Chapiter 13

Magisna mengambil napas dalam-dalam.

Dan meraih tubuh Hendra.

Magisna menyentuh kain yang lembut. Jatuh dari tangannya. Ia meraihnya lebih jauh---dan tak merasakan apa-apa selain kain.

Magisna terdiam. Kemudian menelan ludah. Ia mencoba merabanya lagi. Seekor tikus terperanjat dan mencicit, disusun suara cekikikan. Magisna tersentak ketika sepasang tangan mungil yang dingin meraih pergelangan tangannya---ia menjerit.

"Ada apa?" tanya Novi---ikut menjerit.

"Ng... gak pa-pa," jawabnya terbata-bata. "Cuma kain tua. Bener-bener tua. Baunya aja busuk."

"Bukan mayat?" tanya Novi.

"Bukan Hendra?" tanya Alexza nyaris bersamaan. Ia mengembuskan napas lega. "Terus di mana keparat satu itu?"

"Siapa yang tau?" sahut Novi. "Tapi kita harus cari dia---dia yang punya korek."

"Kalo gitu cabut yuk," kata Alexza kembali bersemangat, sedikit.

"Cabut ke mana, Kampret?" tanya Magisna. Ia terkejut mendengar suaranya sendiri yang mendadak tenang. "Kita gak bisa liat apa-apa!"

"Gua bisa," bisik Alexza, suaranya masih sedikit gemetar.

Magisna memandang tajam ke dalam kegelapan. Alexza benar, katanya dalam hati. Ada cahaya sekarang---cahaya kecil yang samar-samar. Memancar pada dinding terowongan.

"Merah," ucap Magisna. "Cahayanya merah."

Mereka memperhatikan ketika berkas cahaya di dinding itu semakin terang. Semakin merah.

"Apa kabutnya menyala dalam gelap?" tanya Novi ngeri.

Magisna bergerak mundur hingga membentur dinding terowongan. Ia menekankan tubuhnya pada dinding---menunggu.

Sekonyong-konyong pendar cahaya merah itu semakin terang. Berkelap-kelip---seperti api obor.

Hendra keluar dari kegelapan, sambil berlari memutari kelokan terowongan. Obor itu naik-turun di satu tangan. Di tangan lainnya ia memegang pisau lipatnya. Matanya nyalang. Bajunya kotor hingga nyaris hitam.

Ia berlumuran darah!

Magisna merasakan darahnya sendiri terkuras dari wajahnya. Mulutnya menganga. Apa yang terjadi pada Hendra?

Hendra melompati onggokan baju tua tadi dan berhenti tiba-tiba hingga hampir terjatuh. Alexza menyerbu dan merangkulnya.

"Ndra!" rengeknya. "Gua gak percaya ini beneran elu. Masih idup! Lu..." Alexza melangkah mundur dengan tampang jijik. "Lu bedarah---"

"Lu baik-baik aja kan?" tanya Magisna.

"Ini bukan darah gua!" kata Hendra.

"Terus darah siapa?" Novi mulai berbicara.

Hendra menelan ludah dengan susah payah di antara napasnya. "Darah Dika."

Ketiga cewek itu memekik bersamaan.

"Dika kenapa?" tanya Novi nyaris menjerit. "Di mana dia sekarang?"

"Kabut itu---makhluk yang kita lepasin itu.... Gua gak tau apa namanya, dia bawa Dika." Wajah Hendra benar-benar kusut.

Magisna disergap kesedihan ketika ia memperhatikannya. Hendra bukan lagi cowok jagoan yang kurang ajar. Ia ketakutan. Ia melihat sahabatnya terluka di depan matanya---mungkin saja tewas. Ia tak sanggup menanyakannya.

Aku tak tahan lagi, pikirnya. Kami semua takkan bisa bertahan lebih lama lagi.

Suara Hendra yang tajam membawanya kembali pada kenyataan.

"Kabut itu ngebanting Dika ke dinding," Hendra berusaha mengingat-ingat. "Ngebanting Dika bekali-kali..." kenangnya masam. "Gua pegang kaki Dika, tapi gua ditarik juga. Terus, gua ngerasa dia kayak nangkep gua. Maksud gua, gua bisa ngerasain makhluk itu megang gua. Nangkep tangan gua. Gua terpaksa ngelepasin Dika. Dan... Dika dibawa... entah ke mana. Tiba-tiba Dika berenti tereak. Gua kehilangan jejak Dika."

"Ya ampun...." Alexza mengerang.

"Gua gak tau Dika masih idup apa enggak," desis Hendra lemah---pasrah.

Tak seorang pun bicara.

Magisna memandang obor di tangan Hendra dan merasakan napasnya kembali normal. Ia bisa melihat lagi. Meski dengan kegelapan di sekeliling mereka, ia merasa tenang. Selama ada cahaya, ia bisa berpikir.

