"Kamu serius nggak mau aku tungguin?" tanya Daniel menatapku yang sedang melepas sabuk pengaman.
"Iya kak. Lagian aku juga sama kak Wildan,"
"Yaudah, hati-hati."
"Eum, kak." panggilku yang langsung di sahuti oleh Daniel, "Aku boleh pinjem jaket punya kakak?"
Daniel menatapku dengan senyuman penuh arti. Dia melirik ke belakang dan mengambil sesuatu di kursi belakang. Lantas ia memberikannya padaku.
"Kamu pake," ucap Daniel mengusap rambutku setelah memberikan jaket miliknya.
"Makasih kak,"
Ku buka pintu mobil Daniel, lantas aku keluar dengan jaket yang mulai aku pakai. Jujur, jaket milik Daniel benar-benar terlalu besar untuk tubuhku yang mungil.
Sepi. Satu kata itu yang mampu mendefinisikan keadaan cafe ini sekarang. Tak banyak pengunjung yang datang, hanya sedikit.
"Kamu kenapa sih? Kok dari tadi diem terus."
Samar-samar aku mendengar suara itu, suara perempuan. Kuedarkan pandanganku keseluruh penjuru cafe, hingga akhirnya tatapanku berhenti ketika melihat sepasang manusia yang sedang duduk membelakangiku.
Itu kak Wildan. Dari belakang saja aku sudah kenal betul kalau itu dia. Lalu siapa lagi perempuan di depannya? Ah, aku tak mengerti. Kak Wildan memiliki banyak kekasih, mungkin itu salah satunya.
Kulangkahkan kakiku menuju meja mereka dengan hati-hati.
"Hei, sayang." sapaku sambil memeluk kak Wildan dari belakang dan mencium pipinya.
Terkejut? Tentu saja keduanya langsung terkejut. Apalagi kak Wildan.
"Dah, ka---"
"Kamu ngapain di sini? Bukannya kamu bilang ada kuliah, ya?" tanyaku yang memotong pembicaraan kak Wildan.
"Dia siapa?" tanya perempuan di depanku. Dia masih terkejut.
"Ohh, kenalin. Aku Wirda, tunangannya Wildan." kataku lalu mengulurkan tangan.
"Tunangan?"
"Iya,"
"Mil, aku bisa jelasin. Sebenarnya--"
"Brengsek!"
Perempuan itu berdiri dari duduknya, dia mengambil segelas jus jeruk yang ada di depannya dan menyiramkannya tepat ke wajah kak Wildan.
Aku terkejut, tapi setelah melihat wajah kak Wildan, ingin rasanya aku tertawa sangat keras saat ini juga. Tapi itu semua aku tahan. Ada banyak pasang mata yang mempertontonkan kami sekarang.
"Mulai sekarang kita putus!" ketus perempuan itu, lalu ia pergi meninggal cafe ini.
Aku sadar, seharusnya aku tak mempermalukan kakakku sendiri di tempat umum. Meski pengunjung cafe ini sepi, tapi tetap saja ada beberapa orang yang memperhatikan. Aku kasihan melihat kak Wildan yang menghela nafas panjang.
Kuambil sapu tangan di dalam tasku, lalu aku usapkan pada wajah kak Wildan yang basah dan sedikit lengket.
"Udah puas bikin kakak di putusin sama cewek untuk yang ke-17 kalinya di depan umum?" tanya kak Wildan dengan nada tertahan. Aku yakin kalau ia pasti kesal padaku.
Aku tersenyum lebar menatap kak Wildan sambil menggeleng,"Aku belum puas. Lagian lebih baik diputusin daripada mutusin, jadi gak akan nyesel deh."
Kak Wildan terdiam, seketika wajah yang tadinya terlihat kesal itu berubah menjadi sedih. Ada apa sebenarnya dengan kak Wildan? Dari pagi dia nampak aneh. Tidak seperti biasanya yang selalu ceria, tersenyum dan marah-marah.
"Kita pulang, kak." ajakku yang kemudian menggandeng tangan kak Wildan dan keluar dari cafe itu.
Ah, jika bicara tentang kak Wildan memanglah agak menyulitkan. Kak Wildan kerapkali menjadi fakboy, tapi pada akhirnya ia juga yang menjadi sadboy. Ia bertingkah seolah-olah ialah korban dari hubungannya itu. Dan entah kenapa, kali ini aku melihat sikap kak Wildan seperti seseorang yang benar-benar tersakiti. Aneh. Atau kali ini ia benar-benar tersakiti setelah di putuskan? Dia tidak berpura-pura seperti biasanya?
"Kak." panggilku menatap kak Wildan dari samping.
Ia menyahut, tapi pandangannya masih fokus pada jalanan di depan.
"Kak Wildan kenapa?"
"Gak kenapa-napa."
"Gak mungkin. Apa kakak sedih gara-gara di putusin tadi? Eh, tapi gak mungkin. Jangan-jangan kakak sedih gara-gara stok pacar kakak berkurang?" tudingku dengan histerisnya.
"Heh, kalo ngomong... Suka bener," ucap kak Wildan yang tersenyum tipis setelahnya.
Ah, kak Wildan. Sudah kuduga dia akan mengatakan itu. Bertahun-tahun ia menjadi fakboy, mempermainkan banyak wanita, lalu setelah ia bosan, ia akan mengatakan 'aku udah bosen sama kamu'. Dan setelah itu, dia akan menunggu si wanita untuk mengucapkan putus. Aneh bukan, kenapa bukan kak Wildan saja yang mengucapkan putusnya? Kenapa harus wanitanya?
Dan pertanyaan itu telah terjawab. Kak Wildan tak mau menyesal karena sudah mengatakan putus, yang ia mau adalah si wanita itu yang menyesal karena sudah memutuskannya. Inti dari semua itu adalah, kak Wildan mau wanita-wanita yang memutuskannya memohon kembali padanya. Kejam memang, ia menganggap bahwa ketampanannya itu adalah aset terbesarnya, aset paling berharga miliknya.
Bahkan pernah satu waktu aku masuk kedalam kamarnya, lalu aku menemukan banyak sekali masker wajah yang ada di dalam laci mejanya. Kak Wildan benar-benar membuatku ngeri. Ia sampai segitunya hanya untuk mempertahankan ketampanannya?
"Kak Wildan mau denger aku ngomong gak?" aku melirik kak Wildan sambil merubah posisi dudukku.
"Apa?"
"Putusin semua cewek kakak yang sekarang." ucapku dengan percaya dirinya dan jelas. Tapi setelah aku mengatakan itu, kak Wildan langsung mengrem mobilnya hingga aku hampir saja terbawa kedepan.
"Apa kamu bilang?!"
"Putusin semua cewek kakak," aku menatap kak Wildan dengan lekat.
"Gak bisalah, Dah."
"Kenapa gak bisa? Kak inget ya, karma itu gak semanis kurma. Bahkan kurma yang manispun masih bisa menyakiti kita. Coba kak Wildan bayangin aku ada di posisi cewek-cewek itu, kak Wildan bakalan tinggal diam aja gitu ngeliat aku dimainin dan di selingkuhin sama cowok brengsek? Pasti jawabannya nggak, bukan?"
Diam. Kak Wildan diam setelah aku bicara demikian. Jujur, sebenarnya aku tak mau bicara demikian. Tapi tindakkan kak Wildan salah, akupun salah. Seharusnya sejak awal aku bicara seperti itu. Jika tak di hentikan sekarang, pasti kak Wildan akan bertindak lebih jauh. Dan aku tak mau kak Wildan menjadi laki-laki brengsek seperti diluaran sana. Meski sekarang ia sedang dalam proses. Entah apa yang membuat kak Wildan bertindak demikian, mungkin saja dia sedang mencari pelampiasan.
"Kakak jangan marah, ya?" ucapku lirih.
"Nggak mungkin kakak marah sama adik tersayang kakak." aku menatap wajah kak Wildan yang melirikku sekilas dan tersenyum. Senyuman itu penuh paksaan.
"Jadi..."
"Kakak bakalan putusin semuanya. Tenang aja, permintaan tuan putri akan terkabulkan."
"Apaan sih?"
...***...
"Assalamu'alaikum, Ndah pulang..."
Suaraku memecahkan keheningan di dalam rumah. Ini baru jam setengah tiga. Jelas bunda belum pulang dari tokonya. Dan pak Budi? Dia sudah pasti ada di luar.
"Paket..."
Samar-samar aku mendengar suara itu dari arah luar. Sepertinya ada abang paket yang sedang mengantar paket. Tapi milik siapa?
Dengan rasa penasaran aku kembali keluar dan melihat kak Wildan yang sedang berjalan kearahku sambil membawa paket itu. Sungguh aku penasaran dengan isinya.
"Kak Wildan beli apaan?" tanyaku penasaran lalu berjalan di sampingnya.
"Bukan punya kakak,"
"Terus?"
"Kamu."
"Aku? Perasaan aku gak beli apapun." aku menggaruk rambutku yang sedikit gatal, mungkin saja itu di sebabkan oleh ketombe.
"Ini," kak Wildan memberikan paketan itu hingga hampir saja terjatuh jika tak langsung aku tangkap.
Aku penasaran, paket dari siapa ini? Apa dari orang itu lagi? Ah, mungkin saja iya. Ini sudah satu bulan dan dia pasti akan mengirimkannya.
Kulangkahkan kaki ini menaiki tangga, lalu aku memasuki kamar dan menaruh paket itu di atas meja belajarku. Sengaja tak aku buka langsung karena aku harus mengecek handphoneku dulu, siapa tahu ada pesan dari seseorang.
"Ndah, kakak mau pergi ke rumah sakit dulu bentar." kutatap kak Wildan yang muncul di balik pintu sambil membenarkan rambutnya itu.
"Ngapain?"
"Dokter Keyra tadi telpon kakak, katanya ada yang mau dia omongin sama kakak, sekalian ambil obat."
Aku hanya mengangguk mengiyakan dan kembali menatap handphoneku. Setelah beberapa menit melihat-lihat pesan tak penting dari Renata dan Agatha. Ada sebuah notif pesan dari seseorang, dia Daniel.
...Kak Daniell...
Udah pulang?
^^^Udah, kak Daniel dimana?^^^
Dirumah. Kenapa? Kangen?
^^^Nggak kok. Kak Daniel kepedean banget sih.^^^
Haruslah, kan pacar kamu ganteng.
Aku bersenyum simpul setelah melihat pesan terakhir Daniel itu. Rasanya aku masih tak menyangka kalau aku, seorang Wirda yang terbilang biasa-biasa saja mendapatkan Daniel yang pastinya luar biasa.
Sedih, senang, bingung dan merasa bersalah terus menghantuiku. Aku kembali pada dilema ini. Ingin rasanya aku bertemu dengan Daniel dan menceritakan semuanya. Tapi aku tak berani, di hadapan Daniel aku menjadi lemah. Dia terlalu perhatian sekarang padaku, dia sangat menyayangiku. Lalu bagaimana mungkin aku menghancurkan hatinya dengan kenyataan yang pahit ini?
Cinta kerapkali mematikan.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments