“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 01
“Kita sudah sampai, Bu Bidan. Ini rumah dinas yang diperuntukkan bagi tenaga medis puskesmas kelurahan Sumberjo.”
Seorang wanita berperawakan langsing, memiliki paras cantik pribumi – turun dari mobil minibus yang disopiri oleh petugas kecamatan.
Laila namanya, ia baru saja dimutasi dari rumah sakit besar ibu kota. Sorot mata tegasnya memperhatikan rumah yang tidak terawat, sampah dedaunan kering memenuhi teras.
‘Ini rumah manusia atau hantu?’ tanyanya dalam hati. Bangunan di depannya jelas sudah lama tidak berpenghuni. Halaman kanan-kirinya begitu kotor.
“Terima kasih, Pak. Silahkan kalau mau jalan lagi!” ucap Laila.
“Baik, Bu Bidan. Saya permisi, semoga Anda betah mengabdi di desa ini!” Sang sopir langsung masuk lagi kedalam mobil dan segera melaju pergi.
Laila menyeret koper besarnya.
“Bu bidan Laila, ya?”
Yang dipanggil pun berbalik.
“Ju_leha ….”
Bugh.
“Anda tidak apa-apa, Pak?” Laila bergegas hendak menolong pria yang terjauh kebelakang ketika melihat parasnya.
Pria berbaju dinas coklat itu berdiri sendiri. Matanya masih memindai wanita berbalut kaos oblong, rambut diikat satu dan mengenakan celana jeans bagian bawah lebar.
“Tadi kalau tidak salah, Bapak panggil saya Juleha, siapa dia?” Laila menelisik wajah laki-laki berkumis tebal.
“Perkenalkan, nama saya Sopyan. Ketua RW sekaligus perangkat kelurahan. Anu_ dia Bidan sebelumnya, kebetulan rumah ini juga bekas ditempati olehnya,” katanya mencoba menutupi kegugupan.
“Lantas di mana Beliau sekarang, Pak?” tanya Laila sambil berjabat tangan perkenalan.
“Sudah pulang ke kampung halamannya. Dia cuma sebentar di sini, belum juga genap setahun.” Pak bayan melepaskan jabat tangan mereka.
“Kenapa begitu singkat, Pak?”
“Kalau itu saya kurang tau, Bu. Dengar kabar dia terpaksa pulang lantaran bapaknya sakit keras.”
“Oh … ngomong-ngomong di puskesmas ada tidak ya fotonya? Saya jadi penasaran se-mirip apa kami?”
“Tidak ada, Bu!” jawabnya begitu cepat.
‘Aneh. Mustahil rasanya kalau sama sekali tidak ada potretnya. Setidaknya foto dokumentasi untuk kepentingan kerja,’ raut Laila terlihat biasa saja, tetapi batinnya begitu berisik penuh praduga.
“Maaf ya Bu bidan, Saya tidak bisa berlama-lama. Harus kembali ke kantor kelurahan lagi. Ini kunci rumahnya. Oh iya, itu rumah saya!” Tunjuknya pada bangunan kokoh di samping kiri rumah dinas Laila, jaraknya 15 meteran.
Ternyata Laila dan pak RW bertetangga.
Selepas kepergian pak bayan, Laila memasukkan anak kunci, lalu mulai membuka pintu bercat putih kusam. Belum sempat kakinya melangkah masuk ….
“Bu bidan Laila, ya?”
Laila pun berbalik, persis kejadian saat Sopyan menyapanya. Wanita berambut keriting dan tubuh sedikit tambun dihadapannya hampir saja jatuh, beruntung ada laki-laki yang menahan tubuhnya.
Laila tersenyum simpul, memberi waktu si wanita yang diperkirakan berumur pertengahan 20 tahunan.
“Maaf kalau respon saya mengejutkan Anda, Bu bidan,” tuturnya sungkan sambil menunduk malu.
“Tidak mengapa, Bu. Sepertinya saya harus membiasakan diri. Dikarenakan sudah dua orang mengira saya mirip bidan sebelumnya,” selorohnya basa-basi.
“Kalian memang mirip, cuma bedanya Anda lebih tinggi dan tidak memiliki lesung pipi. Saya Ida, tetangga kanan bu Bidan. Kalau butuh sesuatu jangan sungkan mengetuk pintu rumah saya.” Ida pun mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh Laila.
Laila juga mengulurkan tangan ke laki-laki yang berdiri di samping Ida, tetapi setelah beberapa detik tidak juga disambut, ia menarik kembali uluran tangannya.
Ida tersenyum sungkan. “Ini suami saya, Bu. Namanya Santo.”
Laila sedikit mengangguk, tatapannya bertemu pandang dengan mata tajam pria yang pipi kanannya terdapat bekas luka cukup dalam (codet). Entah mengapa tengkuk Laila langsung meremang, cepat-cepat ia memutus pandangan mereka.
“Terima kasih Bu Ida sudah menyapa saya. Semoga kedepannya kita bisa akrab,” ujar Laila.
