NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 — “Rileks” Sejenak

“BIAR gue yang bawa mobil, Bro,” ujar Davin, sambil menyampirkan ranselnya di pundak. “Sini kunci mobil lo.”

Rayan menatapnya dengan nanar. Dalam keadaan biasa, dia pasti menolaknya. Tawaran seperti itu sering dianggapnya sebagai ejekan. Dia nyaris tak pernah mau mengaku capek, ngantuk atau takut. Tapi kali ini dengan pasrah dia menyerahkan kunci mobil pada sahabatnya. Dia tampak masih syok karena halusinasi yang dialaminya tadi.

Davin memutuskan untuk bergegas meninggalkan kolam renang—selagi masih bisa. Suasananya benar-benar tidak kondusif. Hawa dingin sudah berangsur reda, namun masih belum kembali ke kondisi yang normal. Di layar ponselnya, angkanya masih bertahan di dua puluh lima derajat Celsius. Temperatur yang janggal di bawah terik matahari siang.

Mereka melangkah cepat menuju gerbang besi berkarat yang setengah terbuka—seperti takut kalau-kalau langkah mereka ditahan oleh sesuatu tak kasatmata yang bisa muncul dari mana saja.

Namun tribun, gedung tua, ruang pompa air, ruang loker—semua seolah hanya mengawasi mereka dalam kebisuan yang anehnya terasa mengancam. Kini kematian demi kematian yang terjadi di area itu bukan sekedar cerita urban lagi. Bukan sekedar kisah horor warga yang penuh bumbu. Bahkan Rayan sendiri nyaris menjadi korban….

Davin melarikan mobil dengan tenang meninggalkan halaman kolam renang. Tari duduk di jok penumpang sambil mengirimkan update informasi di grup—sekedar ingin menenangkan Sasha, Naya dan Elisa yang terus memantau dari kejauhan.

Sementara Rayan sengaja memilih duduk di jok belakang. Selama beberapa saat tak terdengar suaranya. Dia hanya sibuk menonton ulang video “pergulatan”-nya dengan Davin di tepi kolam renang anak-anak.

“Gue beneran ngamuk kayak pasien rumah sakit jiwa,” gumamnya pelan. “Lo ada kena pukulan gue, Prof?”

“Ada sekali,” sahut Davin dengan nada agak kecut. “Kena siku lo di dagu.”

Rayan menyeringai samar. “Sori.”

“It’s okay.”

Tari memiringkan tubuhnya. Tatapan datarnya bertemu dengan mata Rayan. “Kamu masih ingat kejadian tadi?”

“Sebagian masih jelas,” sahut Rayan apa adanya. “Tapi sebagian hilang. Kerumunan orang-orang di tribun, air kolam yang jernih, semua masih jelas. Tapi wajah anak kecil itu justru kabur.”

“Anak kecil itu ngajakin kamu terjun ke kolam dalam, ingat?”

“Terus terang, itu yang bikin pikiran gue nggak tenang sampai sekarang. Tapi herannya, kenapa cuma gue yang kena?”

Tari tersenyum hambar. “Bayangin kalau kita bertiga halu tadi.”

“Bukan itu maksud gue, Ri. Kenapa cuma gue yang halu—tapi kalian nggak? Apa gara-gara gue kelewat banyak makan pizza?”

“Kamu udah mulai normal.” Tari nyengir kecil. “Mungkin ada jamur berbahaya dalam potongan pizza kamu.”

Rayan tertawa. Belum terlalu lepas. Tapi suara tawanya berhasil mencairkan suasana dalam mobil. “Kayak gue target victim?”

“Atau ada yang jengkel karena aksi parkour lo kemarin,” timpal Davin sambil terus fokus ke jalan.

“Lo nggak punya jawabannya, Prof?”

“Asumsi jamur berbahaya di pizza tadi udah bagus. Tapi kalau jawaban cerdasnya, gue nggak punya.”

“Oke, berarti lo udah mulai lapar lagi. Mendingan kita singgah makan siang dulu. Gue juga ingin rileks sebentar. Gue masih tegang gara-gara kejadian tadi.”

Davin dan Tari hanya mengangguk setuju.

Tanpa bersuara apa-apa, Davin membelokkan mobil ke halaman sebuah kafe kecil. Kafe itu sunyi. Hanya sebuah meja yang terisi. Lampu gantung bercahaya kuning redup memberi kesan hangat. Tapi pikiran mereka masih dibayangi sisa ketegangan dari kolam renang yang baru saja mereka tinggalkan.

