💌 Whisper of love season 2 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Bahkan matahari pun seakan enggan untuk sedikit beramah-tamah dan menghangatkan alam. Ia tetap bersembunyi di balik awan hitam yang sejak semalam menggayuti. Gavin menatap jam yang ada dipergelangan tangannya.
"Pukul tujuh pagi? aku masih bisa melanjutkan tidurku." Kata Gavin malas.
Tubuhnya masih tergolek di atas sofa. Samar-samar ia melihat Leona berada di ruangan ini. Gavin mengerjap berulang kali. Ternyata benar, Leona sudah tiba di rumah sakit. Gavin kembali terpejam, rasa kantuk masih menguasainya.
"Pukul berapa berangkat kak?" Tanya Leona mengeluarkan bekal yang telah disiapkannya dari rumah.
"Ehmmmm." Gavin menjawab dengan gumaman lesu.
"Pukul berapa pesawat kakak berangkat?" Tanya Leona mengulangi pertanyaannya.
"Pukul sepuluh.." jawab Gavin datar. Ia kembali memeluk dirinya dengan posisi miring. Dia tidak tahu pukul berapa tertidur tadi malam.
Leona tersenyum. "Bersiaplah kak, nanti kakak ketinggalan pesawat."
"Sebentar lagi, kakak masih ngantuk sekali." Ucap Gavin malas.
"Di pesawat kakak bisa tidur lagi. Penerbangannya kan lumayan lama?" Leona berucap.
"Ehmm, sebentar saja. Kasih kakak waktu tidur hanya setengah jam saja, oke.."
Leona terkekeh. Ia menaruh makanan ke atas meja sebelah kanan. Leona mengatur dan menata makanan yang dibawanya ke atas meja di depan sofa. Setelah selesai ia kembali duduk ke sebelah Gavin. Dengan perlahan memegang bahu kakaknya.
"Bangun kak. Sudah waktunya kakak bersiap-siap." Panggil Leona pelan.
Gavin mencoba untuk mengangkat kedua kelopak mataku yang sejak tadi masih terpejam, tapi masih tetap terkunci dengan sempurna.
"Ayo kak, bangun? Jangan malas." Leona menggoyang lengan Gavin. Ia tetap berusaha membangunkan kakaknya itu.
"Ehmmmm." Hanya itu yang keluar dari mulut Gavin. Ia benar-benar sangat mengantuk. Di saat dia tertidur nyenyak. Levin menghubunginya, ia tidak bisa pulang karena ada tugas keluar kota selama tiga hari. Semenjak itu mata Gavin tidak bisa tidur lagi.
"Leona mendesah panjang. "Tidak biasanya kak Gavin seperti ini, apakah dia sedih atas pernikahan Joevanka?" Ia menatap sedih ke arah Gavin yang tertidur seperti anak kecil yang kedinginan. "Apa memang sebaiknya kakak tidak usah pergi. Aku benar-benar kasihan denganmu kak." Leona menarik napasnya, lalu membuangnya kembali. "Baiklah, aku tidak akan membangunkanmu kak, tidur lah! " ucap Leona dalam hati.
Belum lagi Leona beranjak dari duduknya. Dia sudah dikagetkan dari suara bariton lelaki yang sedari tadi berusaha ia bangunkan.
"Apa yang kau pikirkan? " Gavin sudah mencubit pipi Leona dengan geram. Ia membuka matanya yang masih terasa berat dan layu.
"Astaga kak, kau mengagetkanku." Leona memukul lengan Gavin dengan lembut.
"Aku tidak akan ketinggalan pesawat Leona. Tapi kau mengganggu tidurku." keluh Gavin.
"Sekarang tidak masalah kak, lanjutkan tidurmu lagi." Kata Leona mengangkat kedua bahunya.
"Cih.." Gavin berdecak sambil duduk di sofa dan matanya memicing ke arah wanita paruh baya yang masih tertidur di atas ranjang rumah sakit. Ia membuang napasnya dengan lesu.
"Kakak akan bersiap." Gavin bergegas bangun dari duduknya. Ia melihat makanan yang tersaji di atas meja. Ia tersenyum lalu mengelus rambut Leona dengan lembut. "Aku mandi dulu, lalu kita sarapan bersama." ucap Gavin dengan dengan tatapan teduhnya.
Leona mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat punggung Gavin yang hilang di balik pintu toilet.
Tak menunggu lama Gavin sudah selesai melakukan ritualnya untuk membersihkan tubuhnya. Ia lalu sarapan bersama dengan Leona. Sarapan sederhana buatan Leona sendiri. Mereka santai menikmatinya. Gavin masih memiliki banyak waktu.
