Chapiter 2

Cahaya memancar keluar dari ruang 111. Terdengar tawa ramai. Magisna menyampirkan tas ranselnya pada bahunya dan melangkah ke dalam.

Tawa anak dalam ruangan itu berhenti ketika ia masuk.

Seorang cowok, pendek dan kurus berambut kuning mengenakan kemeja flanel---Dika Alisyah, teman sekelas Magisna, sedang mencoret-coret papan tulis. Rambutnya jatuh di wajahnya.

Seorang anak cewek pendiam duduk di meja bagian depan. Namanya Novi Artikasari. Magisna mengenalnya dari setiap pertemuan pengurus OSIS. Ia mungil dan langsing, memakai sweater berwarna cokelat dan celana khaki. Rambutnya yang tebal dan panjang diikat sedikit di bagian pelipis dengan jepit rambut berbentuk kupu-kupu ke belakang kepalanya. Buku teks biologi terbuka di depannya. Tidak seharusnya ia berada di sini, pikir Magisna. Dia salah satu murid teladan.

Dua orang lainnya duduk di bagian belakang kelas. Seorang cewek berwajah bulat berambut sedikit ikal, tapi tata rias tebal di seputar matanya membuat wajah gadis itu terlihat keras. Ia memakai T-shirt konser rock dan jeans ketat. Ia meniup gelembung permen karet dan memandangi Magisna. Magisna mencoba untuk tidak menatap matanya.

Magisna mengenal cowok terakhir hanya dari reputasinya. Hendra Dwi Maulana, anak setan---si keparat sejati. Ia mengenakan jaket tentara robek, T-shirt robek, dan jeans robek. Rambutnya yang hitam pekat dibiarkan memanjang hingga ke rahang. Matanya mengunci mata Magisna sejak ia masuk.

Wow, Magisna menggerutu dalam hatinya. Bukan gerombolanku yang biasa.

Ia tahu cerita tentang Hendra. Semua orang tahu. Berantem. Merokok di kelas. Menyalakan petasan di kamar mandi cowok. Bahkan yang lebih buruk. Katanya Hendra juga mencuri mobil. Tapi tak seorang pun tahu pasti.

"Emh, hai," Magisna bergumam. "Apa di sini kelas hukuman?"

"Bukan, ini kelas bedah," Hendra menyahut dengan kasar. "Tikus mati bakal dateng sebentar lagi."

"Gua jadi gak sabar," sahut Magisna, mencoba kedengaran santai.

Dika terkekeh-kekeh. "Tikus mati bisa jadi binatang peliharaan hebat tau," sahutnya. "Lu gak perlu ngajak doi jalan-jalan."

"Jorok lu." Cewek dengan tata rias menor memutar bola matanya. Ia melempar segumpal kertas ke arah Hendra.

Hendra menangkap kertas itu dan meletakkannya di meja. Kemudian ia meraih ke dalam saku jaketnya dan mengambil pemantik gas. Ia membuka penutupnya, menjentikkannya hingga menyala, lalu mendekatkan bola kertas tadi pada nyala api.

Baru jam delapan pagi dan mereka sudah berniat membakar tempat ini! pikir Magisna.

Kertas itu terbakar dalam sekejap.

"Yow!" teriak Hendra, sambil menjatuhkannya ke lantai.

"Lu bisa memicu sistem penyiram air tau," Novi memperingatkannya.

Hendra mengejek. "Terus kenapa?"

"Gua gak mau dapet masalah lagi," jawab Novi.

"Emang siapa yang mau?" si cewek menor menyahut balik.

Novi kembali pada bukunya.

"Heh, Gisna," panggil Hendra tiba-tiba.

****, dia tahu namaku, pikir Magisna takjub.

"Lu mau duduk gak? Bikin gua gugup aja."

"Maaf," gumam Magisna. Ia menaruh tas ranselnya dan duduk dekat pintu.

"Hai, Ka." Novi mengerling ke arahnya. "Udah bikin PR trigonometri?"

"Ha-ha. Lucu betul." Magisna tersenyum lebar, bersyukur melihat wajah yang ramah. "Apa sih kesalahan lu?"

"Terlalu banyak menjilat," gumam Dika menyela mereka.

Magisna melihat lebih dekat apa yang sedang digambar Dika---grafiti. Dalam huruf yang melingkar-lingkar, ia menulis: SAYA BERJANJI TIDAK AKAN.

Selanjutnya belum ditulis.

Novi tidak mengacuhkannya. "Lu bedah katak juga nggak di kelas biologi?" tanyanya.

"Yeah," jawab Magisna tanpa minat. Memikirkan usus yang lengket dan bau formaldehida membuat perutnya memberontak. "Itu menjijikkan."

"Gua gak mau bedah katak," kata Novi, sembari mengerutkan dahi. "Percuma. Kita gak belajar lebih dari yang kita dapetin di diagram. Kenapa kita harus bedah katak?"

