Chapiter 10

Untuk sesaat mereka berjalan bersama dalam keheningan.

Mestinya kami sudah menemukan jalan keluar, pikir Magisna. Kenapa begitu lama?

Magisna membenamkan tangannya ke dalam saku jaket Hendra. Ia memutar-mutar gas pemantik dengan satu tangan, dan merasakan gumpalan kertas di tangannya satu lagi. Entah di lipatan jaket mana terdapat pisau lipat, sekaleng cairan pemantik, dan siapa tahu apa lagi.

Magisna tidak mau tahu.

Aku tak percaya aku memakai jaket Hendra—Si Keparat Sejati, pikirnya. Kemarin aku tak ingin berurusan dengan cowok keparat. Aku bahkan tak ingin terlihat bersama dengan cowok macam Hendra Dwi Maulana.

Magisna mendesah.

Kurasa aku akan mengenalnya lumayan baik, pikirnya. Bisa jadi aku akan menghabiskan waktu bersama Hendra... jika kami tidak menemukan jalan keluar dari sini.

Jangan pernah berpikir seperti itu, katanya pada diri sendiri.

Dan Magisna nyaris menubruk Novi. Di depan, Hendra mendadak berhenti.

"Coba liat itu," kata Hendra.

Magisna tidak melihat apa-apa selain dinding-dinding suram dan sarang laba-laba yang tebal.

"Apaan sih?" tanya Novi.

"Lu liat nggak?" Hendra balas bertanya.

"Kalo gua liat, ngapain gua nanya?" Novi balik bertanya lagi, kali ini setengah berteriak.

"Liat itu," kata Hendra, seraya menunjuk dengan obornya.

Magisna melihatnya. Sampai sejauh ini semua dinding terbuat dari batu bara dan ubin. Tapi Hendra menunjuk bagian dinding setinggi kira-kira dua meter, dari lantai ke langit-langit, terbuat dari batu bata merah tua yang hancur.

"Keliatannya... ada yang gak pas," kata Magisna.

"Yap. Gua tau maksud lu. Keliatannya kek gak pada tempatnya," Hendra setuju. Ia memberikan obornya pada Alexza. Kemudian mulai memilih semen yang sudah tua di sekeliling batu bata.

"Mau ngapain lagi lu sekarang?" tanya Novi.

"Cuma meriksa," sahut Hendra.

Ia menggeser sejumlah bongkahan semen dan memasukkan jarinya ke dalam celah sekitar batu bata, mencoba membongkarnya.

Batu bata itu melesak ke dalam satu inci, seakan-akan ditarik dari arah yang lain.

Hendra menyentakkan tangannya menjauh.

"Bisa begitu?" tanya Dika. "Pake trik apaan lu, Bro?"

"Bukan gua," kata Hendra. Ia membersihkan tenggorokannya.

Wuah, pikir Magisna. Ia merasakan bola ketakutan terbentuk di tenggorokan Hendra. Apakah ia berkhayal melihat sesuatu? Seseorang---atau sesuatu---telah menggerakkan batu bata itu dari arah lain.

"Aneh," bisik Alexza.

Magisna membungkus jarinya di seputar manset jaket Hendra. Ia ingin mengatakan sesuatu---seperti mungkin mereka harus melupakan batu bata konyol itu dan meneruskan perjalanan. Mereka tak harus memeriksa semuanya---ya kan?

"Ndra..." ia mulai bicara, tapi tangan Hendra sudah mulai bergerak menyentuh batu bata lagi.

Sebelum ia menyentuhnya, batu bata itu bergerak maju beberapa inci.

"Uh-oh," gumam Hendra.

Ini memang aneh, pikir Magisna.

Jari Hendra menyentuh batu bata lain dan mendorongnya. Batu bata itu bergerak muncul beberapa inci, dan berhenti sama sekali.

"Liat itu," kata Hendra merasa takjub. "Gimana?"

Seolah sebagai jawaban, bunyi derum pelan datang dari arah dinding. Semakin keras, dan ketakutan Magisna semakin bertambah.

Lari! katanya pada diri sendiri.

Terlambat.

Bunyi itu berubah menjadi geraman. Kemudian seluruh dinding meledak.

Kekuatan ledakan itu mengempaskan Magisna ke dinding batu bara. Ia mendarat pada bahu kiri. Serpihan bata menyengat wajahnya. Teriakan-teriakan nyaring menggema di telinganya.

Ketika membuka mata, Magisna hampir tak dapat melihat apa-apa. Semuanya jatuh ke lantai. Hanya sisa satu obor yang masih menyala. Debu merah tebal menyelimuti segalanya. Magisna terbatuk-batuk dan menyeka rambutnya yang kusut masai dan basah dari wajahnya.

Ia mengerjap melalui debu merah dan melihat lubang di dinding bata, cukup besar untuk memuat seseorang masuk ke dalamnya.