"Sampaikan salam buat Joevanka ya kak. Aku ikut bahagia atas pernikahannya." Leona bangun dari duduknya dan mengambil kado yang sudah dipersiapkannya dari jauh-jauh hari. "Tolong, sampaikan ini kepada Joevanka. Walau harganya tidak seberapa. Semoga Joevanka menyukainya." Leona menyerahkan kado itu ke tangan Gavin.
"Baiklah, nanti kakak sampaikan." Gavin mengambil kotak kado yang dibungkus dengan pita simple dan elegan itu.
Setengah jam sudah berlalu, namun yang ditunggunya tak jua muncul.
Hatinya mulai gelisah. Kekecewaan mulai merasuk sampai ke dalam setiap sudut ruang hati. Janji bahwa ia akan mengantar sampai ke bandara tidak dapat dipenuhi. Sudah dihubungi berulang kali pun tidak direspon.
"Dia belum datang kak?" tanya Leona menatap Gavin yang sedari tadi mondar-mandir.
"Belum juga, dihubungi tapi tidak di angkat." Ucap Gavin menyapu rambutnya ke atas.
"Sudah kakak naik taxi aja, mungkin dia ada urusan kak."
"Setidaknya dia mengabari."
"Benar juga."
"Ada yang ingin ku tanda tangani juga. Pertanggungjawaban proyek yang baru selesai ku kerjakan dan pak direktur memintanya."
"Pak direktur memintanya?" Leona menunjukkan ekspresi terkejutnya. "Dia masih bisa bekerja di hari pernikahannya?" Ucap Leona tidak percaya.
"Bukan pak direktur yang memintanya, tapi ini inisiatif kakak sendiri. Karena kebetulan juga kan kakak ke sana. Ini hasil kerja kerasku, Leona. Siapa tahu saja kakak langsung dapat promosi jabatan kan." Ujar Gavin berkhayal. "Dokumen itu aku serahkan ke asistennya juga."
"Ohhhh, " Leona mengangguk, mulutnya membentuk huruf O sambil menatap Gavin dengan lekat. "Semoga saja kak."
"Ya sudah, kakak berangkat naik taxi saja. Jika ibu sudah sadar, hubungi aku ya." kata Gavin mengingatkan. Ia bangkit dari duduknya.
"Oke kak." jawab Leona mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Gavin membawa tas kecil lalu meninggalkan ruangan.
Gavin mengusap wajahnya dengan kasar. Ia melangkah meninggalkan rumah sakit. Terpaksa ia menggunakan taxi. Matahari semakin meninggi dan membakar kulit. Di Australia pagi hari memang sudah begitu panas. Awan hitam musnah seketika. Kesibukan kota pagi hari sudah terlihat jelas seperti biasanya. Kendaraan berlalu lalang. Deru mobil bersahutan.
Gavin berangkat lebih awal agar tiba di Melbourne Airport pukul 09.00 karena pesawat yang akan digunakan ini pukul 10.05 pagi. Untuk jalur rute penerbangan internasional ini, cukup memakan waktu yang lama di bagian imigrasi. Gavin tetap selalu menyiapkan bolpoint saja. Karena untuk mengisi form di imigrasi ini cukup antri .
Bandara udara internasional Melbourne. Setelah check in, Gavin langsung menuju lantai dua. Ia menyusuri langkah menuju ruang tunggu bandara. Sudah pasti yang terlihat adalah ratusan orang yang sedang menunggu jadwal penerbangan. Di sampingnya seorang wanita sedang asyik memotret langit-langit bandara yang dihiasi lukisan-lukisan pemandangan di Australia. Sepertinya ia pendatang.
Tak menunggu lama. Pintu keberangkatan terbuka. Gavin melangkah masuk menuju pesawat. Ia duduk di kelas bisnis. Tepatnya kursi 5A tepat di dekat jendela. Gavin memasukkan tas ranselnya ke dalam kabin pesawat. Terdengar dengan seksama instruksi dari crew pesawat. Gavin menarik napasnya dalam dalam. Ia berdoa semoga penerbangannya aman dan tiba di kota xx dengan selamat. Tepat pukul 10.05 pagi pesawat yang membawa Gavin terbang take off dari Melbourne Airport. Perjalanan yang di tempuh cukup lama yaitu 6 jam 15 menit 56 detik. Gavin memejamkan matanya perjalanan lumayan lama. Tidur adalah pilihan yang tepat saat ini.
