Perlahan tersadar dan membuka mata, ayah Aran menatap putranya yang tengah menagis, sebelum akhirnya menatapku dan mencoba untuk bangkit.
"Ayah jangan memaksakan diri," sahut Aran khawatir, berusaha membantu ayahnya untuk duduk.
"Apa kau yang membawaku kembali kemari?" tanya ayah Aran padaku.
"Ya."
"Bagaimana caramu mengalahkan-"
"Aku akan menjawab semua pertanyaanmu besok, untuk sekarang kau istirahat dulu, tubuhmu belum benar-benar pulih."
Sebenarnya aku hanya sudah merasa tak tahan lagi dan ingin segera tidur.
"Mungkin kau ada benarnya juga. Sebaiknya kusimpan semua petanyaanku dulu untuk besok."
Setelah itu, Aran mengantarkan ayahnya menuju salah satu ruangan yang ada di lantai pertama. Di saat yang hampir bersamaan, aku juga segera naik ke lantai dua kamar tempatku terbaring sebelumnya.
Menjatuhkan badanku ke kasur, aku tidur dengan cepat.
...----------------...
Terbangun, pagi hari telah tiba, sinar matahari yang masuk melalui jendela menerangi kamar tempatku sedang tertidur.
Untuk ke-2 kalinya, aku kembali menatap langit-langit ruangan ini beberapa saat, sebelum akhirnya segera berdiri, meninggalkan tempat tidur, membuka pintu kamar dan segera turun ke lantai pertama.
Menuruni tangga dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, sepasang ayah dan anak sudah terlihat di depan meja dengan 3 mangkuk bubur hangat di atasnya.
"Pagi," Aran melambaikan tangannya padaku.
Dengan dingin, Fuma tak membalas sapaan Aran dan hanya bejalan terus menuruni ****tangga****.
Dasar pembohong, aku hanya sedang mengantuk, itu saja.
Oh, maaf.
"Kau sudah bagun?" tanya ayah Aran tersenyum padaku.
Di lihat dari mana pun, aku sudah bangun kan? Memangnya aku terlihat seperti berjalan sambil tidur? Berhenti menanyakan pertanyaan bodoh itu.
"Di luar ada air, kau bisa mencuci mukamu di sana," lanjut ayah Aran.
Tak berniat membalas, Fuma dengan dingin berjalan keluar dari rumah itu.
Berisik, kau diam saja, author pembohong!
"…"
Setelah di luar, aku menemukan wadah berisikan air yang berada di samping rumah.
Merasa segar setelah membasuh muka dengan air menggunakan kedua tanganku, aku kembali masuk ke dalam rumah.
Duduk di kursi sisa/kosong, aku memakan bubur yang ada di meja dengan lahap. Mengikutiku, Aran dan ayahnya juga melakukan hal yang sama.
Hanya dalam sekejap, kami bertiga menghabiskan bubur hangat yang ada di depan kami masing-masing.
Segera setelah selesai makan, ayah Aran mulai berbicara, "Semenjak kita bertemu, kita belum berkenalan kan? Namaku adalah Hamamura, aku adalah kepala desa dari desa Mura ini," begitulah katanya.
"Fuma, panggil saja Fu."
"Oh, kau punya nama yang bagus."
Ah, ini membosankan.
"Bisa kita lewati basa-basinya dan langsung menuju inti pembicaran ini?"
"Maaf, jadi kau tipe orang yang tak suka berbasa-basi ya?
"…"
"Baiklah kalau begitu, langsung saja, bagaimana caramu mengalahkan monster yang menyerangku?
Terdengar lebih serius, akupun menjawabnya.
"Aku menusuknya."
"Dengan apa kau menusuknya?"
"Dengan ini."
Memumculkan banyangan hitam padat berunjung runcing di telapak tanganku, Hamamura dan Aran mengedipkan mata mereka beberapa kali, mengucek-ngucek matanya seoalah memastikan bahwa yang mereka lihat bukanlah sebuah ilusi.
"Cepat!" kata ayah dan anak ini bersamaan.
"Mungkin dengan ini kita bisa mengalahkan para perampok itu," ujur Hamamura.
"Perampok?" tanyaku.
"Ya, mereka selalu saja muncul ketika musim panen dan mencuri hasil panen kami. Bubur yang kau makan adalah satu-satunya beras yang tak sempat mereka curi, aku menyembunyikannya di ruang bawah tanah rumah ini."
"Lalu kenapa tak menyembunyikan semua hasil panen ke ruang bawah tanah saja?"