"Guys! Kalian baik-baik aja, kan?" tanya Hendra. Ia duduk tegak, menyeka debu dari tubuhnya. Mata Magisna menyipit. Darah menetes di dahi Hendra.

"Lu gak apa-apa, kan?" tanya Hendra pada Magisna.

"Nggak. Gua gak pa-pa," sahut Magisna. "Itu tadi apaan?"

"Gua juga gak tau," gumam Hendra. Ia menyeka darah dari wajahnya, mengernyit ketika tangannya menyentuh luka di kepalanya.

Magisna memperhatikannya. Ia merasakan mual di perutnya. Hendra takut. Ia bisa melihatnya.

Dika berguling dan mendorong bongkahan bata dari tubuhnya. Ia membuka mulut, lalu mengatupkannya lagi. Ia menggelengkan kepalanya. "Wuah," gumamnya.

"Apa itu tadi?" tanya Novi. Ia menepuk-nepuk debu di seluruh tubuhnya.

"Ndra?" Alexza memanggil dengan bingung.

"Gua di sini," jawab Hendra.

Alexza bergerak pelan melalui puing dan memeluknya. Ia merangkulkan lengannya di seputar tubuh Hendra.

Magisna memalingkan wajah dan memungut obor yang masih menyala.

"Gua takut, Ndra," erang Alexza. "Itu tadi apaan sih?"

"Gua gak tau," sahut Hendra. Ia melepaskan rangkulannya dan memungut obor yang mati. Magisna menyodorkan pemantik sebelum Hendra memintanya. Perlu tiga kali untuk mencoba menyalakan obor itu, tapi akhirnya menyala juga.

"Semuanya baik-baik aja, kan?" tanya Hendra lagi. Semuanya bergumam bahwa mereka baik-baik saja.

"Ayo cari jalan keluar dari sini," desak Novi. "Tempat ini bener-bener aneh."

"Sesuatu ngeledakin dinding itu tadi," Dika menyetujui.

Alexza terbatuk. "Gua gak bisa napas kalo debunya kayak gini." Ia mengerjap melalui kabut merah, dan Magisna memperhatikan matanya berair. "Aneh, debunya gak mau turun."

"Gua tau," Novi setuju. "Gua juga gak bisa napas. Apaan sih ini?"

Magisna menutupi mulutnya dan mengangkat obor ke awan merah. Butir-butir debu terbang berputar di sekeliling api seperti ngengat yang sangat kecil dalam jumlah besar. Mereka membentuk semacam awan kecil yang menggelegak dan berhenti, tapi tidak mau lenyap. Tidak tampak seperti debu sama sekali.

Rasanya lebih berat dibandingkan udara, lebih pekat dan lebih hangat.

Magisna mengerutkan hidungnya. Debu itu hampir-hampir hidup.

"Ugh," Alexza menggerutu. "Bau apaan nih?"

Magisna menciumnya juga. Bau asam daging yang membusuk. Ia menutup hidungnya dan mengangkat obornya lebih tinggi lagi.

Awan merah itu, terlihat semakin merah---jauh lebih merah dari warna batu bata---seperti warna darah. Awan itu menggeliat di sekeliling Magisna dan yang lainnya.

"Apa sih nih?" Dika berbisik. Ia bangkit berdiri dan mulai melambai-lambaikan tangannya di depan wajahnya.

Kabut itu tidak mau menghilang juga. Kenyataannya bahkan semakin kuat di sekeliling Dika. Makin tebal. Tumbuh.

Mulut Dika menganga dalam ketakutan. "Ada yang gak beres," gumamnya gusar. "Ada yang gak beres di sini."

"Dik?" tanya Hendra. "Lu kenapa?"

Tubuh Dika mendadak kaku. Jarinya menekuk seperti cakar. Matanya membelalak.

Magisna terkesiap. Apa yang terjadi pada Dika?

"Dik---" Hendra mulai membuka mulut. Tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan, terputus oleh teriakan Dika.

Dika meraung---kabut merah mengangkat tubuhnya dari tanah.

Magisna menatap Dika dengan ngeri.

Dika terangkat satu meter dari tanah. Dan awan merah terbang berputar-putar di sekelilingnya seperti angin topan. Tubuh Dika berpusing di dalamnya.

Kedua tangan Dika melekat di sisi tubuhnya seolah diikat kuat oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Magisna menahan teriakan ketika tubuh Dika tersentak dan menjadi kaku seperti mayat.

Kabut merah itu bergerak ketika Dika menggeliat.

Terpopuler

Comments

Nugroho

Nugroho

kena ranjaunya Jepang kan kalean. Hahaha.

2023-10-23

0

dyz_be

dyz_be

😢😢😢

2022-07-09

1

KOwKen

KOwKen

lah gua kenapa ini

2022-06-20

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!