“Iya, Bu. Kami pamit dulu ya,” Ida dan suaminya berjalan ke arah rumah mereka, samping kiri hunian Laila.
Kening Laila berkerut, matanya menyipit memperhatikan sepasang suami istri itu. Kemudian dia masuk. Ternyata bagian dalam rumah tidak seperti bayangannya, sangat kotor.
Hunian tidak seberapa besar ini terlihat rapi, tidak berdebu, seperti dibersihkan setiap hari. Perabotannya juga banyak; sofa sudut, satu set meja makan, dapur minimalis yang terdapat kompor gas, rak piring aluminium pun lengkap dengan isi peralatan makan serta memasak.
Kening Laila berkerut dalam, ini sangat aneh. Terlihat ada kehidupan di dalam rumah yang katanya kosong. Tiba-tiba ....
“Siapa …?”
Laila melihat bayangan melintas di area dapur. Kakinya melangkah cepat guna mencari tahu.
Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Dibukanya pintu kamar mandi yang juga kosong.
“Sepertinya perasaanku saja. Mungkin efek lapar dan lelah,” gumamnya lirih, ia kembali ke ruang tamu. Mulai membuka kopernya, mencari peralatan mandi.
Telinga nya mendengar suara gemericik air. Seketika bulu tangan dan tengkuknya meremang. Jelas-jelas ia tidak ada membuka keran air.
Laila kembali ke dapur, air keran bak cuci piring tidak menyala. Begitu juga kamar mandi. Dia menjadi kesal sendiri, fisiknya masih lelah disebabkan perjalanan jauh, kini ada yang ingin menjahilinya.
Tidak mau ambil pusing, Laila berganti baju dengan yang lebih santai. Kemudian dia mulai menyapu lalu mengepel lantai rumah. Teras dan halaman urusan nanti saja, ia sudah kehabisan daya.
Setelahnya membuka nasi bungkus yang tadi dibelinya sewaktu perjalanan kesini. Selesai makan, ia pun mandi.
Hari sudah beranjak mau magrib, Laila menutup gorden jendela, netranya menatap baut teralis banyak yang tidak terpasang.
“Besok aku harus ke kota kecil,” gumamnya pelan.
“Ngantuk nya.” Dia menguap lebar, tak lama kemudian matanya tertutup sempurna. Bukan tidur di kamar, melainkan sofa busa ruang tamu.
***
Tengah malam.
Tok.
Tok.
Hiks hiks hiks.
“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Mata Laila terbuka lebar. ‘Aku nggak salah dengar kan? Seperti ada yang mengetuk pintu, tapi siapa?’
Seketika badannya terduduk, manik hitamnya melirik jam tangan. Pukul 01:00 dini hari.
Kembali dia mendengar rintihan sakit, tapi kini suara tunggal bukan serentak.
"Sakit sekali! Tolong cabut paku ini!"
Srek.
Jantung Laila bergemuruh, ekor matanya menangkap bayangan jubah putih menyapu lantai. Secepat kilat ia memalingkan wajah guna memperjelas penglihatan.
Namun, sosok itu melayang ke bagian dapur. Laila beranjak, ia begitu penasaran ingin melihat wujudnya.
“Siapa?” tanyanya dengan irama jantung berpacu cepat. Tak ada jawaban, Laila melihat lantai yang terdapat tetesan darah merah pekat. Bau anyir seketika menusuk hidungnya.
“Jangan bercanda! Kau siapa?!” ia mulai geram sekaligus takut, tetapi tetap tak berlari dari sana.
Sosok berambut panjang dan jubah putih berlumpur, kotor penuh bercak darah itu menembus pintu belakang.
Tanpa ragu Laila membuka grendel pintu.
“Sial. Gelap sekali, aku tidak bisa melihat apapun!” rutuknya, cahaya lampu dapur tidak bisa menjangkau jauh.
Tiba-tiba ada sekawanan kunang-kunang yang menarik perhatiannya. Laila berjalan mendekati cahaya hijau kekuningan itu yang jaraknya 9 meter dari bangunan dapur.
Saat tangannya hendak menangkap seekor Kunang-kunang, tiba-tiba lampu rumah bagian belakang milik Ida hidup.
“Bang, aku mendengar ada orang jalan di belakang. Coba periksa!”
Deg.
“Aku harus bagaimana ini?!”
.
.
Bersambung.
Setting tahun pertengahan 1990-an.
iya kah?
tapi kalau g dibaca malah penasaran
Smoga Fram dan Laila jodoh ya. 😆
di tunggu kelanjutan intan paok ya ka
salah satunya antisipasi untuk hal seperti ini.
bahkan kita sendiri kadang tidak tahu weton kita apa,karena ditakutkan kita akan sembarangan bicara dengan orang lain.
waspada dan berhati hati itu sangat di perlukan .
tapi di zaman digital sekarang ,orang orang malah pada pamer weton kelahirannya sendiri🤣
aciye ciyeeeee si juragan udh kesemsem sama janda perawan
Thor lagi donk