Chapiter 16

Hendra mengeluh dalam frustrasi. Ia berbalik, memeriksa sisa-sisa tangga.

"Lu ngapain?" tanya Magisna.

"Nyari potongan yang bisa dipake," gerutu Hendra. Ia melempar kepingan logam ke kejauhan. "Gak ada apa-apa."

Magisna punya ide. "Gimana kalo dia lepasin pegangannya?"

Hendra melongo menatapnya. "Lu gila ya?"

"Lu bisa nangkep dia, Ndra," sahut Magisna, ia tahu itu bukan gagasan bagus, tapi mereka tak punya pilihan.

"Ndra!" teriak Alexza.

Magisna meletakkan tangannya di bahu Hendra dan menatap ke dalam matanya. "Lu pasti bisa, Ndra," bujuknya lembut.

"Oke. Gua harap lu bener," bisik Hendra.

"Ayo dong!" Alexza memekik.

"Oke, Lexza," teriak Hendra, keputusan diambil. "Sekarang lepasin pegangan lu!"

"Apa lu sinting gara-gara jatoh? Kepala lu pasti kebentur kenceng!"

"Gua bakal tangkep lu."

"Gua gak mau ikutan sinting!" jawabnya.

"Lu bakal jatuh juga," Magisna menjelaskan.

"Diem lu!"

Magisna menahan diri untuk tidak membalas. Aku harus memaafkan beberapa kekurang ajaran Alexza, katanya pada diri sendiri. Ia cuma ketakutan. Kami semua ketakutan.

"Lexza, dengerin gua," perintah Hendra. "Magisna bener. Dia udah jatoh dua kali di lobang ini, dan lu liat sendiri kan, dia baik-baik aja."

Magisna membeliak sebal memeloti Hendra.

Hendra tidak melihatnya. Ia masih mendongak dan berteriak pada Alexza. "Lepasin pegangan lu sekarang. Gua pasti tangkep. Gua janji!"

"Janji lu, ya?"

"Iya, rewel!" balas Hendra tak sabar.

"Gua gak mau mati," erang Alexza. "Apalagi ketularan gila!"

"Terus?" Hendra mengerutkan dahi.

"Gua mau naek ke atas aja." Alexza bersikeras.

"Lu gak bisa, t o l o l!" Hendra mulai kehabisan kesabaran. 

"Lu budeg apa gimana sih?" Alexza menghardiknya.

"Lexza," teriak Hendra mulai marah. "Lu mau berenti nggak buang-buang waktu? Lepasin, Kampret! Sekarang!"

Alexza menggeser-geser pegangannya pada tangga, jari-jarinya menekuk kaku. "Gua benci sama lu," gumamnya.

"Lu bisa lompat," desak Hendra. "Gua janji lu gak bakal kenapa-napa!"

"Gak mau!" Alexza merongos. "Lu berdua aja sinting gara-gara jatoh!"

Magisna memutar bola matanya dengan sikap muak.

"Lexza... Gua janji!" Hendra menggeram tak sabar.

Semuanya diam. Kemudian, "Oke," Alexza menyerah.

"Bagus," seru Hendra. "Sekarang siap-siap."

"Gua udah siap," kata Alexza.

"Hitungan ketiga," kata Hendra. "Satu..."

Alexza melontarkan suara lemah penuh ketakutan. Magisna berdoa di dalam hatinya.

"Dua..."

Hendra mengulurkan lengannya, bersiap untuk menangkap.

Alexa melepaskan pegangannya. Lalu menjerit sewaktu tubuhnya meluncur jatuh. Lengannya berputar-putar dan rambutnya melambai di atas kepalanya.

Ia membentur Hendra dengan keras. Hendra tidak benar-benar menangkapnya. Lebih tepatnya, seperti lengah menangkapnya setelah menahannya jatuh. Mereka berdua mendarat di kaki Magisna.

Magisna membantu mereka berdiri.

"Lu gak apa-apa, kan?" tanya Magisna.

"Kayaknya sih gak pa-pa," jawab Hendra sembari mengernyit. "Lexza?"

"Gak," jawab Alexza cepat-cepat. "Gua gak pa-pa."

Mereka berdiri sejenak untuk mengatur napas.

Obor-obor masih menyala kecil di tempat mereka dijatuhkan, empat kerlipan kecil.

Sisa-sisa tangga berserak, bergeletakan di sekeliling mereka, kepingan-kepingan logam panjang yang tak berguna. Anak tangga yang masih tersisa berada jauh tinggi di atas kepala mereka.

Beginilah akhirnya, pikir Magisna. Habis sudah.

"Ancur lebur," gumam Hendra.

"Ember," sahut Alexza sembari memandang bongkahan baja.

"Maksud gua kita yang ancur, bukan tangganya," tukas Hendra.

Alexza sontak melotot ke arah Hendra.

"Peduli setan sama tangga  t o l o l  itu!" Hendra memungut sebuah obor. "Bisa apa kita sekarang?"

"Cuma ada satu cara," usul Alexza.

Hendra dan Magisna serentak menatapnya bersemangat.

