Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 17 — Pertemuan Terakhir (Atau Awal Baru?)
Hujan baru saja reda pagi itu.
Udara New York terasa lebih dingin dari biasanya, tapi di dalam dada Emma, justru terasa hangat — aneh, menyesakkan, dan tak bisa dijelaskan.
Ia sudah tahu dari pesan Ryan semalam: “Kita bicara sebelum semuanya berubah.”
Dan kalimat itu terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak bisa dihentikan.
Emma berdiri di depan cermin apartemennya, mengenakan mantel abu-abu yang sederhana, menatap bayangannya sendiri.
“Kenapa aku gugup?” bisiknya.
“Ini cuma pertemuan biasa…”
Tapi hatinya tahu — ini bukan pertemuan biasa.
---
Ryan sudah menunggunya di kafe kecil dekat Central Park.
Tempat itu tenang, dengan jendela besar menghadap jalan yang masih basah oleh sisa hujan.
Ia mengenakan sweater gelap dan syal abu-abu, tampak lebih dewasa, tapi matanya tetap sama — hangat, tapi menyimpan sesuatu.
Begitu Emma masuk, Ryan tersenyum.
“Datang juga,” katanya lembut.
Emma duduk, menatapnya dengan campuran gugup dan rindu. “Aku hampir nggak datang.”
“Kenapa?”
“Karena aku takut pertemuan ini punya akhir.”
Ryan menatapnya lama. “Kadang, akhir cuma nama lain dari awal yang baru.”
Hening sejenak.
Pelayan datang membawa dua cangkir kopi tanpa mereka minta — entah kebetulan atau Ryan sudah memesannya.
---
“Jadi,” kata Emma pelan, menatap cangkirnya. “Kau sudah terima tawaran itu?”
Ryan mengangguk. “Ya. Aku resmi mulai minggu depan.”
“Di Brightwave?”
“Ya.”
Emma mencoba tersenyum, tapi bibirnya menolak. “Selamat.”
Ryan menatapnya dalam. “Itu bukan kata yang ingin kudengar.”
“Lalu apa?”
“‘Jangan pergi,’ misalnya.”
Emma menatapnya lama, lalu menunduk. “Aku nggak berhak bilang itu.”
“Kenapa?” tanya Ryan pelan.
Emma menelan ludah. “Karena aku nggak mau jadi alasan kau menolak masa depanmu.”
Ryan tertawa kecil. “Emma, masa depan itu bukan tempat. Masa depan itu orang.”
Hening lagi.
Kali ini, lebih panjang.
Hanya suara sendok beradu pelan dengan cangkir.
---
Ryan membuka tasnya, mengeluarkan amplop kecil, dan meletakkannya di meja.
“Apa ini?” tanya Emma.
“Surat resign. Tapi bukan punyaku.”
Emma mengernyit. “Apa maksudmu?”
Ryan menghela napas. “Waktu aku pindah ke divisi partnership, aku nemu ini di meja proyek lama. Tulisannya udah agak kusam. Ternyata, ini surat pengunduran diri dari… Liam.”
Emma terdiam. “Liam?”
Ryan mengangguk. “Tiga tahun lalu. Tapi nggak pernah dikirim. Aku nggak sengaja baca. Isinya cuma satu paragraf.”
Ia mengeluarkan selembar kertas dari amplop itu, menyerahkannya pada Emma.
Tulisan tangan Liam tampak rapi dan tegas:
> “Aku mundur karena aku tidak bisa lagi bekerja di tempat yang mengingatkanku pada orang yang kucintai tapi tak bisa kumiliki.”
Emma menatap tulisan itu lama.
“Dia… dia nulis ini waktu aku masih di timnya,” bisiknya.
Ryan menatapnya pelan. “Aku tahu. Dan aku nggak mau jadi orang kedua yang ninggalin tempat ini karena kamu.”
Emma mengangkat pandangan. “Apa maksudmu?”
Ryan tersenyum lemah. “Aku cuma mau pergi sebelum aku berubah jadi dia.”
---
Suasana di meja itu makin sunyi.
Mata Emma mulai berkaca-kaca.
“Kau bukan dia, Ryan,” katanya lirih. “Dia mencintaiku dengan cara yang salah. Tapi kau—”
Ryan menatapnya tajam. “Aku juga mencintaimu dengan cara yang salah, Emma. Karena aku tahu, sejak awal, kau masih terjebak di masa lalu.”
“Tidak,” kata Emma cepat. “Aku cuma takut. Aku takut kehilangan lagi.”
“Dan kau pikir dengan menahan diri, kau bisa mencegah kehilangan?” Ryan tersenyum pahit. “Emma, justru itu caramu kehilangan.”
Air mata Emma jatuh pelan. “Kenapa kau harus selalu benar?”
Ryan mengangkat bahu ringan. “Kebetulan aja kali ini aku belajar dari yang salah.”
---
Hening lagi.
Di luar, langit mulai cerah. Burung-burung kecil hinggap di dahan pohon, dan matahari pelan menembus kaca jendela.
Emma akhirnya bicara pelan, hampir berbisik.
“Kalau aku minta kau tinggal… apa kau akan tinggal?”
Ryan menatapnya, lama sekali, lalu berkata lembut, “Kau nggak akan minta itu.”
Emma menatapnya dengan air mata mengalir. “Kenapa?”
Ryan tersenyum. “Karena aku jatuh cinta pada perempuan yang terlalu berani untuk minta siapa pun bertahan demi dia.”
Kata-kata itu menghantam Emma lebih dalam daripada tangisan apa pun.
Ryan berdiri. “Aku harus pergi.”
Emma ikut berdiri. “Ryan…”
Ryan berbalik, menatapnya sekali lagi — mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti.
“Aku nggak bilang selamat tinggal,” katanya. “Karena aku harap ini bukan akhir.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Emma yang masih berdiri di sana — di tengah kafe, dengan secangkir kopi yang sudah dingin dan hati yang baru mulai terbuka… tapi sudah ditinggalkan.
---
Malamnya, Emma pulang ke apartemen dalam diam.
Ia duduk di ranjang, membuka amplop yang Ryan tinggalkan.
Di dalamnya, selain surat Liam, ada secarik kertas kecil bertuliskan tulisan tangan Ryan:
> “Kalau suatu hari kamu udah berani mulai lagi, aku harap kamu masih inget di mana caranya tertawa. Karena di situlah pertama kali aku jatuh cinta.”
Emma memeluk kertas itu ke dadanya.
Tangisnya pelan, tapi tulus — bukan karena kehilangan, tapi karena kali ini, ia benar-benar merasa dicintai… dengan cara yang benar.
---
Keesokan paginya, di meja kerjanya, Emma membuka laptop dan mengetik email baru.
Penerimanya: Ryan Miller.
> Subject: Tentang kemarin.
“Aku nggak tahu kapan kamu baca ini, tapi aku tahu satu hal. Aku nggak mau cuma jadi masa lalu seseorang. Kalau nanti kamu butuh alasan untuk pulang… aku akan jadi alasannya.”
— Emma
Ia menekan Send.
Dan di saat bersamaan, di sebuah kantor tinggi di pusat kota, Ryan sedang menatap layar laptop barunya — notifikasi email masuk muncul.
Begitu membaca nama pengirimnya, senyumnya perlahan muncul lagi.
> “Tentang kemarin…”
“Aku nggak mau cuma jadi masa lalu…”
Ryan menatap keluar jendela, menyesap kopi, lalu berbisik pelan.
> “Mungkin ini memang bukan akhir.”
---