Chapiter 7

Tangga logam itu bergetar ketika Hendra turun ke bawah. Tangganya berkeriut dan merintih di bawah beratnya, mencipratkan serpihan debu ke tubuh Magisna. Kurang dari semenit, Hendra sudah berdiri di sebelahnya dalam kegelapan. Teman-temannya yang lain mengikuti Hendra menuruni tangga.

Magisna merenggut tangan Hendra dan mengangkat tubuhnya berdiri. Kulit Hendra terasa hangat dan kering. Ia terhuyung sedikit, masih sempoyongan pada kakinya yang tidak luka. Lengan Hendra melingkar di pinggangnya untuk menahan tubuhnya. Ia memperhatikan bahwa pergelangan kakinya tidak sesakit yang ia rasakan dengan lengan Hendra di seputar tubuhnya.

"Gimana ceritanya lu bisa sampe di sini?" tanya Hendra.

"Gua jatoh," cerita Magisna singkat.

"Jan maen-maen makanya." Hendra tertawa tertahan. "Untung tengkorak lu kagak pecah."

"Gua mendarat gak pake 'pala," sergah Magisna.

Seseorang turun di beton dekat mereka.

"Tangga ini udah karatan," terdengar suara Dika. "Gua heran kita gak jatoh ngegelinding. Apa lu gak ngerasa ni tangga dikit lagi lepas dari dinding?"

"Kalimat lu mengandung rima," komentar Hendra.

Dika mendengus jijik. "Gua serius, Tan. Kita ngapain sih, di bawah sini?"

"Misi penyelamatan," kata Hendra. Ia mendekap Magisna.

"Gua gak bisa percaya gua mau masuk sini," Alexza mengomel, sambil turun ke lantai yang keras. "Baunya lembap!"

"Itu bau Dika," timpal Hendra.

"Bisa berdiri nggak, Gis?" Hendra melepaskan dekapannya sebelum Magisna dapat menjawab.

"Gue gak pa-pa," jawab Magisna cepat-cepat. Ia berjalan pincang ke sebelah kiri dan bersandar pada dinding untuk menahan tubuhnya. Ia tak dapat melihat banyak dalam kegelapan.

"Ada yang bisa jelasin kenapa kita ada di selokan pembuangan di bawah rumah Van Til?" tanya Novi dengan kasar. Ia melompat ke anak tangga terakhir.

"Ini bukan selokan pembuangan," tukas Hendra.

"Ayo dong," lengking Alexza. "Di mana sih kita?"

"Kita butuh cahaya di situasi seperti ini," tutur Hendra. Ia menjentikkan pemantiknya. Ruangan itu dipenuhi cahaya kuning yang berkelap-kelip.

Semuanya terkesiap dalam kengerian.

Magisna menatap dua kata yang digoreskan di dinding di depan mereka:

LATEN FEESTEN---MARI BERPESTA!

"Gua pernah denger cerita tempat ini," kata Mo pelan.

Magisna memandang ke sekeliling. Mereka berdiri di sudut ruangan luas dengan dinding batu bara. Botol-botol, kaleng-kaleng, surat kabar, dan bungkus makanan berserakan di lantai. Dindingnya kotor oleh lapisan lumut hitam dan grafiti yang pudar.

Tulisan: LATEN FEESTEN, dicat dalam warna merah darah. Catnya membeku dalam tetesan kering ke arah lantai.

Ada beberapa gang gelap menuju berbagai arah.

"Tempat apaan sih nih?" tanya Novi.

"Doolhof---Labirin," jawab Dika tenang. Suaranya kedengaran kagum.

"Yap," Hendra setuju. Hendra dan Dika saling berpandangan senang.

Apa yang terjadi? tanya Magisna dalam hati. "Dari mana kalian tau soal itu?" tanyanya.

"Kenalan kita, namanya Ais. Dia cerita banyak soal tempat ini," balas Hendra. "Dia juga bilang kalo dia pernah turun ke sini, tapi gua gak percaya."

"Ais tukang bo-ong, dia bo-ong ampir dalam segala hal," Dika menyela.

"Pokoknya," lanjut Hendra, "Pada tahun 50-an mereka membangun terowongan ini sebagai tempat untuk menimbun hasil panen. Diduga panjangnya berkilo-kilometer. Mereka juga membangun mesin penggiling padi, cokelat dan kopi. Setiap musim panen, para mandor besar bangsa Belanda biasa berpesta di tempat ini."

"Tempat paling keren buat study tour," tambah Dika, "Sayangnya gak ada yang boleh turun ke sini---kecuali para mandor dan mandor besar. Mereka bilang para mandor dan mandor besar harus menyelesaikan laporan administrasi semalam suntuk setiap menjelang waktu gajian. Padahal sebenernya mereka pesta gila-gilaan di bawah sini."

