NovelToon NovelToon
Once Mine

Once Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Romansa / Slice of Life / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Just_Loa

Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.

Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.

Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.

Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.

"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"

Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Uninvited

Tepat hari ini, genap sebulan sudah Sara Elowen tinggal sendirian di apartemen itu.

Tanpa pria itu.

Tanpa langkah beratnya yang pernah mengisi lorong setiap pagi.

Tanpa aroma rokok yang dulu selalu melayang di langit-langit saat fajar datang.

Dan anehnya, segalanya terasa lebih tenang.

Sara baru saja kembali dari butiknya, Soléa.

Setelah seharian penuh ia tenggelam dalam sketsa, memilih bahan, merapikan ruang pamer, dan menahan kepala yang nyaris pecah karena jadwal fitting yang tak kunjung habis.

Tubuhnya lelah. Tapi pikirannya... tenang.

Paris sudah mulai tenggelam ke dalam senja saat ia menjatuhkan diri ke sofa.

Tangannya mengambil ponsel, tapi layar yang menyala hanya ia pandangi sekilas.

Tak ada notifikasi atau pesan yang ia tunggu.

Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam diam.

Untuk sesaat, dunia terasa jauh.

Dan ia... sendirian. Tapi tak kesepian.

Solea bukan sekadar butik.

Butik itu adalah tempat Sara menuangkan dirinya.

Ia merancang setiap koleksi sendiri, mulai dari memilih kain, menentukan model, sampai menata ruangan agar pengunjung merasa nyaman.

Setiap detail mencerminkan kepribadiannya: lembut tapi tegas.

Setelah lulus dari sekolah mode, ia mulai membuka butik kecil di Rue Saint-Honore. Tidak mewah, tapi penuh usaha. Dalam lima tahun, karyanya mulai menembus pasar luar negeri dan dikenal di kalangan terbatas yang menghargai kualitas.

Bakatnya ia warisi dari ibunya, seorang Parisienne pecinta seni. Sementara sikap teguh dan pantang menyerah datang dari ayahnya, seorang pengusaha tekstil asal Swiss.

Sara melangkah ke dapur, mengambil sebotol lemonade dingin dari kulkas. Ia meneguk sekali, lalu berjalan ke kamar.

Tanpa banyak pikir, ia melemparkan tubuh ke ranjang, membiarkan linen sejuk menelan lelahnya.

Sesaat, segalanya terasa pas. Tenang.

Namun tak lama, hembusan angin menusuk kulitnya.

Matanya terbuka perlahan, menoleh ke arah balkon.

Pintu geser itu… terbuka.

Alisnya berkerut, tubuh ikut menegang. Ia yakin sudah menguncinya pagi tadi.

“Apa.. tadi pagi aku terburu-buru?” gumamnya, mencoba menenangkan diri.

Ia melangkah hati-hati ke balkon. Angin sore menyambutnya, dingin dan kosong. Tak ada siapa pun.

Tak ada bekas pintu dibuka paksa.

Tapi kalau begitu… terbuka dari dalam?

Sara kembali ke kamar, duduk di tepi ranjang. Jantungnya berdetak kencang, napas tak beraturan.

Matanya menyapu sekeliling. Rapi. Tak ada yang berubah.

Tetapi sepi itu kini terasa lain.

“Bagaimana kalau… memang ada orang masuk?” bisiknya.

Dan tepat setelah kata itu, suara kecil membuatnya terlonjak.

Ceklek.

Pintu depan terbuka.

Pelan, tapi cukup jelas untuk membuat darah Sara berdesir.

Lalu...terdengar.

Suara langkah. 

Langkah kaki itu berhenti di ambang pintu kamarnya.

Di sana ia berdiri, rokok menyala di jarinya, asapnya menusuk udara.

“Kau sudah pulang, Sara?”

Suara rendah, datar. Senyum tipis di bibirnya terasa seperti belati. Ia berdiri tegak di ambang pintu, satu tangan masih menggenggam rokok yang asapnya mengepul, sementara tangan satunya menyelip di saku celana.

Sara membeku, tubuhnya kaku. “Nicko?”

Suara itu serak, tertahan di tenggorokan. Jari-jarinya tanpa sadar meremas ujung ranjang, mencoba menahan gemetar.

“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?”

Nicko menyandarkan bahu pada kusen pintu, menatapnya tenang.

“Apartemen ini terlalu mudah dibuka kalau aku mau.” Senyumnya tipis, tapi dingin.

Ia menghembuskan asap rokok pelan sebelum menatap Sara lurus.

