Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 20.
Sementara itu, Alena baru saja selesai menata ulang denah taman kecil di halaman belakang istana di gurun. Ia mengenakan blouse putih sederhana dengan jilbab biru muda yang menenangkan. Keringat di pelipisnya sedikit menetes, tapi ia tersenyum puas melihat hasil kerjanya. Beberapa pekerja setempat membantunya, dan mereka semua tampak menghormati Alena. Bukan hanya karena jabatannya, tapi karena sikap lembut wanita itu.
Ketika Fadil datang menghampiri, Alena langsung tahu sesuatu sedang terjadi.
“Ada apa? Wajahmu tampak... canggung,” katanya sambil mengangkat alis. “Jangan bilang, ada masalah lagi dengan keluarga kerajaan?”
Fadil tersenyum tipis. “Tidak, kali ini bukan masalah. Tapi... seseorang ingin bertemu denganmu.”
Alena menyipitkan mata. “Siapa?”
Fadil menarik napas, lalu menjawab dengan nada hati-hati. “Ibuku.”
Alena terdiam. “Ibumu?”
Fadil mengangguk. “Ya.”
Alena menatap pria itu lama, seperti sedang memastikan ia tak salah dengar. “Tunggu... ibumu yang... bangsawan Inggris itu?”
“Yang itu,” jawab Fadil, berusaha tenang meski hatinya ikut berdebar. “Dia sudah mendengar banyak tentangmu, tentang proyek ini. Dan... entah kenapa, dia bilang ingin bertemu langsung denganmu.”
Alena menelan ludah. “Kamu yakin... dia tidak menentang hubungan kita?”
“Tidak, ibuku berbeda. Dia wanita yang tahu bagaimana rasanya hidup di dua dunia. Dan aku yakin, dia tidak datang untuk menghakimi mu.”
Meskipun begitu, tangan Alena masih gemetar halus. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Maksudku, aku hanya seorang arsitek biasa. Seorang wanita yang pernah gagal menjaga rumah tangganya.”
“Ibuku tidak akan perduli dengan latar belakang ataupun kisah masa lalu mu, Alena. Aku yakin, ibuku hanya ingin melihat siapa wanita yang membuat anaknya... akhirnya tersenyum lagi setelah bertahun-tahun.”
Alena mendongak, tatapan Fadil begitu hangat hingga ia tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk.
Keesokan paginya, istana gurun menjadi saksi pertemuan dua dunia itu. Lady Eleanor tiba dengan mobil hitam elegan, dikawal beberapa staf kerajaan. Ia keluar dengan gaun panjang berwarna krem, rambut peraknya disanggul anggun, dan wajahnya masih menawan meski usia tak lagi muda.
Saat Alena melihatnya pertama kali, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat. Ia segera berdiri, menunduk sopan sambil mengucap salam dalam bahasa Arab yang lembut.
“Assalamu’alaikum, Lady Eleanor.”
Lady Eleanor tersenyum hangat. “Wa’alaikumussalam, Dear.”
Suaranya lembut dengan aksen Inggris yang khas, namun ada kehangatan tulus di sana. Ia menatap Alena dari ujung kepala hingga kaki, bukan dengan penilaian tapi rasa ingin tahu yang jujur.
“Kau mengenakan jilbab dengan indah sekali, it suits you.”
Pipi Alena sedikit bersemu. “Terima kasih... saya juga ingin lebih tertutup lagi, tapi saya masih belajar menyesuaikan diri dengan adat di sini.”
Lady Eleanor mengangguk, lalu mereka duduk di ruang tamu. Fadil memperhatikan dari jauh, berusaha tidak ikut campur. Ia tahu, pertemuan itu lebih penting bagi Alena daripada untuk dirinya.
Percakapan mereka mengalir dengan lembut.
Lady Eleanor menanyakan tentang keluarga Alena, tentang kehidupannya di Indonesia, bahkan tentang bagaimana rasanya bekerja di negeri gurun yang jauh dari rumah.
Alena menjawab dengan tenang, sesekali tersenyum, sesekali menatap ke arah Fadil yang duduk di seberang ruangan dengan tatapan bangga.
Hingga akhirnya Lady Eleanor berkata pelan. “Aku pernah muda, Alena. Pernah juga dianggap ‘tidak pantas’ untuk menikah dengan bangsawan Arab. Karena aku orang asing, meski aku keturunan bangsawan inggris. Tapi... ayah Fadil membuktikan bahwa cinta tidak butuh restu dari darah ataupun silsilah. Dan aku melihat, cinta yang sama di mata putraku... padamu.“
Mata Alena sedikit memanas, ia tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata itu seperti menembus lapisan hatinya yang paling rapuh.
Lady Eleanor tersenyum. “Aku ingin kamu tahu... kamu tidak perlu takut pada dunia yang keras ini. Karena jika Fadil benar-benar mencintaimu, dia akan melindungimu dari semuanya. Dan aku... akan berdiri di pihakmu.”
Fadil menatap ibunya terharu. “Mama…”
Lady Eleanor menoleh, menatap anaknya dengan senyum lembut. “You have my blessing, Nak. Tapi ingat... cintailah Alena dengan cara yang membuatnya tetap menjadi dirinya sendiri.”
Setelah pertemuan itu berakhir, Alena berjalan keluar ke taman bersama Fadil. Ia menghela napas lega, seolah baru saja melepaskan beban besar dari dadanya.
“Ibumu... sangat baik. Aku tidak menyangka akan diterima sehangat ini.”
Fadil tersenyum. “Aku sudah bilang, ibuku berbeda. Dia tahu seperti apa dunia ini memperlakukan wanita yang tidak sesuai ekspektasi.”
Alena menatap langit, yang kini berwarna keemasan. “Mungkin Tuhan memang tahu apa yang aku butuhkan. Bukan kemewahan, bukan gelar... tapi penerimaan.”
Fadil mendekat pelan, suaranya rendah namun penuh keyakinan. “Dan kamu sudah menemukannya, Alena. Dalam dirimu sendiri... dan dalam orang-orang yang mencintaimu.”
Alena menatapnya, senyum kecil muncul di wajahnya. “Kamu benar.”
Hening sejenak menyelimuti mereka. Angin sore berembus lembut, membawa aroma pasir yang hangat dan melodi burung yang kembali ke sarang.
“Fadil, kamu tahu apa yang paling menakutkan dari cinta?”
“Apa?”
“Bukan kehilangan... tapi ketika seseorang datang dengan cara yang terlalu baik, hingga kamu takut tidak bisa membalasnya dengan cukup.”
Fadil mendekat, memegang tangan Alena dengan lembut. “Cukup bagiku kalau kamu tidak pergi dariku, aku tak butuh apapun darimu.”
Mata Alena bergetar, dan senyum lembut itu akhirnya merekah sepenuhnya. “Aku tidak akan pergi.”
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...