‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01 : Pernyataan
‘Dulu, Ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tua ku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat.’
Sosok wanita yang memiliki lekuk tubuh indah, tetapi selalu tertutup busana longgar – tengah menatap nanar pada pigura yang mana terdapat 4 orang didalamnya, berpose layaknya keluarga bahagia.
Sang kepala keluarga, tidak lain ayahnya sendiri tengah merangkul istri mudanya, lalu sebelah tangannya lagi diletakkan pada bahu anak laki-laki mereka, si bungsu.
Sedangkan wanita licik berstatus ibu tirinya, menumpukan tangan pada pundak putri semata wayang hasil dari pernikahan pertamanya.
Dahayu, wanita berumur 22 tahun. Pemilik rambut pendek hitam pekat, bola mata berwarna coklat terang, bibir penuh itu mengedarkan pandangan menatap lekat rumah yang dulu pernah dihuni oleh dirinya beserta sang ibu, sebelum mereka diusir kala ayahnya memilih menikahi janda beranak satu, mantan cinta pertamanya.
Eheum.
Deheman seseorang berhasil mengembalikan fokus sosok berpakaian kaos longgar dan celana jeans panjang.
“Ada perlu apa kalian memanggilku kesini?” tanyanya tanpa basa-basi, enggan menatap lama pada pria paruh baya yang memandang lekat dirinya, ada juga wanita perebut kebahagiaan ibunya, Ijem.
“Duduklah dulu, Yu!” pinta Bandi, suaranya lembut penuh bujuk rayu.
Namun, Dayu tetap bergeming, berdiri di ruangan perumahan kelas dua perkebunan kelapa sawit dan karet milik swasta.
“Sudahlah Bang, kau macam tak tahu saja. Anak gadismu yang satu ini kan sombongnya bukan main.” Ijem menarik tangan sang suami, mereka duduk di sofa panjang.
Dayu bersedekap tangan, netranya menatap lurus pada bufet kayu jati – yang mana banyak terpajang foto keluarga.
“Yu, Ayah sudah menerima perjodohan dari salah satu staf kelas atas villa bukit, dia menginginkan mu menjadi istri keduanya,” begitu gamblang ia mengutarakan, tanpa memikirkan perasaan putri kandungnya.
Dahayu terkekeh sumbang, menoleh menatap lekat mata tua yang dulu berbinar hangat kala memandang nya, tapi kini menguap entah kemana, tinggal sinar arogan nan pongah. “Perjodohan atau dijual? Dengan apa kalian menukar ku? Satu hektar kebun sawit kah? Atau rumah gedong di pajak Batang Serangan?”
Tubuh Bandi terlihat menegang, sedangkan Ijem bergerak gelisah. Mereka mencoba menutupi kegugupan, tapi hal tersebut tidak berlaku bagi mata awas seorang Dahayu.
“Ternyata benar, tapi lumayan la ya – diri ini laku jua dijual, setidaknya sedikit berguna daripada disodorkan secara cuma-cuma. Baik lah, bila kalian sudah memutuskan maka akupun ingin mengajukan syarat. Biar kita sama-sama untung, bukan kalian saja yang beruntung dan aku hanya mendapatkan ampasnya.”
Tanpa memutuskan pandangan dari sang ayah, Dahayu melangkah sampai pinggiran sandaran sofa berseberangan dengan Bandi dan Ijem.
“Apa syaratnya?” Ijem menatap sinis si anak tiri.
“Aku tak berbicara dengan mu!” balasnya cepat.
“Jangan kurang ajar, Yu! Dia ini ibumu!” Bandi mulai emosi, entah mengapa anak gadisnya tidak pernah mau menerima istri keduanya.
“Ibuk ku cuma satu, dan takkan pernah tergantikan! Apalagi oleh wanita gatal macam dia!” Jari telunjuknya menuding tepat wajah Ijem.
“Bang!” Ijem menahan lengan suaminya yang hendak berdiri, menggeleng pelan.
Napas Bandi terdengar begitu kasar, dirinya nyaris kehilangan kesabaran. “Cepat katakan! Apa syaratnya?!”
“Cuma satu. Ceraikan Ibuku! Maka, aku akan setuju menikah dengan pilihan kalian!” ucapnya tegas dengan nada menekan di setiap kata, serta ekspresi datar.
“Tak akan! Sampai mati pun Ayah tetap mempertahankan ibumu!” tolaknya mentah-mentah.
Dahayu menatap jengah pada sosok yang sama sekali tidak lagi ia hormati. “Mau sampai kapan Anda memanfaatkan Ibuku? Belum cukupkah Anda membelenggunya dengan rantai layaknya binatang peliharaan?!”
Secepat kilat sosok bertubuh kurus, tinggi tidak seberapa itu beranjak, lalu ….
PLAK!
