💌 Whisper of love season 2 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Gavin berjalan menuju apartemennya. Lumayan jauh dari halte bus. Hari ini merupakan hari yang menyebalkan untuknya. Ia berjalan sambil menendang kaleng yang baru saja diteguknya habis. Karena keterlambatannya hari ini. Ia hanya di izinkan mengikuti pelatihan selesai jam makan siang. Padahal Gavin hanya terlambat 5 menit saja. Gavin menghembuskan napasnya. Ia terus berjalan menyusuri jalanan kota yang mulai sepi.
Gavin berhenti sejenak, kedua tangannya ia masukkan ke dalam jaket kulit yang di kenakannya. Ia tertunduk sambil menatap kedua kakinya. Tatapan hampa,sepi dan tidak karuan. Ia menarik napas dalam-dalam sampai bahunya pun ikut terangkat. Ia teringat kepada ibunya yang saat ini sedang sakit-sakitan. Gavin harus mengumpulkan uang untuk biaya operasi ibunya.
Semasa ayahnya hidup. Perhatian penuh ayahnya selalu diberikan kepadanya. Ia selalu dituntut untuk selalu mengalah dan paham keadaan. Ayahnya selalu berpesan dan seringkali mengatakan,
“Adikmu belum paham apa-apa, tolong mengalah ya, nak.” kata kata itu adalah makanan sehari-hari yang di dengar Gavin.
Kini ia menyadari makna perkataan ayahnya. Sekarang ia dituntut menjadi kepala keluarga. Diusianya 13 tahun Gavin harus bisa seperti orang dewasa yang bisa mengatasi semua masalah. Gavin harus bisa menjaga keadaan rumah dalam aturan yang sudah ditetapkan orang tua. Menjaga adik, membersihkan rumah, dan kegiatan rumah tangga lainnya seringkali menjadi tanggung jawab Gavin.
Pernah suatu saat Gavin larut dalam emosi dan rasa sangat lelah. Diam-diam Gavin menangis, ketika ibunya ditipu. Padahal uang itu adalah tunjangan dari perusahaan dimana ayahnya bekerja. Penyambung hidup mereka. Saat itu Gavin merasa tak berguna karena gagal memenuhi janji ayahnya sebelum meninggal. Gavin mengutuk keadaan,merasa tidak adil. Ada waktunya ingin lari dari keluarga ini dan memulai hidup baru tanpa mereka.
Rasa lelah semakin terasa berat ketika Gavin tidak memiliki tempat untuk berbagi perasaan dan emosi yang ia rasakan. Ia bercerita pada adik-adik pun tidak membantu, karena mereka tidak bisa menempatkan diri pada posisi dan peran sebagai pengganti ayah menjadi kepala keluarga. Perasaan dan kelelahan yang Gavin rasakan akhirnya lebih banyak di pendam sendiri. Gavin menyesal dan menangis. Tidak seharusnya ia putus asa. Ia kembali bangkit, sekolah sambil bekerja dan Gavin menjadi tulang punggung keluarga. Ia tidak bisa egois, masih ada dua adik dan ibunya yang harus di pikirkannya, tidak peduli berapa usianya. Gavin harus melihat Levin dan Leona berhasil. Terbukti, sekarang Levin bekerja di perusahaan ternama di Australia dan Leona sedang kuliah semester lima.
Gavin harus bertahan. Ia memang sering memendam luka. Tidak percaya dengan orang. Beruntung ia mengenal Joevanka. Yang benar-benar tulus menganggap dirinya sebagai sahabat. Gavin menarik napasnya dalam-dalam. Kaki selalu terasa berat menyeret setumpuk harapan dan meraba-raba kesempatan mana yang paling mungkin mengantarkan Gavin supaya menjadi yang terbaik. Ia tidak mudah menyerah dan akan selalu bertahan.
Gavin sudah terlatih sejak usianya 13 tahun, dewasa berpikir dan selalu mengarahkan kedua adiknya. Ia bisa mengambil keputusan krusial. Gavin selalu jadi andalan dan dihargai oleh adiknya Levin dan juga Leona.
Matanya berkaca-kaca, di usianya yang ke 32 tahun harusnya ia sudah menikah dan mempunyai keluarga. Namun karena masih ada tanggung jawab untuk pengobatan ibunya dan adik-adiknya Gavin siap tidak menikah. Toh cintanya sudah pergi. Joevanka yang selalu ia harapkan untuk menjadi pendamping hidupnya sudah menjadi milik orang lain.Gavin menengadah ke atas, menatap langit-langit yang suram. Ini hari terakhir Gavin mengikuti pelatihan. Namun hari terakhirnya justru tidak mengesankan.