Magisna gemetar. Betapa mengerikan. Tapi keren. Selama ini dia datang ke pesta-pesta di rumah teman-temannya sewaktu masih tinggal di kota. Tapi berpesta di bawah sini pasti lebih menyenangkan. Lebih berbahaya.

"Gua gak percaya gak ada orang yang ke sini lagi," Novi berkomentar. "Gua juga heran lu bukan langganan, Hen."

Mata Hendra berkilau dalam cahaya kelap-kelip. "Gua bukan Bang Mandor, Novi."

"Jadi, sekarang kita diskusi soal tempat ini nih," kata Dika sembari tersenyum konyol. "Tapi kita gak pernah nemu pintu masuknya."

"Yeah. Thanks, Gis." Hendra menyeringai.

"Senang bisa membantu," jawab Magisna setengah melucu. Ia tak tahan untuk tidak tersenyum walau pergelangan kakinya luar biasa sakit.

"Gua gak percaya Doolhof ini sulit ditemukan," kata Novi.

"Jadi beneran gak ada lagi orang yang turun ke sini selama ratusan tahun?" tanya Magisna. Pandangannya mengelilingi dinding yang dipenuhi grafiti. Ia tak dapat menahan kekagumannya. Melupakan gang di atas. Ini tempat yang tak pernah dilihat teman-temannya yang lain.

"Sebenernya tempat ini masih dikunjungi sekitar tahun 90-an. Tapi cuma sekali. Terowongan ini langsung ditutup setelah itu," jelas Dika. "Semua jalan ke tempat ini diblokir."

"Kenapa?" tanya Magisna.

"Sesuatu terjadi," jawab Hendra. "Sesuatu yang buruk."

Magisna bergidik. Ia mengamati bayangan mereka melayang-layang di dinding. Seolah-olah para mandor yang berpesta di sini masih berkeliaran sambil menari-nari.

"Apa yang terjadi?" Magisna bertanya.

"Gua gak tau pasti," sahut Hendra. "Tapi mereka semua mati. Banyak yang mati..."

"Siapa yang mati?" tanya Magisna setengah memekik.

"Gua gak tau!" jawab Hendra cepat.

"Jangan gila, lu!" seru Novi. "Masak iya sih banyak orang mati di sini? Gak mungkin!"

"Si Ais itu yang bilang?" tanya Magisna.

Hendra mengangguk. "Gua tau persis dia gak lagi mabok waktu cerita. Makanya gua percaya."

Magisna juga mempercayainya. Mula-mula ia berpikir ini muslihat Hendra yang lainnya. Tapi Hendra kelihatan sangat serius.

"Coba yuk, kita periksa tempat ini," usul Hendra. "Gua pen liat-liat."

"Kenapa enggak?" Dika setuju. "Di sini lebih baik daripada di atas. Isa bakal mergokin kita."

"Dan itu artinya kita bakalan kena hukuman lagi Sabtu depan," gumam Novi masam.

"Dan itu artinya kita bisa turun ke sini lagi," Hendra menambahkan.

Novi memutar bola matanya.

"Gua mau pergi dari sini," Alexza mengeluh.

"Dua lawan dua," tunjuk Hendra. "Gis, lu jadi penengah."

"Sapa yang bilang ini demokrasi?" protes Novi marah.

"Gua," jawab Hendra. "Dan gua bilang Gisna jadi penengah."

Semua menatap Magisna. Ia menatap tajam ke dalam salah satu terowongan gelap. Ia ingin tahu ke mana terowongan itu menuju. Ia ingin menjelajahi labirin di bawah rumah Van Til.

Tapi rasa takut karena jatuh tadi tak mau enyah dari dirinya. Ia masih gemetaran. Pergelangan kakinya sakit, tapi ia dapat berjalan lagi. Dan ia bisa merasakan darah mengalir turun dari sikunya yang terluka.

Bagaimanapun, sekarang ia tidak lagi merasa tak nyaman setelah tahu di mana ia berada dan bagaimana caranya keluar.

"Kalau gua bilang sih kita periksa aja dulu," katanya. "Kalo ternyata tempatnya menjijikkan, kita tinggal balik lagi ke atas."

Novi mengerang.

Wajah Hendra bersinar dalam seringai kemenangan. Tiba-tiba ia berlutut dan mulai menggali sampah di lantai. Ia berdiri dengan menggenggam beberapa potong kayu dan kain busuk.

"Ngapain sih lu?" tanya Alexza.

"Bikin obor," sahut Hendra. Ia membalutkan kain di ujung kayu. "Gas gue udah mau abis."

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Padahal Ais gx bohong ya

2022-07-09

1

Ichi

Ichi

serem juga tuh terowongan 😌

2022-06-12

1

Dokter Motor

Dokter Motor

kukira Diqa itu cwe...

2021-10-22

3

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!