NovelToon NovelToon
The Path Of The Undead That I Chose

The Path Of The Undead That I Chose

Status: sedang berlangsung
Genre:Iblis / Epik Petualangan / Perperangan / Roh Supernatural / Kontras Takdir / Summon
Popularitas:402
Nilai: 5
Nama Author: Apin Zen

"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."



Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.

Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.

Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan yang Tidak Bisa Ditebas

Hening yang menakutkan turun setelah raksasa bayangan itu terbentuk. Setiap langkah makhluk itu mengguncang reruntuhan menara, membuat debu jatuh dari dinding-dinding yang sudah rapuh. Nafasnya seperti deru badai, membawa hawa dingin menusuk tulang.

Lythienne menegakkan tubuhnya, namun jemarinya yang menggenggam busur bergetar. Ia menoleh pada Bell, matanya menanyakan sesuatu yang tidak sempat terucap: apa kita benar-benar bisa melewati ini?

Eryndra bersandar pada tongkatnya, cahaya pelindung yang ia bentuk sudah meredup, hanya tinggal garis samar yang berkilau di udara. Wajahnya pucat, keringat menetes deras, tapi ia memaksa bibirnya tersenyum tipis.

“Bayangan sebesar itu… akan menguras semua energi kita. Kalau gagal, kita bahkan tidak akan punya tenaga untuk melawan orang bertopeng itu.”

Raksasa bayangan itu menunduk perlahan, matanya merah membara memandang ke arah mereka. Suara berat dan serak terdengar, bukan dari mulutnya, tapi dari udara di sekitarnya.

“...Pengembara abadi… Mengapa kau membawa mereka ke dalam kegelapanmu?”

Suara itu membuat udara bergetar, seakan menembus langsung ke tulang. Lythienne refleks melangkah mundur, jantungnya berdetak keras.

“Bell… itu berbicara…!”

Bell tetap diam, menatap sosok raksasa itu dengan tatapan dingin. Namun dalam hatinya, bayangan pertanyaan muncul: Apakah benar aku yang menyeret mereka semua ke jalan ini?

Pria bertopeng di kejauhan hanya menyilangkan tangan, menikmati ketegangan yang tumbuh. “Hidup abadi, Bell Grezros… hanya berarti kematian bagi orang-orang di sekitarmu. Kau bisa menebas bayangan seribu kali, tapi kau tidak bisa menebas takdirmu sendiri.”

Kata-kata itu menekan dada Eryndra. Ia melirik Bell, bibirnya bergerak pelan, hampir seperti bisikan:

“Kalau kau menghilang… mungkin aku tak perlu merasa beban seperti ini.”

Namun Bell mendengarnya. Sekejap, ia menoleh, sorot matanya kosong tapi tajam. “Kalau begitu, tetaplah di belakangku. Aku akan menanggung beban ini sendirian.”

Suasana seolah membeku. Lythienne menggigit bibirnya, marah karena kata-kata Eryndra, tapi juga takut kehilangan fokus. Raksasa bayangan itu merunduk semakin rendah, siap menerkam.

Lalu, Bell maju satu langkah.

Tanah bergetar. Suara pedang hitamnya ketika diangkat terasa berat, tapi juga tegas. Cahaya samar bulan yang menembus kabut memantul di bilah pedang itu, kontras dengan kegelapan pekat di sekitarnya.

Bell menarik nafas, panjang dan dalam.

“Kalau jalan ini memang jalanku… maka biarlah aku sendiri yang membukanya.”

Raksasa itu mengaum, dan pertempuran yang ditahan-tahan akhirnya siap meledak.

Raksasa bayangan itu melompat maju, tubuhnya yang terbuat dari asap hitam dan kegelapan murni menghantam tanah dengan kekuatan yang memecah batu. Getaran merambat ke kaki Bell, namun ia tidak bergeming.