Tiba-tiba ia merasakan tetesan air jatuh ke wajahnya. Gavin di sambut gerimis. Hujan saja mengerti kegundahan hatinya.
Melbourne memang terkenal sebagai kota empat musim dalam sehari. Jadi harus siap-siap berganti musim setiap saat. Bisa saja pagi hujan, siang panas dan malam dingin. Tadi pagi begitu dingin sampai menusuk tulangnya. Dan hari ini tiba-tiba gerimis. Gavin tidak menyiapkan payung. Ia membiarkan tubuhnya basah. Gavin terpaksa berlari-lari kecil menerjang gerimis menuju minimarket untuk mencari tempat berteduh.
Sembari menunggu hujan berhenti. Gavin masuk ke minimarket untuk memesan coffee instan yang biasa disediakan mini market. Biasanya itu gratis. Ia tersenyum memikirkan kata-kata 'GRATIS' Terserah saja, yang penting coffee ini bisa menghangatkan tubuhnya. Ketika akan berbalik, tiba-tiba seorang wanita menabraknya.
"Aaahhhh..." Gavin reflek menahan rasa sakit karena terkena air panas. Coffee yang dibawanya tertumpah ke tangannya. Beruntung Gavin mengenakan Jaket kulit jadi tidak mengenai bajunya.
"Kau tidak punya mata ya? " bentak Gavin menegur wanita itu.
"Kau yang tidak punya mata, kenapa juga kau berjalan sambil menunduk begitu." sarkas wanita itu matanya hampir mendelik menatap Gavin.
Gavin terbelalak, bukannya minta maaf tapi Wanita itu bahkan membentaknya.
"Pasti ujung-ujungnya minta ganti rugi." Sinis wanita itu tersenyum mengejek.
"Apa?" Ucap Gavin kembali di buat terkejut dengan perkataan wanita itu.
"Bukankah begitu, biasanya orang seperti kalian selalu mengatakan hal seperti itu." Ejek wanita itu.
"Hanya karena coffee ini, saya minta ganti rugi? Apakah di matamu aku serendah itu?" Gavin mulai meninggikan suaranya. Emosi nya mulai membuncah.
"Sudahlah, tidak perlu munafik. Saya ganti rugi untuk pengobatan tanganmu yang terkena tumpahan coffee itu."
Wanita itu mengeluarkan beberapa uang kertas dari tas selempang-nya. Gavin sudah nampak kesal ia mencengkram tangan wanita itu dan menarik tangannya agar semakin mendekat ke arah Gavin.
"Aaarggghh!" Cengkraman pada tangannya begitu kuat. kini jarak mereka cukup dekat. Mata mereka sama-sama memancarkan kemarahan.
"Kau menghinaku?" Ucap Gavin menggeram, rahangnya bahkan mengeras. Tatapan saat ini siap menelan wanita itu.
" Kemana Amber? kok lama banget sih?" Ivannia menerobos masuk ke mini market. Amber tadi hanya beralasan hanya ingin membeli pembalut saja. Namun setelah di tunggu-tunggu tak jua muncul. Akhirnya Ivannia memutuskan menyusul Amber.
"Lepaskan..." Amber berusaha melepaskan cengkraman tangannya dari pria itu.
"Kau terlalu sombong nona." Desis Gavin tidak suka melihat wanita itu.
"Hei apa yang kau lakukan?" Teriak Ivannia melangkah panjang menghampiri Amber yang di cengkram seorang pria asing.
Mendengar suara yang tidak asing, Gavin melepaskan tangan wanita itu dan seketika jantungnya berdebar. Debaran ini kembali lagi, jika ia mendengar suara wanita ini. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat sosok yang pernah di lihatnya di apartemen Joevanka.
"Kau?" Kata Ivannia dengan wajah mengernyit serius.
"Kau mengenalnya?" Kata Amber menahan emosi, ia melihat ke arah tangannya yang memerah, akibat pegangan tangan pria itu yang begitu kuat dipergelangan tangannya.
"Apa yang terjadi?"
"Dia memerasku."
"Jaga ucapan mu! " Kata Gavin membentak Amber.
"Memeras? Karyawan Donisius memeras?" Kata Ivannia tidak percaya.
"Aku tidak memerasnya. Sekarang kau jujur, siapa yang salah di sini. Aku atau kau?"
"Ya jelas kau dong. Kau yang gak punya mata. Coffee itu tertumpah ke tangannya dan dia minta ganti rugi." Sinis Amber.
Kesabaran Gavin mulai hilang, ia kembali mencengkeram tangan amber dan membawa ke kasir untuk memeriksa video CCTV.
"Apa yang kau lakukan, lepaskan aku brengsek."
"Hei...lepaskan temanku!" Kata Ivannia berteriak. Mereka menjadi perhatian pengunjung di minimarket. Semua orang memperhatikan mereka.
"Kau akan ku lepaskan setelah melihat CCTV ini." Geram Gavin begitu marah.
"Saya ingin anda menunjukkan video CCTV 15 menit yang lalu. Sekarang!" Perintah Gavin tidak sabaran. Ia ingin memberi pelajaran kepada wanita sombong ini.
"Baik Tuan." Kata pemilik minimarket.
Pria paruh baya itu menunjukkan video. Jelas sekali Amber yang asyik melihat handphone-nya dan menabrak Gavin. Setelah melihat video itu, Ivannia menyingkut lengan Amber.
"Sudah jelas,siapa yang salah disini?" Kata Gavin menatap Amber dengan tajam.
Amber membuang mukanya tidak suka. Ia tidak ingin melihat pria itu.
"Sekarang kau harus minta maaf kepadaku. jika kau tidak mau, aku tidak akan membiarkanmu pergi."Ucap Gavin menekan setiap perkataannya.
"Sudah, akui saja kesalahanmu. Selesai kan?" kata Ivannia setengah berbisik.
"Aku minta maaf!" Kata Amber tidak suka, ia langsung melangkah pergi dengan menghentakkan kakinya.
"Amber...Amber...tunggu dulu! " Ucap Ivannia terus memanggil Amber. Namun Amber sudah keluar dari minimarket dan meninggalkan Ivannia.
Suasana menjadi canggung. Ivannia memaksa bibirnya untuk tersenyum. Namun tidak dengan Gavin. Wajahnya berubah melembut ketika tatapan mereka bertemu.
"Maafkan temanku. Mungkin ia terlalu malu untuk minta maaf. Saya akan mewakili Amber. Saya minta maaf untuk teman saya."
"Jangan minta maaf, itu bukan kesalahanmu. Biarkan saja." Kata Gavin datar.
"Terima kasih! "
"Bagaimana kabar Joevanka?"
"Kabar joevanka baik."
"Sampaikan salam ku untuk Joevanka."
"Nanti akan aku sampaikan." Ucap Ivannia singkat.
"Apa kau ke sini urusan pekerjaan?" tanya Gavin.
"Tidak, saya hanya liburan." Jawab Ivannia mulai merasa tidak nyaman. "Kalau begitu saya permisi dulu." Kata Ivannia sedikit menundukkan kepalanya, belum juga Gavin membalas. Ivannia sudah pergi meninggalkan Gavin dengan terburu-buru.
Gavin hanya bisa menatap punggung Ivannia. Tiga kali bertemu di apartemen Joevanka membuat ia penasaran dengan Ivannia. Tapi ia sadar. Ia tidak mungkin bisa mendekati Ivannia. Untuk sebatas berteman saja itu tidak mungkin.
Gavin keluar dari minimarket. Sebuah mobil melewatinya dengan kecepatan penuh. Gavin dapat melihat siapa yang membawa mobil itu. Gavin menutup matanya erat, kemudian dengan cepat membuang napasnya sekaligus. Rasa amarah kembali menggerogoti jiwanya. Ia hanya melihat mobil itu pergi melaju meninggalkan minimarket
Hembusan angin malam mulai terasa. Dingin begitu dingin. Gerimis sudah berhenti. Ia mendongak ke atas untuk meredakan amarahnya. Ia tidak menyangka seorang wanita memperlakukannya seperti ini dan bahkan merendahkannya.
Huftt...Gavin hanya bisa menghembuskan napasnya berulang kali. Ia selalu berpesan kepada kedua adiknya, agar bersikap sopan kepada orang lain dan berani minta maaf jika mereka yang salah. Gavin kembali berjalan. Hari ini benar-benar hari buruk untuknya. Gavin menendang botol minuman yang ada didepannya. Terus berjalan agar sampai ke apartemennya.
.
.
BERSAMBUNG
❣️ Sedih ya perjalanan hidup Gavin 🥺🥺
.
.
💌BERIKAN LIKE DAN KOMENTARMU💌
💌 BERIKAN VOTEMU 💌
💌 BERIKAN BINTANGMU💌
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Viviana Friska 💖
Berharap Banget
2021-07-28
0
Viviana Friska 💖
Semoga berjodoh
2021-07-28
0
Susilawati Dewi
kasian gavin
2021-03-16
0