Seorang gadis pelayan menyambut mereka dengan senyum ramah. Mereka memilih meja di sudut. Tari duduk di samping Davin—sementara Rayan duduk di seberang mereka. Suasana kafe yang cukup lengang membuat mereka merasa leluasa untuk berdiskusi.

“Gue nggak bawa uang,” gumam Davin sambil membuka ranselnya. “Tapi uang digital ada.”

“Aman, Prof.” Rayan mengangkat alis sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. “Biar gue yang traktir—untuk kesejuta kalinya. Lain kali bawa uang cash, karena kita masih hidup di dunia nyata.”

Davin tidak menanggapi. Dia sudah mulai fokus dengan laptopnya. Sebelum berangkat dari rumah pagi tadi, dia sudah terpikir untuk membawa uang tunai. Tapi, ketika menjejalkan barang-barang elektroniknya ke dalam ransel dengan tergesa, dia lagi-lagi lupa. Lagi pula, tadinya dia hanya ingin melakukan riset kecil di rumah Rayan—dan dia tak perlu uang cash kalau cuma mendekam di situ.

“Gue masih bingung tentang katak tadi,” gumamnya sambil sibuk membuka file di laptopnya. “Pasti ada data Papa yang…,” dia mendadak berhenti ketika menyadari gadis pelayan itu menatapnya dengan tenang dan sabar. Dia tampak agak salting sebentar. Dia menoleh pada Rayan dan Tari dengan sikap menyalahkan.

“Asal Mbak tahu,” celetuk Rayan geli, “dia pernah meluncur pergi seenaknya dengan motornya, sementara adiknya masih tertinggal di parkiran mall.”

Gadis pelayan itu ikut tersenyum geli. “Mau pesan apa?”

Davin sudah ingin mengoreksi “guyonan” Rayan. Tapi tidak jadi. “Kalian pesan apa?” tanyanya.

“Kami nggak pesan apa-apa,” sahut Rayan polos.

Davin mengangkat alis. “Lalu buat ap…. Hahaha. Lucu banget.” Dia melirik daftar menu di hadapannya sekilas. “Saya minta dua beef burger dan jus sirsak.”

Gadis pelayan itu mencatat pesanannya, lalu beranjak pergi.

“Harus ada penjelasan logis tentang katak tadi,” ujar Davin sambil meneliti setiap halaman catatan rahasia ayahnya. Dia sudah kembali fokus pada anomali Umbral.

“Lo yakin itu gara-gara efek energi Umbral?” tanya Rayan setengah skeptis.

“Jawaban itu yang mau gue cari, Bro.”

“Menurutku,” ujar Tari pelan, “itu bukan kebetulan.”

Davin mengangkat wajahnya sebentar. “Oke. Gue setuju. Tapi kenapa? Kenapa katak tadi tiba-tiba sekarat?”

“PR kayak gitu bukan untuk otak gue, Prof,” sahut Rayan agak kecut. “Jelas jawabannya nggak bakal ketemu di perpus sekolah.”

Davin hanya mendengus pelan. Mereka berdiskusi tentang anomali Umbral—dan ribuan buku di perpustakaan sekolah pasti tak ada yang mengupas tentang hal itu.

Rayan membersihkan lumut yang mengotori siku jaket kulitnya. “Menurut lo, apa kira-kira Prof A tahu?”

“Mungkin. Tapi gue nggak bisa nanyain hal ini ke Papa. Paling nggak, bukan sekarang.”

Rayan menyeringai miring. “Prof A emang bukan narasumber kita—soalnya kita terlanjur bergerak di jalur ilegal.”

Selama beberapa saat hening melingkupi mereka. Hanya suara musik instrumental terdengar mengalun lembut di setiap sudut kafe. Rayan dan Tari sudah terbiasa dengan keasyikan Davin yang sering seperti lenyap dari peredaran sejenak.

Rayan mengintip grup—dan dia menyeringai kecil ketika melihat lokasi yang dibagikan Tari beberapa menit lalu.

Sasha langsung memberi respons singkat tapi tegas: “Kami ke sana.”

Naya memberi emoji menyeringai. “Aku nggak bisa. Jauh banget, soalnya.”

Rayan melirik Tari. Tapi Tari cuma sedikit mengangkat bahu—seolah ingin mengisyaratkan bahwa distraksi emosional yang ditimbulkan Sasha pada Davin bukan urusannya.

Keduanya cukup heran karena Sasha mau “mengorbankan” acara shopping-nya untuk menyamperi mereka di kafe kecil. Hmm, ngebet banget pada Davin—atau sekedar terdorong oleh keingintahuan tentang keadaan mereka?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!