Chapiter 4

Hendra melangkah ke gang. Alexza mencengkeram bagian belakang jaket tentaranya, dan Dika mengikutinya. Magisna berjalan pelan-pelan di belakang Dika.

Koridor itu sepi. Tak ada tanda-tanda keberadaan Pak Isa. Hujan membasahi jendela kaca di ujung gang, menimbulkan gelombang cahaya seperti bayangan melintasi lantai.

Jantung Magisna berdegup kencang.

Ini  t o l o l, katanya dalam hati. Semoga tak sia-sia.

Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di bahunya.

Magisna tersentak. Ia berbalik dan melihat Novi. "Ngagetin aja lu!" hardiknya kesal. "Gua kira kepala sekolah."

"Sori," jawab Novi.

"Novi minta dibelai?" Hendra mengejeknya.

Novi hanya mendengus.

Mereka mulai menuju kantin, berjalan tanpa berkata-kata.

Hendra berhenti setiap beberapa langkah. Membuat Magisna membayangkan Hendra sedang mendengarkan bunyi sepatu Pak Isa di permukaan lantai. Ia mengira akan mendengar suara langkah. Tapi mereka tidak mendengar apa-apa.

Magisna mendadak merasa aneh mengendap-endap di sekolah seperti ini. Ini tempat yang sama yang ia datangi setiap hari---tempat membosankan yang sama. Tapi sekarang lampunya mati dan sepanjang koridornya kosong, tempat ini terasa berbeda.

Ia tidak melepaskan pandangannya dari Hendra ketika mereka berjalan. Anak itu tampak enak saja menyelinap diam-diam seperti ini---seakan-akan ia sudah biasa melakukan ini. Asyik juga jadi Hendra, pikirnya. Ia tak peduli kalau ia mendapat masalah lagi.

Magisna punya banyak kekhawatiran: nilai-nilai, aktivitas, masuk ke perguruan tinggi yang bagus. Unggul, kata ayahnya.

Hendra dan teman-temannya tak harus menjadi unggul, pikirnya. Ia tertusuk rasa iri. Ia tak dapat membayangkan dirinya tidak mencemaskan orang tua, teman-teman, dan masa depan.

Tapi bahkan tindakan pemberontakan kecil ini merupakan pengalaman tersendiri. Ini gantinya menghabiskan hari Sabtu dalam hukuman. Dan ia menyukainya... sejauh ini.

Kantin tampak semuram bagian lain sekolah. Meja panjang berdiri kosong, dilap bersih dari remah-remah makanan berminyak dan tumpahan susu.

Penerangan hanya berasal dari mesin soda di sudut ruangan dan sorotan cahaya kelabu redup dari satu-satunya jendela yang ada.

"Kaleng-kaleng itu bisa kedengeran kek suara tembakan dari luar sana," Dika berkomentar.

"Gua gak mau beli," cela Hendra. "Misi kita masuk dapur."

Ia mendorong pintu ayun di belakang konter makan siang menuju dapur. Dengan segera ia mengambil nampan.

"Saatnya belanja, anak-anak!" serunya. Ia menyerbu jajaran kulkas-kulkas, papan-papan pemotongan, dan mixer ukuran besar.

Magisna tidak lapar. Ia sudah sarapan roti panggang. Tapi susu cokelat kedengarannya enak juga, pikirnya.

"Gua mau keripik kentang," teriak Alexza.

"Ada sandwich es krim gak, ya?" tanya Dika. Ia membuka sebuah pintu baja besar. Magisna mengintip melalui bahu Dika. Yang ia lihat cuma tabung-tabung besar mayonaise dan mustar.

"Ih," gerutu Dika. Dibantingnya pintu kulkas. "Di mana lemari bekunya?"

"Asyik, asyik!" Alexza berteriak penuh kemenangan. Magisna melihatnya di pojokan dengan sekantong keripik jagung.

Di mana kulkas yang biasa? Magisna bertanya dalam hatinya. Ia memandang berkeliling---dan melihat Novi di depan pintu baja besar yang lain. Ada beberapa botol jus buah di lengannya. Magisna menyeringai kepadanya.

"Gosah melototin gua kek gitu," keluhnya. "Semua orang juga melakukannya."

"Gua tahu kok," jawab Magisna. "Gua cuma mau susu cokelat."

"Oh." Ekspresi Novi menjadi tenang. "Rak kedua."

Magisna hanya mengambil satu liter meskipun ada ratusan liter di sana. Tapi yang lain tidak menahan diri. Novi minum jus buah hingga beberapa botol. Alexza mengunyah beberapa kantong keripik dengan rakus. Dika makan sedikitnya empat sandwich es krim.

Magisna memandang sekeliling dapur. Ia begitu senang sehingga sejenak melupakan Pak Isa.

Dia sudah tahu kami hilang atau belum ya? pikirnya. Ia melihat anak-anak lain, bersiap mengusulkan agar mereka kembali saja. Tapi ada sesuatu yang tak beres.

Seseorang tidak ada di sini.

"Di mana Hendra?" tanyanya.

Yang lain berhenti makan dan melihat berkeliling.

"Hendra ilang!" desak Magisna.

"Apa sih peduli lu?" bentak Alexza.