Dengan teriakan rendah, Bell mengayunkan pedang hitamnya ke atas, tebasannya menorehkan cahaya samar yang membelah udara. Bilah itu menghantam tubuh sang raksasa—namun hanya menembus asap, seakan ia menebas udara kosong.

Suara berat, seperti gemuruh ribuan suara, bergema dari dalam makhluk itu:

“Pedangmu… takkan pernah mengenai aku, abadi yang terkutuk…”

Bayangan lengannya terangkat, membentuk cakar hitam yang menyapu ke arah Bell. Tebasan itu menghantam keras, membuat tubuh Bell terlempar menembus reruntuhan tembok, debu dan pecahan batu menghujani sekitarnya.

“Bell!” teriak Lythienne, matanya melebar.

Namun, dari balik debu, Bell bangkit kembali. Rangka tulangnya yang retak mengeluarkan suara kering, namun perlahan menyatu lagi. Wajahnya dingin, sama sekali tidak terusik. Ia menatap raksasa itu, lalu menancapkan pedangnya ke tanah.

Eryndra merasakan hawa dingin merambat dari tubuh Bell. Aura kematian, lebih pekat dari sebelumnya, merembes keluar.

“…Dia akan menggunakan kekuatan itu lagi,” bisiknya, hampir terdengar seperti ketakutan.

Bayangan raksasa itu melangkah maju, setiap gerakannya menelan cahaya bulan. Lalu Bell melesat ke depan. Gerakannya cepat, nyaris tak terlihat, tubuhnya seperti menyatu dengan kegelapan. Pedang hitamnya menusuk jantung bayangan itu—dan untuk sesaat, makhluk itu terguncang, retakan cahaya biru muncul dari dalam tubuhnya.

“Tidak mungkin… kau bisa melukai…,” gumamnya dengan suara terputus.

Namun luka itu tak bertahan lama. Bayangan itu menyatu kembali, menutup retakan dengan mudah. Ia mengangkat tangan dan menghantam Bell dengan tinju seukuran gerbang kastil. Tubuh Bell terbanting ke tanah, meninggalkan kawah di reruntuhan.

Bell bangkit lagi, lambat tapi pasti. Nafasnya berat, suaranya serak. “Aku tidak perlu… menebas tubuhmu… aku hanya perlu… menebas bayangan di dalam dirimu.”

Matanya kini menyala dengan cahaya kehijauan aneh, seperti kobaran api dingin. Aura itu membuat tanah retak di bawah kakinya. Ia mengangkat pedang dengan kedua tangan, lalu menebas ke bawah.

Cahaya hitam melesat dari bilah pedangnya, memanjang seperti gelombang kematian. Tebasan itu menghantam bayangan raksasa, membelah tubuhnya dari kepala hingga kaki. Jeritan seribu suara meledak, membuat udara bergetar.

Makhluk itu terhuyung, tubuhnya pecah menjadi kabut kelam, tapi masih mencoba bertahan.

“…Abadi… takkan pernah menang… karena kau tidak bisa mati…”

Bell melangkah maju, wajahnya dingin. Ia mengangkat pedangnya sekali lagi, lalu menebas lurus ke depan.

“Kau benar. Aku tidak bisa mati. Tapi kau… bisa lenyap.”

Tebasan terakhir itu menghancurkan tubuh raksasa bayangan, membuatnya meledak menjadi ribuan pecahan cahaya hitam yang hilang tertiup angin. Hening kembali menguasai reruntuhan.

Namun, dari kejauhan, sosok bertopeng hanya berdiri diam. Tubuhnya sedikit condong ke depan, seakan menikmati pertunjukan.

“Bagus sekali, Bell Grezros. Kau benar-benar menghiburku…”

Bell menoleh ke arahnya, pedang masih meneteskan bayangan hitam.

“Aku akan menebasmu juga… pada waktunya.”

Sosok bertopeng itu tertawa pelan, suaranya seperti gema yang memantul dari segala arah.

“Kita lihat saja… kalau kau masih bisa berdiri saat itu tiba.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!