"Minta tolong!" seru Alexza, kemudian mulai berteriak sambil menudungi mulutnya dengan telapak tangan membentuk corong. "Tolong!"

Tingkah lakunya mengingatkan keduanya pada Suzy Yan, tokoh konyol dalam novel misteri paling  t o l o l, garapan Penulis Keparat, yang berjudul: serial The Van Til Hause LONCENG KE-13.

Ciye... iklan... 🤭

Judulnya Lonceng Ke-13, tapi isi ceritanya malah sibuk membahas soal macam-macam siluman macan, yang lebih cocok diberi judul: ACAN BIN MA'UNG.

.

.

.

Alexza menatap Hendra dan Magisna bergantian. "Pak Is pasti lagi nyariin kita sekarang," jelasnya begitu menyadari pandangan keduanya seperti mencela tindakannya.

"Gak ada gunanya," kata Hendra. "Kalo Isa ada di sekitar sini, pasti dia udah denger kita dari tadi. Mungkin dia malah mikir kita udah pulang. Gua berani taroan kalo dia udah cabut dari tadi."

Pikiran akan sekolah yang kosong di atas sana membuat Magisna mendadak mulas. Ini hari Sabtu. Tak seorang pun akan kembali ke sini dalam dua hari. Tak mungkin mereka akan bertahan begitu lama.

Bahkan gardu lonceng tidak ada penjaganya hari ini, Magisna menyadari.

Ia menunduk dan memungut salah satu obor. Dengan kayu berada di tangannya ia menjadi tenang kembali. Ia mengamati ruangan itu sekali lagi. Tak ada yang baru. Sampah. Grafiti.

"Cuma satu hal yang bisa kita lakuin," kata Magisna. "Kita harus cari jalan keluar lain. Gak ada pilihan."

"Kita udah muter-muter di bawah sini selama berjam-jam," gumam Alexza. "Kita udah periksa semua terowongan. Kita bisa ngabisin waktu berhari-hari buat nyari jalan keluar lain. Mungkin terowongan ini gak punya jalan keluar lain. Bisa jadi tempat ini cuma basement rumah Van Til."

"Kita gak bakal bisa bertahan selama berjam-jam, apalagi berhari-hari," Hendra menjelaskan. "Kalo ada pintu keluar yang lain, mau gak mau kita harus gerak cepet. Kalo nggak... mahkluk itu keburu balik lagi nyariin kita."

Untuk beberapa saat mereka semua berdiri kelu. Tapi kali ini Magisna tak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan.

"Kalian percaya gak adanya roh jahat?" Hendra akhirnya membuka mulut.

Alexa dan Magisna memandangnya dengan dahi berkerut-kerut.

"Kenapa nggak, kan?" Hendra melepaskan gagasan. "Dinding batu bata itu meledak di muka kita kayak bom. Gua sampe mikir dikit lagi pala gua bakal ikut meledak gara-gara itu. Abis itu kabut merah tumpah dari lubang. Apa artinya semua itu menurut kalian?"

"Lu pikir itu roh jahat?" tanya Alexza setengah mencela. Suaranya dipenuhi keraguan. "Lu kira ini novel Alam Sebelah?"

Hendra mengangkat bahu. "Menurut lu apa lagi kemungkinannya?"

"Gua gak tau itu apa," sahut Magisna. "Tapi gua bisa liat dia idup. Gua bisa denger dia bernapas. Gua bisa liat gimana dia ngerenggut Dika sama Novi," kenangnya getir. "Dia bisa ngelilit, bisa narik sama ngiket kita kayak tali. Dan dia bisa nyulik. Yang jadi pertanyaan gua sekarang, ke mana dia bawa Novi sama Dika?"

Hendra dan Alexza menatapnya dengan alis bertautan.

"Jangan-jangan dibawa ke Alam Sebelah?" kelakar Hendra.

Alexza sontak memelototinya.

Magisna tidak menghiraukan keduanya. "Gua masih terus kepikiran… kita yang udah bebasin makhluk itu---apa kek namanya."

"Maksud lu apa?" tanya Alexza setengah merongos.

"Coba pikir," kata Magisna. "Dia tadinya ada di belakang dinding. Seandainya waktu itu kita lewatin aja tu dinding batu bata, mungkin kabut itu masih tetep terkurung di belakang dinding. Dia jelas lagi nunggu waktu buat bisa keluar. Waktu kita megang batu bata, makhluk itu lolos, keluar dari dinding."

"Jadi lu pikir itu salah gua?" tanya Hendra. "Karena cuma gua yang megang batu bata itu!"

Magisna menyergah balik, "Gua kan gak bilang gitu."

Terpopuler

Comments

Nugroho

Nugroho

mungkin itu mahkluk rekayasa genetika.

2023-10-25

0

dyz_be

dyz_be

Lanjut terus... 😊😊

2022-07-19

1

dyz_be

dyz_be

Aku udah baca Lonceng ke 13 nya, tapi pake akun efbiku yg sekarang gx bisa dibuka 😐😐
Terpaksa buka app pake akun gugel 😳😳

2022-07-09

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!