Chapiter 17

"Jadi, sekarang apa?" Hendra bertanya.

"Kita kan udah muter-muter dan akhirnya balik lagi kemari," Magisna berpikir. "Doolhof ini kayak lingkaran setan," ia bergumam. "Tapi... ada satu gang yang belum kita telusuri."

"Apa itu? Lingkaran malaikat?" tanya Alexza tak sabar.

Magisna mengambil napas dalam-dalam. Aku tak percaya aku akhirnya mengusulkan ini, pikirnya. Aku pasti sudah gila... tapi mungkin hanya ini harapan kami satu-satunya.

"Gang di sisi lain dinding bata itu," jawab Magisna.

"Tempat makhluk itu muncul?" semprot Alexza ketus. "Gak usah ya!"

"Cuma gang itu yang belum kita jelajahi," kata Magisna.

"Dia mungkin bener," Hendra menimpali.

"Gua gak mau pergi ke sana," sergah Alexza. "Gua gak bisa. Dah, itu aja!"

"Dika sama Novi ilang," Hendra mengingatkan. "Kita belum tau apa mereka masih idup..." Ia berhenti sesaat, lalu tertunduk. "Kalo gua bilang sih kita coba aja. Kita keabisan pilihan," katanya masam.

Magisna mengangguk setuju. "Mungkin di sana ada jalan keluar. Kalo pun gak ada... kita mungkin bisa tau ke mana Dika sama Novi dibawa. Siapa tau kita juga bisa tau kebenaran soal makhluk itu."

"Itu namanya bunuh diri kalo menurut gua," erang Alexza.

"Lu kan gak harus ngapa-ngapain," sergah Hendra. "Lu bisa tetep tinggal di sini kalo lu mau."

Wajah Alexza tampak terpukul mendengar perkataan Hendra. Magisna bisa melihat di wajah Alexza bahwa tetap tinggal di sini bukanlah pilihan.

"Kalo gitu, kesepakatan tercapai," Hendra memutuskan.

Alexza hanya mengangkat bahu. Ragu-ragu untuk mengikuti, tapi jelas tak mau ditinggal.

"Oke," gumam Hendra. "Sekarang jalan!"

Mereka melangkah sekali lagi ke dalam terowongan sebelah kanan. Hendra meninggalkan obor Novi di ruangan itu, meletakkannya di atas onggokan kain.

"Asap sama cahaya bisa bantu kita liat jalan balik ke sini lagi nanti," Hendra menjelaskan. "Kalo perlu!"

Sia-sia saja, pikir Magisna. Tangganya juga sudah lenyap. Tak ada apa pun di sini untuk kembali.

Tapi tidak ada gunanya juga memperdebatkan hal itu.

Ketika ia berbalik untuk mengikuti Hendra, Alexza tiba-tiba menyambar lengannya.

"Apaan?" tanya Magisna terkejut.

"Gua... cuma... mau minta maaf," sesal Alexza terbata-bata.

Magisna menaikkan sebelah alisnya. "Buat...?"

"Gua udah ngedorong lu sampe jatoh waktu naek tangga." Mata Alexza berkaca-kaca dalam keredap cahaya api. "Bisa aja lu terbunuh gara-gara gua... Maksud gua, makhluk itu..."

Magisna mengangkat bahu. "Kalo lu kaga dorong gua, bisa aja lu yang bakal terbunuh."

Pandangan Alexza berubah keruh, tapi Magisna tidak peduli. Ia sedang tidak mudah memberi maaf saat ini.

Tapi ia mengingatkan dirinya, toh Alexza sudah minta maaf.

Ia mendesah mengenyahkan pikiran pahit itu. "Gak pa-pa kok, Lex. Kita lupain aja semua yang udah-udah."

"Kayaknya gua gak sanggup ngelupain semua ini," sahut Alexza.

Ya, pikir Magisna. Aku juga tidak!

Sewaktu mereka berjalan sepanjang terowongan, Magisna membiarkan Alexza berjalan di sebelah Hendra. Ia berharap bisa di sampingnya juga. Hendra sangat berani. Dan Hendra juga membantu dirinya merasa berani.

Omong-omong… di mana dia sekarang? tanyanya dalam hati. Di mana kabut itu saat ini?

Ia gemetar, mengingat rasa panas ketika kabut itu menyentuhnya. Ia mengangkat tangannya ke dekat obor.

Kulit tangan itu berwarna merah sekarang. Dan terasa menyengat hampir seperti terbakar sinar matahari.

Mereka berhenti.

Magisna mendengar percikan air yang tak asing. Kolam. Mereka tiba di kolam itu.

Hendra menoleh pada Magisna. "Lu yakin siap buat ke sana lagi?"

Magisna mengangkat bahu. "Kayaknya gua gak punya banyak pilihan... buat mengeringkan diri."