"Sekarang ikut aku. Kita pulang."

Pulang.

Kata itu terasa asing, bukan rumah, bukan kenyamanan. Lebih mirip penjara.

Sara menegang, jemarinya mengepal.

“Kontraknya jelas, Nicko. Satu tahun. Bukan hakmu masuk seenaknya.”

Tatapan Nicko menajam, sudut bibirnya terangkat tipis.

“Aku tahu isinya. Tapi tidak ada pasal yang melarangku datang… saat aku menginginkanmu kembali.”

Sara menarik napas pendek, tubuhnya dingin.

“Jadi ini hanya soal kontrak?” bisiknya.

“Atau ada sesuatu yang belum pernah kau katakan padaku?”

Nicko terdiam lama, menatapnya tajam. Rokoknya padam di asbak kaca.

“Ada banyak hal yang belum kukatakan, Sara. Tapi malam ini bukan tentang itu.”

Ia melangkah masuk, batas di antara mereka lenyap.

“Malam ini… aku hanya datang untuk menjemput istriku pulang.”

Sara terpaku. Kata-kata itu bergaung di kepalanya. Istri. Pulang.

Nicko yang berdiri di depannya kini… bukan lagi pria yang ia kenal sebulan lalu.

Tapi sebelum Sara bisa berkata apa pun... pikirannya telah lebih dulu terlempar ke belakang, awal segalanya.

Saat ia pertama kali bertemu pria itu.

Beberapa bulan lalu...

Langit Paris malam itu diguyur gerimis.

Cahaya lampu dari jendela apartemen jatuh ke lantai kayu, membingkai siluet Sara yang menatap layar laptop. Jari-jarinya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena kabar dari Swiss.

Ayahnya baru saja mengatakan bahwa izin lahan pabrik ditangguhkan. Proyek terhenti.

Dan Sara tahu, itu bukan sekadar masalah bisnis, melainkan ancaman pada masa depan, warisan keluarga, juga harga diri ayahnya.

Tak ada lagi yang bisa mereka hubungi.

Velmier Group, perusahaan yang mengambil alih wilayah industri itu, menutup semua akses negosiasi.

CEO-nya tak pernah hadir. Hanya nama dalam surat, tanda tangan di dokumen.

Tapi Sara tahu satu nama itu.

Nicko Armano Velmier.

Dia bukan orang biasa.

Ia dikenal sebagai pria muda pewaris bisnis raksasa, dengan reputasi tak tersentuh. Dunia mengenalnya sebagai pria dingin, licin, dan tak pernah membiarkan siapa pun masuk terlalu dekat.

Tapi Sara tak peduli.

Malam itu, ia membuka laptop, mengetik cepat dengan napas tercekat.

From: Sara Elowen - Solea Boutique

Subject: Private Collaboration Request

Ia tidak menyebut ayahnya. Tidak bicara soal izin lahan.

Sara menulis seperti seorang desainer yang ingin membuka peluang kerja sama.

Nada emailnya penuh hormat, sopan, dan profesional. Tapi di balik itu, ada harapan dan permohonan diam-diam

"Saya percaya, Tuan Velmier... bahwa Anda bisa melihat niat baik seseorang sebelum dunia menyembunyikannya di balik protokol dan kekuasaan."

Lalu dikirim.

Hanya itu. Ia tidak berharap balasan.

Namun satu minggu kemudian, sebuah email masuk. Singkat, rapi, tanpa basa-basi, konfirmasi pertemuan dengan Nicko Armano Velmier, hari Kamis pukul empat sore, di Menara Velmier.

Sara menatap layar itu lama. Dadanya naik turun pelan. Untuk sesaat, ia tak bisa berkata apa-apa.

Tapi kemudian bibirnya mengembang. Bukan senyum penuh bahagia, melainkan lega.

Mungkin ini satu-satunya kesempatan yang ia miliki. Kesempatan untuk menyelamatkan bisnis ayahnya sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Ia menggenggam ponsel erat, lalu mendesah. Hari Kamis, pukul empat.

Ia menandai kalendernya malam itu, dan akhirnya tertidur dengan napas sedikit lebih ringan, meski tetap gelisah.

***

Dua hari kemudian.

Langit Paris sore itu mendung, tapi tak hujan.

Mobil hitam yang membawanya berhenti di depan Menara Velmier, gedung kaca tinggi yang menjulang angkuh di kawasan Rue de Charenton.

Sara turun dengan langkah mantap, meski detak jantungnya sedikit kacau.