"Tempat persembunyian hasil panen tahun lalu bahkan lebih aman dari pada ruang bawah tanah rumahku. Hasil panen itu di sembuyikan di sebuah hutan dan di kubur cukup dalam, tapi… tetap saja mereka menemukannya."
Terdiam sejenak hanya untuk berpikir, aku melanjutkan, "Sudah berapa kali mereka mencuri hasil panen desa kalian?"
"Jika mereka berhasil tahun ini, maka sudah yang ketiga kalimya," jawab Hamamura.
"Kenapa kalian tak mencoba untuk melaporkan ini pada pihak kerajaan saja?"
"Kami sudah melaporkannya pada penguasa daerah ini, dan mereka juga sudah berusaha menangani masalah desa kami dengan mengirimkan pasukan untuk menangkap para pencuri itu, tapi sepertinya tempat persembunyian mereka belum juga di temukan."
"Kalau begitu, cukup minta pasukan itu menunggu di desa ini dan menangkap para perampok ketika mereka datang? Masalah selesai."
"Kami sudah memintanya, dan tentu saja mereka menerima permintaan kami tapi…" pandangan Hamamura jatuh ke bawa diikuti suaranya yang semakin menghilang, "Pasukan yang di kirimkan ke desa kami tak sanggup melawan para perampok itu. Jika pasukan Kerajaan saja tak sanggup mengalahkan mereka apalagi para penduduk desa ini."
Hmm, jadi begitu.
"Jadi, kalian sudah memutuskan dimana akan menyembunyikan hasil panen tahun ini?" tanyaku.
"Itu akan kami rundingkan hari ini, jadi aku berharap kau bisa melindungi hasil panen desa ini, setelah tempatnya ditentukan…"
Kenapa harus aku?
"Tentu saja, jika kau berhasil aku akan memberimu bayaran yang sesuai. Jadi kumohon! Selamatkan desa kami dari kelaparan tahun ini."
Ya, beda cerita jika uang sudah berbicara, lagipula aku juga masih memiliki hutang budi yang harus kubayar.
"Jika aku berhasil menangkap para perampok itu, kau juga akan berhenti berburu di hutan yang berbahaya itu kan?" tanyaku.
"Begitulah…" kata Hamamura murung.
"Anggap saja ini balas budi karena telah membawaku keluar dari Hutan Kematian. Aku tak bisa menjamin dapat melindungi hasil panen kalian, tapi akan kulakukan semampuku."
"Kalau begitu Fu, langsung saja, ikut aku. Kita akan pergi membahas tempat persembunyian untuk hasil panen tahun ini," sahut Hamamura berjalan menuju pintu keluar rumah.
Aku dan sang kepala desa, Hamamura keluar dari rumah, berjalan menuju pusat desa, beberapa penduduk sudah berada di sana.
…
"Jadi Hamamura, dimana kita akan menyembunyikan hasil panen untuk tahun ini?" tanya salah satu penduduk yang sudah kelihatan sangat tua.
"Aku juga belum tahu, kata Hamamura, "Apa ada yang punya ide?"
Para penduduk desa yang ada di sana pun mulai mendiskusikan dimana mereka harus menyembukan hasil panen mereka tahun ini.
"Bagaimana jika menyembuyikannya kembali di hutan? Tapi kali ini, kita buat lubangnya lebih dalam."
"Aku tidak setuju jika di sembunyikan ke hutan, tahun lalu mereka berhasil menemukannya dengan mudah, mungkin mereka punya sesorang yang dapat menciup bau hasil panen dari jauh."
"Kalau begitu bagaimana kalau kita mencampurnya dengan bebauan yang tajam agar baunya tak bisa tercium oleh mereka."
"Apa kau bodoh? Jika melakukan itu, hasil panennya akan tidak sehat untuk dimakan!"
"Bagaimana jika kita menyembunyikannya di tempat yang terpisah-pisah?"
"Itu ide yang tidak buruk, tapi… kita mungkin juga akan kesulitan untuk menemukannya kembali. Lagi pula, jika memang benar mereka memiliki seseorang yang dapat mencium bau hasil panen, maka menyembunyikan hasil panennya akan sia-sia."
Menguap, aku sungguh tak ahli dalam perdebatan seperti ini, lagipula terlalu ramai. aku kembali saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
𝑳 𝑪
jangan kasih kendor kak 😊
2021-02-05
1
Lamalesa alfoeddhin Fuddin
suka ama sifatnya fuma
2021-01-29
5
BELVA
mangatzzzx
2021-01-26
0