Wajah Dayu tertoleh ke kiri kala pipi kanannya ditampar sedemikian kuat.
“Walau bagaimanapun aku ini Ayahmu! Jaga tingkah lakumu!” Ia menurunkan tangannya yang bergetar hebat, mencoba mengatur ekspresi agar tidak terlihat raut penyesalan.
Tidak ada rintihan menahan sakit, apalagi jatuhnya buliran air mata. Ia membalas tatapan tajam dengan sorot mata sinis.
“Bapakku telah mati semenjak ia memilih mantan kekasihnya. Mencampakkan istri sah lalu menikahi sang selingkuhan. Jadi, jangan berharap lebih selain rasa benci! Bila Anda tak setuju, jangan harap aku pun mau menurut!”
“Jika dirimu menolak, kami tak akan membantu pengobatan ibumu yang mengidap Sawan Babi itu, Dayu!” Ijem berdiri, dirinya ikutan emosi.
Tentu saja Dayu tidak terima ibunya dikatai oleh dalang pemberi luka yang menyebabkan sang ibu terkena gangguan mental. Layaknya anak panah, dirinya melesak maju lalu menjambak gulungan rambut Ijem, sampai kepalanya menunduk. “Bibir kotor mu tak pantas menyebut sosok mulia!”
“Lepaskan! Bang tolong!” Kepalanya tertarik ke kanan dan kiri, mengikuti gerak tangan sang anak tiri.
“DAHAYU!” Bandi berteriak sekeras-kerasnya.
Bugh.
Punggung Ijem membentur tembok kala didorong kuat oleh Dayu.
“Dasar tak beradab kau!” Makinya seraya mengelus kulit kepalanya yang terasa pedih.
“Kau betulan tak ingin memenuhi permintaan Ayah, Yu?” Bandi bertanya untuk sekian kalinya, ia sudah duduk kembali di sofa, begitu juga dengan Ijem.
“Iya!”
“Apa dirimu sudah siap kalau Ayah mencabut biaya pengobatan ibumu?” ia mencoba mengancam.
“Silahkan lakukan! Maka, saya akan langsung melaporkan pada atasan, bila Anda tak berlaku adil, menelantarkan istri pertama dan anaknya. Kita lihat! Siapa yang menang? Sementara bukti ketidakadilan itu terpampang nyata!” Dayu menyeringai dengan sorot mata tajam.
“Sudahlah Bang, lepaskan saja! Apa yang kita dapat kali ini lebih besar daripada sembako dan tunjangan per bulannya,” bisik Ijem tepat di telinga sang suami.
Akhirnya Bandi setuju, tapi dengan syarat Dayu harus bertemu dulu dengan calon suaminya itu.
“Besok, kau pergilah ke villa bukit. Ingat satu hal! Jangan membawa Ibu gila mu itu!” ancam Ijem, ia berkata seraya bersembunyi dibelakang tubuh suaminya.
Dayu tidak menanggapi, tak jua pamitan, dirinya melengos pergi, keluar dari rumah afdeling satu yang mana ditempati oleh jajaran pengurus berpangkat mandor, serta pengawas.
***
Keesokan harinya, wanita yang sudah diwanti-wanti tidak boleh membawa sang ibu itu, terlihat menaiki motor Supra dan membonceng sosok paruh baya, ibu kandungnya.
Begitu sampai di gerbang tinggi rumah villa yang berada diatas bukit, bergegas sang security menanyai Dayu.
“Saya datang atas perintah Bandi,” ujarnya dengan intonasi datar.
“Silahkan ke villa paling ujung arah kanan!” titah pak satpam.
Pintu berbahan besi itu dibuka, Dayu kembali melajukan kendaraannya, memasuki area perumahan berlantai dua.
Dahayu menurunkan standar motornya. “Buk, ayo turun! Kita sudah sampai.”
“Main ya Dik?” sosok berpakaian celana kulot, baju panjang, rambut diikat satu itu bertepuk tangan, maniknya berbinar senang.
Hati Dayu bagaikan ditikam sembilu , semenjak ibunya divonis mengidap epilepsi, atau istilah umumnya Sawan Babi, ia tidak dapat mengenali dirinya sendiri apalagi sang anak.
“Ayok, Buk!” Dayu menuntun ibunya, berjalan menuju teras. Belum sempat mengetuk pintu, ternyata sudah ada pembantu rumah tangga yang menyambut serta memimpin jalan – sampai mereka di ruang tamu begitu luas.
Kemudian sang pelayan berlalu setelah memastikan Dayu duduk di sofa.
Netra Dayu terbelalak kala ibunya berlari mendekati guci besar. “IBUK JANGAN!!”
.
.
Bersambung.
Setting wilayah perkebunan kelapa sawit dan karet, pelosok Sumatera Utara. Awal tahun 2000-an.
belah dagu yg bikin haik,, haik,,,