Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. LEBIH BAIK
Udara pagi di rumah sakit selalu memiliki aroma yang khas, yaitu campuran antara alkohol medis dan ketenangan yang dipaksakan. Cahaya mentari menembus tirai tipis, menari di dinding putih, memantulkan bayangan lembut dari alat-alat medis yang berjajar di sudut ruangan.
Rubiana duduk bersandar di ranjang, tubuhnya masih lemah, tapi wajahnya sudah tak sepucat dua hari lalu. Rambutnya tergerai, sedikit berantakan, dan jemarinya bermain-main dengan tali gelang pasien di pergelangan tangannya. Tatapannya kosong menembus jendela, seolah mencari sesuatu di luar sana, sesuatu yang mungkin sudah lama hilang.
Di kursi seberang, Elias membaca laporan medis yang baru saja diberikan dokter. Ia tampak tenang, tapi garis rahangnya tegang. Dokter menyebutkan hal yang sama seperti semalam: luka lama di punggung, bekas lebam yang sudah menahun, dan tanda-tanda kekerasan sistematis. Semua bukti itu bukan hanya memperlihatkan penderitaan, tapi juga konsistensi, artinya, kekerasan itu terjadi berkali-kali, dalam jangka waktu panjang.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Elias tanpa menatap langsung.
Rubiana menoleh perlahan. Suaranya lirih, hampir seperti angin yang takut berhembus.
"Lebih baik, kurasa. Tapi kepalaku sering terasa berat," jawabnya.
Elias mengangguk, masih tanpa mengalihkan pandangan dari berkas di tangannya.
"Itu normal. Tubuhmu baru melewati tekanan berat dan efek obat penenang."
Hening sejenak. Hanya suara kertas yang di balik oleh Elias.
Rubiana menunduk, menatap jarinya yang saling menggenggam. "Kau belum pulang?"
Pertanyaan itu sederhana, tapi membuat Elias akhirnya menatapnya. Pandangan mereka bertemu. Ada sesuatu di mata Rubiana, rasa ingin tahu yang samar, tapi juga rasa bersalah yang belum sirna.
"Aku tidak akan pergi sampai kau benar-benar pulih," jawab Elias datar, namun nadanya mengandung kehangatan tersembunyi.
Rubiana terdiam. Entah kenapa, kalimat sederhana itu membuat matanya memanas.
Tak ada yang pernah menungguinya seperti itu. Tak ada yang pernah berkata akan tinggal, apalagi untuknya.
Namun sebelum air mata sempat jatuh, pintu ruangan diketuk. Seorang pria masuk dengan langkah tegap. Jas hitam, kemeja abu-abu, dan tatapan tajam; Raven.
"Maaf mengganggu," kata Raven singkat. "Aku baru dapat beberapa hal menarik."
Elias berdiri, memberi isyarat agar mereka bicara di luar. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar ke Rubiana. "Beristirahatlah. Aku tidak lama," katanya.
Rubiana mengangguk, walau tatapannya mengikuti langkah pria itu sampai pintu menutup.
Koridor rumah sakit terasa sepi. Bau obat-obatan memenuhi udara, dan langkah sepatu Raven bergema pelan di lantai marmer. Mereka berjalan menjauh dari ruangan Rubiana, lalu berhenti di balkon kecil di ujung lorong, tempat matahari pagi menyinari sebagian besar kota.
Elias bersandar pada pagar logam, menyilangkan tangan di dada.
"Bicaralah," ujar Elias.
Raven membuka tablet digital di tangannya, memutar beberapa berkas dan foto hasil penyelidikan.
"Aku mulai dengan ayahnya, Edward Adams. Direktur perusahaan properti keluarga, tapi dalam dua tahun terakhir perusahaan itu hampir bangkrut. Ada hutang besar, investasi gagal, dan sejumlah transaksi gelap yang ditutupi lewat nama putri sulungnya, Vivian Adams," Raven mulai menjelaskan.
Elias menatapnya dengan tajam. "Vivian?"
"Ya. Vivian terlibat aktif dalam bisnis keluarga, tapi dia juga punya hubungan dengan investor luar negeri yang tidak bersih." Raven menatap layar, lalu menambahkan dengan nada berat, "Ada kemungkinan Vivian memang sengaja kabur di hari pernikahan karena takut masalah itu terkuak. Dia diam-diam ternyata memiliki satu perusahaan yang saat ini masih aku cari perusaahan apa itu, karena aku melihat dia bicara dengan banyak investor, tapi aku tidak menemukan usaha miliknya. Cukup aneh."