"Gua gak peduli," kata Magisna. "Tapi dia ilang. Emang lu gak peduli?"

Alexza tampak kesal. "Ndra!" panggilnya.

Tak ada jawaban.

"Dia balik ke kelas kali," Novi mengajukan pendapat.

"Gak mungkin," gerutu Dika. "Hei, Bro! Jan becanda, Kampret! Di mana lu?"

Tetap saja tak ada jawaban.

"Kita harus cari dia sekarang," kata Magisna.

Tak ada yang menjawab.

Magisna memandang berkeliling pada peralatan dan mesin yang besar di dapur. Dalam cahaya suram, semuanya tampak agak menakutkan.

Pandangannya berhenti pada rak peralatan masak di dinding di ujung ruangan. Sendok-sendok besar. Penjepit. Dan pisau-pisau.

Pisau-pisau pemotong daging yang besar.

Dan satu di antaranya hilang.

"Coba liat itu!" teriak Magisna. "Pisaunya ilang!"

"Emang kenapa?" bentak Dika.

"Tenang, Eka," tegur Novi.

Alexza mulai bicara. Tapi suara erangan menghentikannya.

Semua diam membeku.

"Apaan tuh?" Magisna berbisik.

"Hendra?" seru Dika.

Tak ada sahutan.

Magisna sadar kuku-kuku jarinya menusuk telapak tangannya. Ia memaksakan dirinya untuk santai.

"Gak lucu, Ndra," Alexza berteriak.

Erangan lain.

"Tuh kedengeran lagi," bisik Magisna.

"Hendra?" panggil Dika.

Beberapa langkah di depan mereka, Hendra terhuyung dari kulkas besar. Ia berdiri di sana beberapa saat, tubuhnya bergoyang-goyang. Matanya berkaca-kaca. Cairan merah berkilauan menutupi kemeja dan lehernya.

Magisna menarik napas dalam-dalam. Ini tidak sungguhan. Ini tidak…

BRUK!

Hendra roboh.

Ia mendarat keras di lantai ubin di depan Magisna. Pisau pemotong daging terlepas dari kepalan tangannya.

Magisna melihat kemejanya. Lehernya. Wajahnya.

Basah oleh darah.

"Gak mungkin!" Ia mengerang. Leher Hendra... Lehernya digorok.

Alexza menjerit.

"Bro!" teriak Dika.

"Panggil Pak Is!" perintah Novi. Tapi tak seorang pun bergerak. Mereka semua membeku karena terkejut.

Pandangan Magisna terpaku pada Hendra. Matanya yang terbuka lebar. Luka merah mengerikan yang menyilang di tenggorokannya.

Dan pisau berlumuran darah.

"Buruan!" Novi memohon. "Kita harus panggil kepala sekolah!"

Direnggutnya lengan Magisna, tapi Magisna melepaskan diri. Ia bergerak mendekati Hendra.

"Tunggu," sela Magisna.

"Apa?" tanya Novi.

"Tangan Hendra gerak tadi. Dia masih idup."

"Elu liat?" tanya Dika.

Magisna tidak menyahut. Luka itu membuatnya takut, tapi ia harus yakin apakah Hendra masih hidup. Kalau-kalau ia masih bisa menolongnya. Ia ingin lari. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tetap di tempat. Sesuatu membuatnya membungkuk di atas tubuh Hendra dan meraih tangannya.

Ia merasakan denyutan nadi.

Ia berpaling kepada yang lain. "Dia masih idup!"

Tangan Hendra terlempar ke atas dan mengepit tenggorokan Magisna.

"Giliran lu sekarang!" teriaknya. "Tambahin saos!"

Magisna memekik, menepis tangan Hendra. Ia terhuyung ke belakang hingga punggungnya membentur kulkas.

Ketakutannya dengan cepat berubah menjadi kemarahan. "Dasar berengsek! Anak setan!"

Magisna mencoba mengendalikan tangannya yang gemetar. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gua gak percaya kita semua kena tipu."

"Lu emang bener-bener berengsek," kata Novi pada Hendra.

"Dan gua kira saos tomat cuma cocok buat kentang goreng," kelakar Hendra. Ia merenggut handuk basah dan mulai menyeka cairan pekat dan lengket itu. "Gua tadi ngaca di belakang, gua ngakak. Kek beneran, sumpah."

"Jan becanda, Kampret," kata Alexza sambil merengut.

"Emang lu beneran percaya ada orang gila bekeliaran ngegorok-gorokin leher orang?" tanya Hendra.

"Tapi ini Rumah Van Til," Magisna berkomentar.

Semua orang serentak menatapnya.

"Maksud gua, The Van Til House."

Kelompok itu meledak dalam tawa. Semuanya kecuali Alexza, Magisna memperhatikannya.

Barangkali ia cemas aku akan mencuri Hendra darinya, pikir Magisna.

Ia mengabaikan pikiran yang membuatnya tersenyum itu.

"Ayo cabut dari sini," kata Hendra.

Terpopuler

Comments

Nugroho

Nugroho

bar bar banget ini kelakuan para remaja.

2023-10-22

0

dyz_be

dyz_be

Kenakalan anak sekolah yg bikin kangen masa sekolah

2022-07-09

1

Ichi

Ichi

si Hendra menta di gorok 😌

2022-06-12

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!