Dengan map berisi dokumen di tangan, ia melangkah masuk ke lobi gedung dan menyebutkan nama serta keperluannya pada resepsionis.

"Ruang Rapat 7B. Lantai 33," ucap petugas wanita berambut pirang sambil menunjuk lift di ujung lorong.

Jemarinya terasa dingin saat menyentuh tombol lift.

Ia menarik napas panjang, lalu melangkah masuk.

Suara denting lift terdengar seperti gema dalam kepalanya.

Setiap angka yang naik terasa menambah beban di dadanya.

33.

Lantai rapat.

Tempat di mana satu keputusan bisa menyelamatkan... atau menjatuhkan.

Saat pintu lift terbuka, lorong sunyi menyambutnya.

Dinding kaca. Karpet abu-abu. Lampu putih yang tak terlalu terang.

Seorang wanita berpenampilan rapi menyambutnya tak lama setelah ia keluar lift.

Wajahnya profesional, nametag kecil di dada bertuliskan: Clemence Duval.

"Mademoiselle Elowen?"

"Silakan ikut saya. Tuan Velmier sudah menunggu."

Sara hanya mengangguk. Mengikuti langkah Clemence menyusuri lorong hingga berhenti di depan pintu bertuliskan Ruang Rapat 7B.

Wanita itu membukakan pintu dengan pelan, lalu memberi isyarat.

"Silakan masuk."

Ruang rapat berdinding kaca itu sunyi. Senja menembus masuk, memantul di permukaan meja panjang berlapis kayu gelap.

Di ujungnya, Nicko Armano Velmier sudah duduk dengan tenang. Setelan jasnya rapi tanpa cela, jam tangan perak berkilat samar di pergelangan yang terangkat di atas meja.

Tatapannya terangkat ketika melihat Sara masuk.

Ia berdiri.

"Mademoiselle Elowen," ucapnya datar namun sopan, sambil menjulurkan tangan.

Sara membalas jabat tangan itu singkat, tapi cukup untuk merasakan suhu dingin di telapak pria itu.

"Terima kasih sudah meluangkan waktu," ujarnya pelan.

Nicko mengangguk, lalu mempersilakan. "Silakan duduk."

Sara menarik kursi perlahan, mencoba menyembunyikan gemetar di ujung jarinya.

Ia duduk.

Tenang di luar, tapi jantungnya berdetak kencang.

Di hadapannya duduk pria yang bisa menentukan nasib keluarganya hanya dengan satu kalimat.

Nicko menatapnya. Satu detik terlalu lama, seperti mencoba mencari sesuatu di wajah perempuan itu.

Ada kerutan samar di dahinya. Seolah ada pertanyaan yang tak terucap, namun mengendap di balik matanya yang dingin.

Kenapa dia tak mengenaliku?

Ia menatap lebih dalam, seolah berharap menemukan sisa-sisa ingatan yang dulu pernah menyala di sana. Tapi tak ada.

Yang ia lihat hanya ketenangan yang terlalu bersih, terlalu asing.

Ada sesuatu yang terjadi padanya.

Sesuatu yang merenggut potongan waktu mereka. Yang menghapus dirinya dari ingatan perempuan itu, namun tidak dari hidupnya.

Dan saat kesadaran itu menyelinap pelan-pelan ke dalam pikirannya, sesuatu dalam diri Nicko mulai berubah.

Hampir... seperti senyum.

Bukan karena senang. Tapi karena menemukan celah.

Sebuah kemungkinan baru.

Pintu masuk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ia bersandar perlahan, matanya tak lepas dari wajah Sara.

Dalam diam, satu kalimat melintas di benaknya.

Kalau dia lupa... maka aku bisa menulis ulang segalanya

1
Mar Lina
akankah sara menerima cinta, Nathaniel
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Just_Loa: siap kak trmakasih sdh mmpir 🧡
total 1 replies
Mar Lina
aku mampir
thor
Synyster Baztiar Gates
Next kak
Synyster Baztiar Gates
lanjutt thor
Synyster Baztiar Gates
Next..
Synyster Baztiar Gates
Bagus thor
iqbal nasution
oke
Carrick Cleverly Lim
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
Just_Loa: Hahaha makasih udah baca sampai malam! 🤍 Next chapter lagi direbus pelan-pelan biar makin nendang, yaaa 😏🔥 Stay tuned!
total 1 replies
Kuro Kagami
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
Just_Loa: Makasih banyak! 🥺 Senang banget ceritanya bisa bikin deg-degan. Ditunggu bab-bab selanjutnya yaa~ 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!