Chapiter 1

Van Til Hogeschool, 2022.

"AKU tak percaya aku berada di sini," gumam Eka Magisna pada dirinya sendiri. Ia menggelindingkan sepeda motornya ke tempat parkir khusus guru yang beratap seng, memutari genangan dalam yang selalu saja ada di depan pintu masuk pelataran parkir Van Til Hogeschool. Atap seng di atas kepalanya bergemuruh terkena siraman hujan.

Magisna menggigil dalam mantel dan sweater-nya. Mantel anti-air yang dikenakannya hampir-hampir tak membantu.

Aku tak percaya, pikirnya. Aku betul-betul berada di sini pada hari Sabtu.

Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hari sekolah seperti biasa. Tapi bukan.

Ini hari hukuman.

Aku pasti orang  t o l o l, katanya dalam hati, sementara rasa dingin menjalari tulang belakangnya. Ia memarkir sepeda motornya di dekat mobil milik kepala sekolah dan mematikan mesin. Hanya ada dua buah sepeda motor di tempat parkir itu. Ia membuka mantel anti-air yang dikenakannya, kemudian melipatnya dan menjejalkannya ke dalam box di bawah jok.

Ia memandang Van Til Hogeschool di balik kabut. Bangunan tua bekas rumah Belanda itu terlihat kelabu, dingin dan mati. Jendela-jendelanya gelap. 

Ia tak sanggup memaksa dirinya menghambur dari tempat parkir untuk menyeberang ke teras sekolah. Angin kencang mengempaskan tempias air hujan ke wajahnya.

Ia menudungi matanya dengan sebelah tangan, kemudian melayangkan pandangannya ke arah gardu lonceng di sudut pekarangan sekolah.

Gardu lonceng itu semacam pos keamanan yang biasanya dijaga seorang Centeng yang akan membunyikan lonceng setiap satu jam sekali sebagai pengingat waktu penduduk setempat. Pada hari sekolah, penjaga itu juga membunyikan lonceng tanda jam pelajaran dimulai atau usai. Tapi hari ini bahkan penjaga gardu lonceng itu tidak kelihatan.

Bagaimana aku bisa terlibat dalam persoalan ini? tanya Magisna dalam hati.

Ia mengingat saat itu dengan jelas---saat-saat panik ketika ia sadar telah melupakan PR trigonometrinya. Ia meninggalkannya di meja belajarnya di rumah, setelah menuntaskan rumus terakhir, melipatnya dengan rapi, dan siap untuk berangkat. Tapi dia lupa meletakkannya dalam buku matematikanya.

Gurunya, Miss Pinkan, tidak pernah bersikap simpatik.

"Itu berarti tiga tugas yang tidak dikerjakan, Eka," katanya, sambil menyilangkan lengannya di depan dada. Ia melihat buku nilainya di depan seluruh kelas. "Ya... Satu, dua, dan tiga."

Dia tersenyum. Dia menikmatinya, pikir Magisna.

"Di kelas ini, angka tiga adalah keramat. Silahkan bereskan buku-bukumu dan pergi ke kantor kepala sekolah."

Teman-teman sekelasnya diam saja selama kejadian itu. Tapi Magisna bisa merasakan pandangan mata mereka membakar punggungnya ketika ia meninggalkan kelas. Mereka barangkali sedang bersyukur karena bukan mereka yang yang mengalaminya. Semua orang tahu jika kau melupakan tiga PR di kelas trigonometri Miss Pinkan, kau akan dihukum.

Tak ada kesempatan kedua.

"Saya mengerjakan PR-nya," Magisna memohon. "Saya hanya lupa membawanya."

"Sayang sekali," jawab Miss Pinkan, ekspresinya tidak berubah.

Magisna tahu untuk apa dia berada di sini. Ia telah mendengar gosip. Kepala sekolah baru mereka, Pak Isa, telah mengubah peraturan.

Peraturan hukuman adalah hal pertama yang diganti. Hukumannya bukan lagi menghabiskan dua jam sepulang sekolah. Itu terlalu gampang. Tidak memecahkan persoalan. Tapi jika murid-murid harus mengorbankan satu hari penuh untuk menebus kesalahan mereka...

Dan lahirlah hukuman pada hari Sabtu ala Pak Is.

"Dan aku adalah kelinci percobaan," gerutu Magisna keras-keras, seraya memandang ke arah bangunan sekolahnya yang mirip rumah hantu. Ia mendesah. Ia tak bisa berdiri di sini selamanya.

Ia merenggut ranselnya dari punggungnya, kemudian memeluknya dan bersiap untuk lari.

Lihatlah sisi baiknya, katanya pada diri sendiri. Setidaknya aku tidak menyia-nyiakan hari yang indah.

Ia mengetatkan rangkulannya pada tas ranselnya dan berlari. Jaraknya tidak jauh, tapi tetesan air hujan tetap mengalir ke bawah lehernya seperti butiran kecil es batu.

Pintu depan sekolah membuka sebelum ia menyentuhnya.

Magisna berhenti mendadak sehingga kakinya berdecit di atas marmer basah di koridor. Sekilas ia melihat tangan pucat memegang pintu jeruji dari dalam.