⭐⭐⭐⭐
Penumpang di dalam pesawat ini pasti akan di buat kagum dengan pemandangan di sekeliling landasan, yaitu gunung-gunung yang menjulang tinggi. Wah..baru kali ini Gavin tiba sore hari di kota ini. Biasanya ia selalu tiba malam hari dan tidak pernah melihat pemandangan di sekitar sini. Ternyata indah sekali. Gavin tersenyum, satu poin bertambah untuk menutupi perasaan gundahnya. Hari ini Gavin ingin benar-benar menghentikan perasaannya dan melepaskan cintanya di kota ini.
Pesawat Boeing xx akhirnya berhasil melakukan pendaratan dengan mulus di Bandar Udara di kota xx. Gavin sengaja mengenakan kacamata hitam dan kemeja kotak berwarna biru. Ia berjalan santai sambil mengedarkan pandangannya.
Karena penerbangan luar negeri. Gavin harus melalui proses pemeriksaan imigrasi. Setelah memberikan pasport dan dari form imigrasi yang di isinya dari pesawat tadi. Gavin langsung keluar dari pintu kedatangan. Gavin terkejut karena sudah ada Halbret yang datang menjemputnya.
"Dude.." Halbret melambaikan tangannya. "saya di sini." panggil Halbret.
"Pak Halbret?" Gavin sedikit terkejut. Karena keberangkatannya yang tertunda hanya Joevanka yang mengetahuinya.
"Kau jangan terlalu formal dude, panggil nama saja. Lebih akrab kan?" ucap Halbret menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum simpul.
Gavin ikut tersenyum dan mengangguk. "Apa kabar?" kata Gavin memberikan tangannya untuk berjabat.
"Kabar baik." Halbret menyambutnya dengan jabatan tangan yang erat.
"Hanya Joevanka yang tahu, aku berangkat pagi tadi Halbret." ucap Gavin.
"Hahaha.." Halbret tertawa renyah, karena ia mengingat bagaimana raut Joevanka saat memberikan instruksi untuknya. "Ya Joevanka mengancamku jika aku tidak menjemput mu. Hidupku akan selesai." Halbret membuat gerakan tangannya di depan lehernya, seakan lehernya siap dipenggal jika Halbret membuat kesalahan. Hukuman bagi orang yang tidak taat di zaman kerajaan korea dulu.
Gavin terkekeh. "Bagaimana acara pemberkatan mereka?" Kata Gavin berubah dengan sendu.
"Semua berjalan baik, cuaca mendukung sekali seakan ikut merasakan kebahagiaan mereka." Kata Halbret ikut bahagia. Wanita yang berhasil merubah dunia pak direktur itu. "Mobilnya ada di sebelah sana, kita langsung ke sana Gavin." Halbret menunjuk ke sebelah kanannya.
Mereka meninggalkan bandar udara xx. Mobil berwarna merah itu pun berjalan menuju hotel.
"Kita langsung ke hotel kan?" tanya Halbret.
"Kita tetap ke hotel, tapi aku ingin ke suatu tempat sebelum menghadiri resepsi pernikahan Joevanka."
"Kau tidak mendapat undangan gold dari perusahaan Donisius?"
"Aku mendapat undangan gold kok. Aku ingin bertemu seseorang saja Halbret."
"Atau perlu aku temani, kebetulan sekali aku tidak ada pekerjaan." Ucap Halbret menawarkan dirinya.
"Tidak usah repot-repot, aku ingin sendiri. Maaf Halbret, bukan menolak niat baikmu." ucap Gavin. "Aku hanya minta tolong. Bisakah aku menggunakan mobil ini?" tanya Gavin penuh harap.
"Tentu saja bisa Gavin." sahut Halbret mengangguk dan tersenyum singkat.
"Terima kasih Halbret."
"Sama-sama. Kau adalah tamu istimewa dari Joevanka. Jadi aku siap memberikan pelayanan terbaik untukmu."
"Saya merasa bersyukur jika dianggap seperti itu." Kata Gavin dengan senyum singkat. Ia kembali melemparkan pandangannya ke arah jendela mobil.
Dalam perjalanan menuju hotel, Gavin hanya banyak diam karena lelah di penerbangan yang lumayan lama. Halbret mengerti, ia hanya tetap fokus menyetir.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di hotel. Seperti kesepakatan mereka. Halbret langsung turun dan membiarkan Gavin pergi.
BERSAMBUNG
❣️ Kemana kira-kira Gavin ya? 🙄
💌 BERIKAN LIKE DAN KOMENTARMU 💌
💌 BERIKAN VOTEMU 💌
💌 BERIKAN BINTANGMU 💌
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Viviana Friska 💖
Lanjutt thor
2021-07-28
0
Viviana Friska 💖
Lanjutt
2021-07-28
0
Viviana Friska 💖
Lajut
2021-07-28
0