"Ini mustahil terjadi," ratap Alexza.

"Gua juga gak percaya, Lex." Hendra menggeram. "Tapi ini beneran terjadi. Dan sebaiknya kita pikirin sesuatu secepetnya. Karena apa pun yang nyerang Dika bakal dateng nyerang kita juga."

Alexza serentak terdiam. Tertunduk.

Novi dan Magisna bertukar pandang. Lalu keduanya juga tertunduk---berpikir.

Mereka membuat obor baru. Hendra menggunakan onggokan pakaian tua, dan obor-obor baru itu menyala lebih terang daripada yang pertama.

Kali ini, Magisna memastikan mereka semua punya obor. Ia tak mau berebut kali ini.

Setelah Hendra selesai membuat obor, ia menggoyang-goyangkan kaleng cairan pemantiknya. "Kosong," katanya, sambil melemparkan kaleng itu ke samping. "Dan itu artinya gak bakalan ada obor lagi kalo ini abis."

Oh, tidak, pikir Magisna. Aku tak bisa tahan berada dalam kegelapan lagi. Aku bisa mati jika sekali lagi terperangkap dalam kegelapan. "Kita harus gerak cepet," katanya.

Semuanya setuju.

Hal pertama yang disepakati sepanjang hari, pikir Magisna dengan senyum muram.

"Gua nemu jalan yang kayaknya bisa bawa kita balik ke kolam air," Hendra memberitahu mereka. "Ayo."

Mereka berjalan cepat. Tak ada yang bicara sepanjang perjalanan itu.

Magisna mencoba tidak memikirkan kabut merah itu. Tapi ia tak bisa mengenyahkan ingatannya pada Dika.

Makhluk itu menyerang Dika. Ia kabut, tidak lebih. Tapi ia hidup. Magisna berani bersumpah bahwa makhluk itu bernapas. Bagaimana awan bisa bernapas?

Dengan cara yang sama awan itu mengangkat tubuh Dika, mengikatnya dan menculiknya.

Makhluk macam apa itu sebenarnya? Monster? Hantu?

Aku tahu kamilah yang telah melepaskannya, pikirnya. Ia pasti telah terperangkap di belakang dinding itu untuk waktu yang lama, menunggu. Dan Hendra menggerakkan batu bata yang cukup baginya untuk menembus keluar.

Magisna mengenyahkan pikiran itu, kemudian mulai bertanya-tanya mengenai gadis kecil yang terus-terusan menggangunya sambil cekikikan. Apakah yang lain mendengarnya juga? Kenapa tak seorang pun membicarakannya? Apakah hanya aku yang melihatnya---mendengarnya---merasakannya? Apakah itu artinya aku hanya berhalusinasi?

Magisna menghela napas dan berusaha mengenyahkan pikiran itu juga. Ia berkonsentrasi pada arah yang akan mereka tuju. Terowongan itu semuanya mengarah ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang. Satu-satunya arah yang ia yakin menuju pintu keluar adalah ke atas.

Tapi tak ada jalan ke atas, pikirnya. Aku terperangkap di bawah sini. Dan mungkin akan mati di sini tidak lama lagi.

Ia mengertakkan giginya. Ia tak boleh berpikir seperti itu!

Ia tak boleh pupus harapan!

Mereka harus keluar. Tak ada pilihan lain. Tak ada alasan. Mereka harus hidup!

Tapi terowongan itu seolah tak ada habisnya, terus dan terus...

"Gua pengen tau, kira-kira apa yang ada di atas kita," ujar Novi.

"Langit-langit," sahut Alexza.

"Gua serius," kata Novi. "Kalo kita paham secara geografis di mana kita berada, pasti kita tau gimana caranya balik ke tempat di bawah sekolah yang ada tangganya."

"Terus gimana rencananya memahami di mana kita berada 'secara geografis'?" tanya Hendra. "Lu mau bongkar semen itu? Ngegali pake tangan kosong gitu?"

Novi tidak menyahut.

"Jalan aja terus," kata Hendra akhirnya.

"Siap, Bos," gerutu Novi.

Mereka memasuki sebuah ruangan kecil. Lantainya dipenuhi sampah setinggi lutut---lebih banyak dibanding ruangan mana pun sejauh ini. Baunya busuk bukan main.

"Oh, s i a l a n!" Hendra mau muntah, ia menutup mulutnya.

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Bukan, ternyata...

2022-07-09

1

atmaranii

atmaranii

hadeuhhh thorr ni sih horor marathon....

2021-09-21

1

KOwKen

KOwKen

gua marathon baca woi, 1jam 32 menit.

2021-05-22

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!