Pintu terbuka makin lebar.

Ia mendongak dan melihat wajah Pak Isa, kepala sekolah mereka.

Matanya yang cermat dan tajam menusuk, dibingkai alis tegas yang tak kalah tajam. Mengingatkan Magisna pada seekor macan kumbang yang begitu sadis. Lingkaran hitam di kantung matanya membuat tatapan pria itu terasa seolah menembus ke dalam jiwanya.

Pak Isa memiliki rambut lurus berwarna hitam mengkilat yang sedikit terlalu panjang melewati rahang. Dan ia sedikit terlalu muda. Semua hal itu jelas menjadi pemandangan yang sangat langka untuk seorang kepala sekolah.

Pak Isa membuka pintu lebih lebar. "Masuklah, Eka."

Magisna tidak ragu-ragu. Ia mengibaskan air dari tubuhnya, sambil mencoba untuk tetap berdiri di atas keset karet besar di sebelah dalam pintu. Menurutnya barangkali Pak Isa akan memarahinya jika ia membiarkan air memerciki seluruh lantai.

Koridor terlihat gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanya berasal dari kantor depan di ujung gang.

"Kau yang terakhir," Pak Isa memberitahu. Tapi ia memandang ke luar pintu yang terbuka seolah-olah menunggu orang lain. Ia mengenakan jas hitam dan dasi, bahkan pada hari Sabtu. Rambut panjangnya yang hitam mengkilat dibiarkan terurai sehingga ia terlihat lebih mirip vampir daripada kepala sekolah.

Siapa yang meninggal? Magisna bertanya konyol. Tapi tentu saja hanya dalam hatinya.

Pak Isa mengembuskan napas panjang, seraya memandang sekali lagi pada hujan, dan membiarkan pintu terbanting. Akhirnya pandangannya jatuh pada Magisna.

"Pak Is?" tanya Magisna.

Kepala sekolah itu mengangkat alisnya. "Ya?"

"Eh... Saya masih baru dalam hal ini," tutur Magisna. "Apa yang harus saya lakukan?"

Pak Isa tersenyum dingin. "Kamu belum pernah dihukum?"

"Belum."

"Kamu murid yang baik, Eka," ujar Pak Isa. "Aneh juga kamu sampai ditahan, karena itu saya memeriksa arsipmu."

Uh-oh, pikir Magisna.

"Nilai-nilaimu bagus," lanjut Pak Isa, ditambah menjadi pengurus OSIS, giat dalam olahraga lari dan surat kabar sekolah. Apa kesalahanmu?"

Pipi Magisna menjadi panas. "Tidak melengkapi tiga PR di kelas Miss Pinkan," gumamnya.

"Oh, betul." Pak Isa mengangguk. "PR yang kautinggalkan di rumah?"

"Yeah."

Magisna tahu Pak Isa tidak mempercayainya. Mengapa harus demikian? Anak-anak berbohong kepadanya setiap hari. Bahkan murid-murid yang baik.

"Saya harap kamu tidak akan membuat ini menjadi suatu kebiasaan!" ujar Pak Isa tanpa emosi.

"Tidak."

"Bagus. Memalukan untuk merusak catatan sekolah yang bagus dengan hukuman." Ia mendesah lagi. "Bahkan saya mengalami pelajaran berat di zaman saya. Betul-betul berat."

Suaranya melirih.

Magisna menunggunya untuk mengatakan sesuatu yang lain, tapi pandangan Pak Isa tetap menerawang di atas kepalanya.

Magisna berdeham.

Kepala sekolah itu membelalak kepadanya. "Yang lain berada di ruang 111," katanya. "Silahkan pergi ke sana."

Kepala sekolah itu berbalik dan melangkah menuju kantornya.

Magisna membayangkan dirinya lari keluar dalam hujan dan menuju mal. Yeah. Menghabiskan waktu di sana. Menelepon teman-temannya. Berbelanja. Lalu bilang pada orang tuanya bahwa hukuman tidak terlalu buruk...

Tapi tak mungkin. Di tempat ini bahkan tidak ada supermarket.

"Menyebalkan," gumamnya.

Ia melangkah ke koridor yang suram menuju ruang 111. Langkah-langkah kakinya bergema di gang yang kosong. Bunyi itu mengingatkannya bahwa ia sendirian di tempat ini. Tidak ada yang bisa diajak bicara. Tidak ada apa-apa selain hujan dan PR untuk sepanjang hari Sabtu.

Aku takkan ketinggalan PR trigonometri lagi selama hidupku, janjinya.

Ia mempererat jaketnya dan mencoba mengenyahkan rasa dingin yang enggan meninggalkan tubuhnya.

Ini akan menjadi hari yang panjang, pikirnya.

Tapi dia tak tahu betapa lamanya---atau betapa berbahayanya.

Terpopuler

Comments

Nugroho

Nugroho

kalau kepala sekolah yang notabene adalah seorang laki laki boleh memanjangkan rambut, harusnya murid cowoknya juga boleh.

2023-10-22

0

dyz_be

dyz_be

Berlanjut

2022-07-09

1

Emak Femes

Emak Femes

Aiiih dubbernya juga ada 😍😍😍

2022-06-26

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!