Hendra mengangguk dan melangkah ke atas langkan. Magisna mengikuti di belakang Alexza. Ia terus berjalan, menapakkan kakinya dengan hati-hati. Sebelumnya air itu kelihatan begitu menakutkan. Kini hampir tidak mengganggunya sama sekali. Kecuali ingatan mengenai gadis kecil kumal yang memeluknya dalam air. Magisna bergidik. Tapi ia berhasil menyeberang.

Tak butuh waktu lama mereka sudah berada di seberang.

"Liat itu," Hendra memberi semangat. "Gampang, kan?"

"Gua udah mulai terlatih," balas Magisna sekenanya.

"Itu dia," bisik Alexza.

Bagian dinding batu bata itu berada tepat di depan mereka. Bata-bata yang hancur itu terhampar di tanah. Lubangnya masih di sana---cukup besar untuk memanjat melewatinya.

"Sepi banget," kata Alexza.

"Gua suka tempat sepi," sahut Hendra. "Ayo!" Ia melangkah ke atas lubang, memegangi obor di depannya.

Alexza mengerang.

"Di sini gak ada apa-apa," bisik Hendra seraya melangkah ke depan.

Dengan hati-hati ia meluncur ke dalam---dan menghilang.

"Gua gak bisa liat dia," bisik Alexza.

Magisna memandang tajam ke dalam lubang gelap itu. Tak ada tanda-tanda obor Hendra, "Kita harus ikutin dia," tutur Magisna. Ia mencoba kedengaran lebih berani daripada yang ia rasakan.

Ia menahan napas dan melangkah melalui lubang.

Terowongan di balik dinding bata itu berbelok tajam ke kanan. Lalu tiba-tiba buntu. Gundukan besar tanah dan reruntuhan menyumbat gang seluruhnya.

Hendra berdiri memandang gundukan tersebut.

"Longsoran?" tanya Hendra.

"Keliatannya sih gitu," Magisna setuju. Ia belum pernah melihat longsoran sebesar itu selama hidupnya. Tapi apa lagi kalau bukan longsoran tanah?

"Liat deh," kata Alexza, sambil menunjuk. "Di pojok atas ada jalan tembus."

Magisna mengangkat obornya dan mengintip ke dalam kegelapan. Mula-mula ia hanya melihat sarang laba-laba dan debu. Kemudian ia melihatnya. Sebuah lubang kecil di atas gundukan di sebelah kiri. Cukup besar untuk orang merangkak melewatinya.

"Apa yang lu pikirin?" tanya Hendra.

"Gak ada jalan lain," balas Magisna.

"Kalo makhluk itu muncul di sini kita bakalan mampus," Alexza memperingatkan.

"Di luar sana juga kita tetep bakalan mampus kalo makhluk itu muncul," Hendra menimpali. "Apa bedanya?"

Alexza tidak menjawab.

Hendra mulai menaiki gundukan tanah, sambil mencoba tetap mengangkat obornya tinggi-tinggi. Gundukan tanah itu gembur. Setiap dua langkah ke atas, Hendra melorot ke bawah selangkah.

Longsoran tanah baru runtuh dari langit-langit.

Hendra mematung, pandangannya terpaku pada sumber longsoran kecil itu.

"Ide ini gak terlalu... pinter," ujar Magisna. "Atepnya bisa ambruk sewaktu-waktu."

"Yah. Otak gua gak terlalu pinter juga, lupa ya?" sahut Hendra.

"Ndra---" Magisna memarahinya. Dia paling benci seseorang yang mencela diri sendiri.

"Atepnya baik-baik aja," sela Hendra. Ia mulai merangkak ke atas gundukan lagi. Ia bergerak lebih cepat kali ini, dan hanya sedikit tanah yang jatuh ke tubuhnya. Akhirnya ia sampai ke lubang itu. Ia menjulurkan obornya dan mengintip.

"Liat sesuatu?" tanya Alexza.

"Nggak," balasnya. "Gua mau lewatin lubang ini."

Magisna dan Alexza bertukar pandang gelisah. Tapi Magisna tahu mereka tidak punya pilihan lain. Ia akan masuk ke lubang itu juga, ia memutuskan. Hanya itu satu-satunya jalan.

"Lu kudu gerak cepet," Hendra menginstruksikan. "Biar gundukannya gak rubuh."

"Bagus," gerutu Alexza.

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Lanjut...

2022-07-09

1

Ichi

Ichi

buru Udeh lu pada keluar dari situ 😩

2022-06-17

0

𝙈ᴀɢɪsɴᴀ

𝙈ᴀɢɪsɴᴀ

Gua gk bisa bayangin, tempat modelan apa sih yang ada di otaknya keparat?

2021-07-26

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!