Elias menarik napas panjang, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Tidak menyangka kalau perempuan yang ia benci itu memiliki taring yang tidak terlihat.
"Dan Ruby?" tanya Elias.
Raven menutup tablet, menatap Elias serius. "Rubiana bukan bagian dari semua itu. Dia hanya korban dari permainan keluarga mereka. Dari catatan sekolah dan laporan medis lama yang aku temukan, kekerasan terhadap Rubiana sudah terjadi sejak dia berusia di bawah sepuluh tahun. Selalu dilaporkan sebagai 'cedera akibat kecelakaan rumah tangga'. Bahkan tercatat kalau Rubiana sebagau anak yang nakal dan sering berbuat ulah. Tak pernah ada laporan resmi."
Diam. Angin berhembus pelan, tapi rasanya menusuk. Elias mengepalkan tangannya di pagar logam, menahan emosi yang mulai membakar di dadanya.
"Jadi Edward memukuli anaknya sendiri bertahun-tahun? Dan justru mengambing hitamkan Ruby sebagau anak nakal di publik. Benar-benar bajingan," umpat Elias tak bisa menahan amarahnya.
"Bukan hanya memukuli," jawab Raven lirih. "Dari laporan salah satu pembantu lama mereka yang sempat aku temui, Edward punya temperamen kasar. Ia sering mengurung Rubiana di ruang bawah tanah, tanpa makanan atau cahaya, kalau gadis itu dianggap berbuat kesalahan. Dan yang lebih parah-"
Raven berhenti, menatap wajah Elias yang kini mengeras.
"-ibu mereka tidak melakukan apa-apa. Selalu diam. Katanya, demi menjaga nama baik keluarga. Rubiana diperlukan seperti itu menurut mereka karena Rubiana tidak secerdas saudari kembarnya Vivian, tidak baik dalam bersosialisasi, sehingga dilihat sebagai cacat dalam keluarga."
Elias menunduk. Tangannya gemetar pelan di sisi tubuh. Diam-diam, ia sadar kalau rasa marahnya bukan sekadar empati. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam. Setidaknya rasa kemanusiaan.
Elias pernah memenjarakan Rubiana di rumah dan melarangnya keluar, juga karena salah paham. Ia pernah membiarkan gadis itu ketakutan di rumahnya sendiri. Tapi tidak sampai segila apa yang dilakukan keluarga gadis itu. Kini, mendengar kisah sebenarnya, rasa bersalah itu membuncah seperti racun untuk Elias.
"Cari semua kebusukan Adams," katanya akhirnya, suaranya dingin tapi terkendali. "Dan siapkan dokumen hukum. Aku akan menuntutnya atas kekerasan terhadap Rubiana."
Raven menatapnya, ragu. "Elias, ini bukan kasus kecil. Mereka masih punya pengacara besar, dan kalau kita menyeretnya ke pengadilan, akan banyak media mencium. Apalagi dengan pernikahanmu-"
"Pernikahan itu sudah tidak berarti apa-apa," potong Elias cepat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhnya lagi. Titik."
Nada suaranya tegas, penuh otoritas yang tak memberi ruang untuk perdebatan. Raven hanya bisa mengangguk.
"Baik. Aku akan urus semuanya," kata Raven akhirnya.
Ketika Raven pergi, Elias masih berdiri di balkon. Ia menatap langit yang mulai terang sepenuhnya, tapi pikirannya jauh, kepada gadis yang kini terbaring di kamar, yang berusaha tersenyum meski hatinya mungkin masih terkunci rapat oleh ketakutan masa lalu.
Di dalam kamar, Rubiana menggenggam cangkir air hangat yang baru diberikan perawat. Tangannya masih gemetar sedikit, tapi ada warna kembali di wajahnya.
Namun senyum samar itu pudar ketika matanya tertuju pada kaca di sebelah ranjang. Ia melihat bayangannya sendiri: pucat, kurus, dengan mata yang sedikit bengkak. Dan entah kenapa, bayangan itu terasa asing.
Seperti dirinya tapi bukan dirinya.
"Miss. Rubiana?" suara lembut membuat sang empunya nama menoleh.