"Lu dihukum gara-gara gak mau bedah katak?" tanya Hendra dari belakang mereka.

"Kalo menurut gua kita gak wajib melakukannya," Novi memberitahunya. "Gak manusiawi banget."

"Kataknya udah mati, Novi," Hendra merongos pada Novi.

"Terus? Lu suka gitu kalo mereka juga bedah elu setelah lu mati?"

"Maksud lu katak? Bedah gua? Ha-ha... Gua kok ngarep ya tu katak bisa bedah gua," Hendra membalas. "Kali mereka bisa belajar sesuatu."

Novi mendengus dan kembali menatap Magisna. "Gua cuma gak mau bedah katak."

Magisna mengangkat bahu. Ia tidak memiliki keberatan moral apa pun dalam hal membedah katak. Hanya menjijikkan saja.

"Guru biologi ngasih lu hukuman ini gara-gara itu?" tanya Dika seraya membelalakkan kedua matanya.

"Dia ngasih gua pilihan sih," sahut Novi muram. "Pilih bedah katak apa dihukum, apa mau nulis laporan seribu kata tentang amfibi."

"Dan lu milih ini?" tanya Dika lagi.

Novi mengangkat bahu.

"Untuk ukuran orang pinter," kata Hendra sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, "Lu bener-bener  t o l o l."

"Gua gak ngarep lu ngerti, Hendra," ejek Novi.

"Serah lo," sergah Hendra. Ia menyobek beberapa halaman buku teks dan melambaikannya seperti kartu. Ia menjentikkan pemantik dan membakarnya.

"Woy---lu gila! Mau berenti gak lu?" bentak Novi.

"Gua gak bisa," kata Hendra. "Gua gak ngerti mana yang bener mana yang salah, inget?"

Serpihan kertas terbakar melayang di udara.

Magisna menundukkan kepala menghindarinya. Ia bertanya-tanya dalam hati apa yang akan Hendra lakukan jika api membakar jarinya.

Hendra kembali merobek kertas dari buku di depannya.

"Weyyy---udah, Kampret!" Novi memarahinya lagi.

Magisna berbalik dengan cepat dan melihat Pak Isa di pintu masuk. "Matikan itu---sekarang juga!" teriaknya.

"Oke, oke," sahut Hendra. Ia berjalan pelan ke depan dan menjatuhkan semua serpihan itu ke dalam tempat sampah. Lalu ia merenggut vas bunga dari meja guru, menarik bunganya keluar, dan menuang air ke atas api. Ia menempatkan lagi bunga itu ke dalam vas yang kosong. Kemudian ia berpaling ke arah kepala sekolah itu dan tersenyum menyeringai kepadanya. "Puas sekarang?"

Apa dia sinting? Dalam hati Magisna bertanya. Apa sih yang ingin dia buktikan?

"Saya harap kamu tidak punya rencana apa pun untuk Sabtu depan, Hendra," tutur Pak Isa. Suaranya bergetar karena marah. "Kamu harus kembali untuk hukuman lagi."

"S i a l a n!" Hendra menepuk dahinya sendiri. "Gak jadi nonton turnamen kriket."

Si cewek bertata rias menor terkikik sambil menutupi mulutnya.

Magisna tak bisa mempercayainya. Ia dan teman-temannya juga tidak menyukai Pak Isa. Tapi ia takkan pernah sengaja bersikap tidak hormat padanya. Itu sama saja dengan cari gara-gara.

Pak Isa melangkah mendekati gadis yang terkikik tadi. "Kalau ada orang yang harus tutup mulut, itu memang kamu, Alexza. Kamu sudah cukup sering membolos untuk menghabiskan satu tahun lagi di Van Til Hogeschool. Kamu mau?"

Pak Isa sekarang berpaling pada Dika. Sejauh ini dia baru menulis sampai: SAYA BERJANJI TIDAK AKAN MENCORET-CORET.

"Duduk, Dika."

Dika cemberut. Ia menjatuhkan kapur di lantai dan berjalan dengan langkah berat menuju meja di baris pertama.

Pak Isa mengamati lukisan kapur itu. "Sayangnya kamu tidak berpikir untuk menggunakan kapur sewaktu mencoret-coret bis sekolah," ujarnya. "Gaya kamu perlu diperbaiki."

"Anda pengkritik seni?" Dika memberengut.

"Barangkali kalau tidak terlalu sering ikut-ikutan Hendra, kamu bisa menggunakan bakat kamu dengan lebih serius," kata kepala sekolah itu kepadanya.

Dika hanya angkat bahu.

Terpopuler

Comments

Nugroho

Nugroho

wow .. bebas sekali untuk ukuran sekolah di indonesia.

2023-10-22

0

dyz_be

dyz_be

Liar ya si Hendra

2022-07-09

1

KOwKen

KOwKen

ralat gua ga pendeq, gua tinggi kek tiang jemuran ikan asin

2022-06-20

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!