnya tidak sadar, sibuk panik karena badai mendadak itu. Tapi nenek itu tahu. Ia melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat siapa pun.

Sultan menunduk, menahan napas.

“Diamlah nek,” gumamnya pada nenek itu. “Jangan beri tahu pada siapa pun.”

Nenek itu hanya menatapnya lama, lalu tersenyum .

“Takdir tak bisa disembunyikan, Nak...”

Angin semakin kencang. Beberapa gerobak terguling, genteng pasar berterbangan ke sana kemari . kerumunan tadi sudah berpencar dan berlarian mencari tempat berlindung.

Belum sempat Sultan melangkah ingin meninggalkan pasar itu, suara berat terdengar dari arah barat pasar.

“Berhenti!”

Semua kepala menoleh. Dari balik kerumunan, seorang lelaki tinggi dengan jubah hitam muncul. Wajahnya keras, sorot matanya dingin, seperti menilai setiap orang yang ada di hadapannya.

Ia berjalan pelan, setiap langkahnya membuat kerumunan otomatis memberi jalan.

Akhirnya ia berhenti tepat di depan Sultan.

“Kau...”. “Aku sudah lama mencarimu.”

Sultan menegang.

“Siapa kau?”

. “Aku... utusan dari masa lalu yang tak kau ingat. Dan kau, Sultan seharusnya tidak ada di sini.” 

Tiba-tiba, angin berhenti berhembus. Pasar menjadi hening. Semua mata tertuju kepada mereka berdua, bingung.

Sultan menatap lelaki itu, hatinya berdegup kencang.

Bagaimana mungkin orang ini tahu bahwa aku seorang Sultan?

Lelaki itu mengangkat tangannya. Cahaya hitam pekat muncul, berputar seperti pusaran. Orang-orang menjerit ketakutan.

“Mulai sekarang, nasibmu tidak lagi milikmu sendiri...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!