Seorang perawat perempuan masuk sambil membawa bunga putih di vas kecil. "Mr. Spencer bilang bunga ini untukmu."
Rubiana menatap bunga itu lama, bunga mawar putih, harum lembutnya memenuhi ruangan. Tangannya terulur, menyentuh kelopaknya pelan, seolah takut merusak.
"Terima kasih," ucap Rubiana dengan senyum di wajah.
Perawat tersenyum hangat. "Aku akan menaruhnya di meja sebelahmu."
Rubiana mengangguk kecil, merasa sedikit kedamaian yang tidak pernah ia dapatkan selama ini. Ini pertama kalinya ada seseorang yang memberinya bunga dengan sebuah perhatian.
Malamnya, Elias kembali ke rumah sakit dengan wajah lelah. Ia baru saja menghabiskan setengah hari di kantor pengacara, memastikan dokumen pelaporan berjalan dengan benar.
Ketika membuka pintu kamar, ia mendapati Rubiana tertidur di posisi duduk, buku kecil di pangkuannya. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah, napasnya tenang.
Elias mendekat, menyingkirkan buku itu perlahan. Di sampulnya tertulis: Things I Should Forget.
Elias membuka satu halaman, tulisan tangan Rubiana, rapi tapi gemetar.
Aku ingin melupakan semua suara teriakan itu.
Aku ingin tidur tanpa takut seseorang akan datang membuka pintu kamar.
Aku ingin percaya kalau dunia tidak selalu menyakitkan.
Elias memejamkan mata, menggenggam buku itu erat. Hatinya hancur melihat gadis ini berusaha untuk bertahan hidup selama ini.
Tanpa sadar, ia mengulurkan tangan, menyibakkan rambut yang menutupi wajah gadis itu.
"Tidurlah, Ruby," bisik Elias pelan. "Kau aman sekarang."
Di luar, hujan mulai turun pelan. Butirannya mengetuk jendela, ritmenya seolah mengikuti detak jantung yang tak menentu.
Keesokan harinya, berita mulai beredar di beberapa media bisnis kecil: Skandal Internal Keluarga Adams - Dugaan Kekerasan dan Manipulasi Finansial.
Raven mengirimkan link itu ke Elias, yang hanya membaca sekilas lalu menutup layar.
"Biarkan saja," kata Elias dingin. "Mereka pantas mendapatkannya."
Namun di dalam dirinya, Elias tahu bahwa tindakan ini bukan hanya tentang membalas atau menegakkan keadilan. Ini tentang menebus. Tentang memerbaiki sesuatu yang sudah terlanjur retak antara dirinya dan gadis yang ia sakiti.
Beberapa hari berlalu. Rubiana semakin membaik. Luka di tubuhnya mulai mengering, tapi luka dalam dirinya masih terasa jelas. Kadang ia terbangun di malam hari dengan napas tersengal, mimpi buruk datang seperti tamu tak diundang.
Setiap kali itu terjadi, Elias yang kini hampir setiap malam duduk di kursi di dekat ranjangnya, akan menenangkan Rubiana. Kadang hanya dengan memegang tangannya, tanpa kata. Kadang dengan suara lembut yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.
"Tidak apa-apa, Ruby. Ini hanya mimpi."
"Lihat aku. Kau di sini, bukan di sana lagi."
Seperti itulah ucapan lembut yang Elias berikan untuk menenangkan Rubiana yang selalu terbangun di tengah malam karena mimpi buruk akan kekerasan yang dialami ayahnya.
Rubiana sering menangis pelan, tapi semakin lama, tangis itu tidak lagi disertai jerit ketakutan. Hanya tangis kelegaan, karena kali ini, seseorang menenangkannya.
Dan di setiap malam seperti itu, Elias menyadari bahwa hatinya berubah sedikit demi sedikit. Bukan karena rasa bersalah semata, tapi karena ada sesuatu yang lain, sesuatu yang hangat dan menakutkan sekaligus, perasaan yang membuatnya ingin melindungi gadis itu, bahkan jika harus melawan dunia. Karena melihat Rubiana seperti ini, mengingatkannya dengan pada adik perempuannya yang mengalami traumatis serupa karena apa yang didapatkan dari perundungan.
Hingga Elias memikirkan satu hal kali ini ketika melihat Rubiana; perceraian.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya