"Sebenernya lo kesini karena apa sih? Gak mungkinkan cuman karena abang lo kuliah disini?"
Aku melirik Daniel sekilas, lelaki itu masih memejamkan matanya menikmati hembusan angin yang menamparnya.
"Kakak tahu, banyak orang yang bilang kalo aku ini pengecut." lirihku yang menatap lampu-lampu mobil yang berkerlap-kerlip dibawah sana.
"Maksudnya?"
"Aku selalu menghindar dari masalah,"
"Nggak semua orang yang menghindar dari masalah itu pengecut. Kadang, orang yang menghindar itu berusaha memperbaiki, bukan ingin lari."
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Dalam hati aku bertanya-tanya, benarkah ini Daniel? Untuk pertama kalinya aku mendengar dia berkata bijak.
"Kak Daniel---"
"Iya," ujar Daniel yang memotong ucapanku.
Kuukir senyum tulus di bibirku, kali ini Daniel membuatku sadar. Mungkin dari sekian banyaknya orang di dunia ini, Daniel adalah salah satu dari mereka yang membenarkan kata pengecut. Semakin lama, aku semakin mengenal sikapnya. Daniel tak seburuk yang aku bayangkan, juga tak seketus yang aku pikirkan. Hanya saja, dia termasuk orang yang tak mau meminta maaf dan berterimakasih. Katakanlah ego Daniel sangat tinggi.
"Makasih kak."
Kutatap Daniel yang kemudian sang empuh juga menatapku, mata kami bertemu, dan entah kenapa aku enggan mengalihkannya. Mata itu menyimpan sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa.
"Gue tahu gue ganteng. Tapi gak segitunya juga kali, lo liatin gue," aku alihkan pandanganku kedepan dengan wajah gugup.
Daniel kerapkali membuatku salah tingkah, bisa-bisanya dia mengatakan sesuatu yang jelas tak ingin aku dengar darinya. Entah berapakali Daniel mengatakan itu, yang pasti dia selalu mengekspresikan wajah percaya dirinya.
"Ikut gue," titah Daniel yang beranjak dan berjalan kearah viano.
"Kak Daniel mau apa?" tanyaku yang melihat gerak-gerik Daniel.
"Ngelakuin sesuatu yang juga gue sukai,"
"Kak Daniel..."
"Gue suka musik," ujar Daniel yang memotong ucapanku.
"Sejak kapan?"
"Sejak kecil. Papa dulunya seorang musisi, tapi setelah nikah sama mama, papa ninggalin hobinya itu dan memilih nerusin bisnis kakek."
"Kayaknya papa kakak hebat, ya." ujarku dengan antusiasnya.
"Iya, nanti kalo ada waktu gue kenalin lo sama papa-mama,"
"Hah?"
"Sini duduk disamping gue." Daniel menepuk kursi yang ia tempati.
Dengan sedikit ragu, aku menurut padanya. Aku duduk disamping Daniel yang mulai menaruh jari-jari tangannya diatas tuts. Perlahan tapi pasti, jari-jari itu mulai menari, menciptakan sebuah melodi yang aku sendiri tak tahu ini apa. Yang pasti, melodinya sangat indah, Daniel benar-benar membuatku merasa sangat kagum dengannya.
Aku menaruk kepalaku dibahu kanan Daniel, lantas aku memejamkan mataku menikmati alunan musik yang dibuat olehnya.
Aku kira dulu Daniel adalah seseorang yang terlalu masabodo. Tapi nyatanya tidak, aku salah. Aku salah menilai dia. Sulit aku percaya, jika seorang Daniel ternyata juga menyukai seni musik.
"Lo suka?" tanya Daniel saat mengakhiri permainannya.
"Iya, kak Daniel jago juga ternyata." ucapku senang yang mengangkat kepalaku dari bahunya.
"Kenapa berhenti?" tanya Daniel membuatku tak mengerti.
"Apanya?"
"Gue suka kalo lo nyender dibahu gue," ujar Daniel yang membuat pipiku memanas.
"Pipi lo merah,"
"Kak Daniel,"
"Iya-iya."
Aku memalingkan wajahku kearah lain, tapi saat aku berbalik Daniel sudah tak duduk lagi di sana. Dia berjalan kearah meja di dekat meja makan kami, lalu mengambil sesuatu yang tak asing bagiku.
"Kak Daniel..."
"Buat lo," Daniel menyodorkan biola berwarna putih dengan ukiran cantik itu kearahku.
"Buat aku?" tanyaku tak percaya.
"Bukan, buat cewek pendek di depan gue,"
Ku cubit perut Daniel yang menyebabkan sang empu mengaduh kesakitan, padahal aku tak terlalu kencang menyubitnya.
"Aku kan udah pernah bilang, gak usah di ganti. Lagipula biola aku udah di benerin sama kak Wildan."
"Itu bukan ganti rugi, tapi hadiah. Lo suka?"
"Suka sih, tapi kayaknya berlebihan deh,"
"Kalo gak suka buang aja. Nanti gue beliin yang baru," celetuk Daniel dengan entengnya.
"Enak banget ya kalo ngomong." aku menata kesal Daniel, sedangkan yang ditatap hanya tersenyum simpul.
"Gue boleh ngomong pake aku-kamu?" tanya Daniel yang membuat aku ingin tertawa.
"Ada yang ngelarang?" tanyaku balik.
"Nggak," jawabnya.
Aku berjalan kearah tepi gedung, kutatap lampu-lampu yang menyala dari gedung-kegedung, rumah-kerumah, juga para pengendara kendaraan. Kapan lagi aku bisa melihat pemandangan seperti ini di Jakarta, sedangkan kak Wildan tak pernah ada waktu untuk menemaniku jalan-jalan seharian full. Dia hanya bisa menemaniku 3 sampai 4 jam saja dalam sehari, dan waktu libur kami, kami pakai bersantai bersama bunda di rumah.
"Wirda Citra Nadira..."
Aku membeku di tempat. Terkejut? Tentu saja, ini pertama kalinya Daniel menyebut namaku, tak tanggung-tanggung ia juga menyebut nama panjangku.
"Wirdah, panggilan sayang dari seorang Daniel." ujarnya yang tiba-tiba saja sudah ada di sampingku.
Aku melirik Daniel yang meronggah sesuatu di kantung celananya. Seketika ia mengangkat benda itu tepat di depan wajahku. Aku membelalakkan mataku, pasalnya itu sebuah kalung dengan liontin bernamakan WirDaniel. Apa mungkin...
"Lo harus jadi pacar gue. Kalo lo lupa, seorang Daniel gak menerima penolakkan." ujarnya begitu saja, bahkan dengan entengnya ia berucap demikian.
"Kak Daniel gak usah becanda. Gak lucu," ucapku dibarengi kekehan kecil.
"Gue serius," yakin Daniel dengan lantangnya itu.
"Wirda Citra Nadira, aku mau kamu jadi pacar aku." ucap Daniel penuh penekanan.
Aku terdiam menatap mata Daniel, aku yang sejak tadi mencari celah kebohongan dari mata Daniel, tapi nahasnya tak menemukannya. Benarkah sekarang Daniel serius?
"Dah..." panggil Daniel membuyarkan pikiranku yang sedang berdiskusi.
"Hah?"
"Apa jawaban kamu?"
Aku tersenyum simpul kearahnya, dengan gerakkan kecil aku menganggukkan kepalaku,"Boleh."
"Jadi..?"
"Aku mau jadi pacarnya kak Daniel," ucapku terus terang.
Kulihat Daniel yang tersenyum lebar hingga menampilkan deretan giginya. Perlahan dia perjalan kebelakang tubuhku, dan memakaikan kalung itu tepat di leherku. Kalung indah yang sejak tadi sempat menjadi pertanyaan bagiku, kini tidak lagi, aku sudah tahu maksudnya. Dan aku pastikan jika tadi aku menolaknya, dia akan dengan entengnya membuang kalung emas berlapis berlian ini kebawah sana.
Seberubah apapun Daniel saat ini. Daniel tetaplah Daniel, dia masih sama seperti dulu, dia akan dengan mudahnya membuang sesuatu yang jelas tak penting baginya, ataupun yang tak ia inginkan.
Daniel memiliki prinsip dalam hidupnya. Dia bilang, dia akan hidup sekali, mati sekali, pacaran sekali, tunangan sekali, menikah sekali, dan mencintai hanya sekali untuk satu orang saja. Jujur, di pernyataan dia yang terakhir, aku ragu. Aku takut dia benar-benar hanya akan mencintai satu orang saja, sedangkan entah kapan aku pasti pergi. Dan aku rasa itu mustahil.
"Aku gak bisa janji buat nggak bikin kamu sakit hati ataupun nangis, tapi aku bakalan berusaha buat bisa jadi salah satu alasan kamu tersenyum."
"Kak Daniel gak perlu janji, karena aku butuh bukti."
Cinta masa putih abu-abu memang belum tentu akan berakhir dengan bahagia. Tapi setidaknya, untuk saat ini ia mampu memberikan pelangi sebelum senja tiba.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments