Jam Kosong

"Sejak kapan lo suka bawa dompet, Wir?" Agatha menatap penuh selidik kearahku. Dan itu membuatku risih, dia selalu saja begitu.

"Bukan dompet aku."

"Terus?"

Aku hanya menyengir kuda kearah mereka. Ingatanku berkelana kemana-mana, mungkin saja orang yang memiliki dompet ini tengah panik mencarinya.

"Wir, itu dompet siapa sih?" tanya Renata setengah jengkel.

"Kak Wildan."

...***...

"Udah ketemu, bun?" tanya Wildan yang menuruni tangga rumahnya.

"Belum,"

Hampir satu jam lebih Wildan mencari dompetnya, bahkan dia sampai izin untuk tak masuk kuliah dulu karena khawatir akan dompetnya.

Sebenarnya bukan tak apa jika dompet itu hilang, tapi masalahnya disana ada KTP, STNK, SIM, ATM dan kartu-kartu debit lainnya. Jika saja dompet itu tak ditemukan, maka dia akan benar-benar bangkrut. Meskipun usahanya lancar dan selalu maju, tapi ia tak rela jika harus memulai dari awal lagi. Dan dia tak mau merepotkan bunda, dia anak laki-laki yang seharusnya memang harus menafkahi keluarga.

"Tadi kamu simpen dimana? Kok bisa ilang gini? Kan kamu belum keluar." bunda berjalan mendekati putranya dan duduk disampingnya.

"Ndan gak tahu, bun. Lupa,"

"Tadi pagi ada?"

"Ada,"

"Coba inget-inget lagi, kak."

"Tadi itu Ndan turun dari kamar, terus sarapan... Pas sarapan... Ndah!" Wildan yang tadinya duduk disamping bundanya langsung berdiri dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya.

...***...

"Serius? Kok bisa sama lo?" Agatha menatap takjub kearahku.

Sedangkan aku hanya mengangguk dan kembali makan.

Sebenarnya, tadi pagi, saat aku menyapa kak Wildan, aku mengambil dompetnya yang ada diatas meja makan secara diam-diam lalu menaruhnya di dalam tasku. Tapi dengan tidak sengajanya aku malah membawanya bersamaku, entah ini keberuntungan atau kebuntungan yang kudapat. Kuyakin setelah ini kak Wildan akan sangat marah jika tahu.

"Bu, aku siomay dua sama batagornya lagi satu." pesanku pada bu Emma yang berjalan melewati mejaku tadi.

"Pedes apa nggak, neng Wirda?"

"Jangan terlalu pedes, takut dimarahin bunda kalo makan makanan pedes."

Bu Emma yang sepertinya mengerti itu langsung tersenyum mengangguk dan pergi. Sejak beberapa minggu lalu kami sudah saling mengenal, bahkan saat aku baru sehari sekolah disini, ia mulai akrab denganku.

Aku yang memang ramah, kerap kali mudah mendapatkan teman. Tak jarang pula ada yang memanfaatkan bahkan mengkhianati kepercayaanku dengan mengatas namakan pertemanan kami.

Namun sepertinya mereka kurang tahu jika aku memegang sebuah prinsip yang dimana, ketika seseorang mengkhianati kepercayaanku, maka aku tak akan tinggal diam. Tak jarang hal itu akan berujung dengan pergi meninggalkan, mereka seringkali menganggapku mudah memaafkan. Yang mereka kira hanyalah Wirda itu baik, jadi dia pemaaf. Padahal sebenarnya tak begitu.

"Lo bilang jangan terlalu pedes. Tapi itu sama aja, Wirda." Agatha menatapku kesal.

"Beda,"

"Sama."

"Beda."

"Terserah deh."

"Kalah?"

"Nggak, mana ada seorang Agatha kalah sama bocah kayak lo."

"Heh, umur aku 16 tahun, ya. Dan bentar lagi mau 17."

"Masih bocah, buktinya aja belum punya KTP."

"Nanti juga aku bikin kok kalo umurku udah pas!" ucapku menaikkan volume suaraku lebih tinggi.

Orang di depanku ini menyebalkan.

"Wir, ikut gue!" kata Renata yang langsung berdiri diikuti Agatha dan mereka menarik tanganku menuju pohon besar yang ada di dekat kantin.

Kami bertiga berjongkok dibalik pohon itu sambil menatap entah kemana.

Aku tak tahu ada apa, tapi aku yakin jika Renata melihat guru. Dan jangan sampai guru itu melihat kami.

"Kenapa, Ren?" tanyaku penasaran.

"Tuh, guru BK."

Aku menatap kearah koridor yang menuju kantin, dan benar saja. Disana ada guru yang berjalan dengan membawa rotan.

Dua kali. Dua kali aku hampir kepergok guru BK. Pertama saat bersama Daniel, dan kedua saat ini.

"Wir, handphone lo bunyi," Agatha yang ada disampingku langsung menyenggolku.

Segera aku mengambil handphoneku dan mengangkatnya telpon itu.

"Ha---"

"NDAH!!! KAMU NGAMBIL DOMPET, KAKAK?!!!"

Segera aku menjauhkan handphone itu dari telingaku, suara itu, sungguh mengganggu pendengaranku. Dan aku tak suka itu.

"Gak usah teriak-teriak kak, Ndah juga denger."

"Balikin gak dompet, kakak?"

"Dompet? Yang mana? Ndah lagi disekolah, kak. Jangan telpon dulu, ya." aku menghela nafas lega saat aku mematikan telpon itu secara sepihak.

Lalu bagaimana? Pasti setelah aku pulang kak Wildan tak akan tinggal diam. Dia pasti akan memarahiku.

"Udah pergi?"

"Bentar lagi, Tha. Gurunya bentar lagi ngelewatin kantin, kok." jawabku.

"Wir, gue gak ngomong." cercak Agatha dan langsung aku menoleh kearahnya.

Dan dengan perasaan tak menentu, aku mulai membalikkan tubuhku. Kutatap sepasang sepatu snakers yang ada didepanku. Lalu perlahan aku mulai mendongak menatap siapa itu.

"Udah selesai?"

"Eh,, om Ilan. Pagi om," sapaku dengan melambaikan tanganku ragu dan menyengir kuda kearahnya.

"Anak nakal. Ngapain disini?"

"Eh,, bapak. Bapak ngapain disini? Gak ngajar olahraga?" tanya Agatha mendahului.

"Saya lagi gak ada jam ngajar. Terus liat kalian disini, ngapain?"

"Abis dari kantin." jujurku yang langsung mendapat pelototan dari Agatha dan senggolan dari Renata.

"Udah selesai?"

"Belum. Ndah lagi mesen siomay sama batagor. Kalo mau om bisa gabung kok. Tenang aja, Ndah traktir hari ini. Tapi om jangan bilang sama guru lain ataupun bunda, ya?"

Kulihat om Ilan yang tertawa kecil mendengar penuturanku. Tapi setelahnya ia langsung merangkulku dan membawaku ke meja kantin. Meja dimana tadi aku dan kedua temanku duduk.

"Om mau apa?" tanyaku yang ingin memesankan makanan untuk omku itu.

"Om gak mau apa-apa, cuman mau nemenin kamu aja disini."

"Yaudah."

"Bu Emma, siomay sama batagornya di bungkus aja. Wirda mau makan dikelas. Disini udah gak seru kalo ada om Ilan." teriakku pada bu Emma yang sedang sibuk ditempatnya.

"Segitunya kamu sama om."

"Gakpapa, yang penting Ndah seneng." aku tersenyum simpul pada orang yang ada disampingku ini.

Dia om Ilan, omku yang mengajar di SMA Cahaya Pelita ini. Dan inilah alasan bunda menyuruhku sekolah disini. Bunda takut jika terjadi sesuatu padaku. Itu sebabnya ia menyuruh om Ilan mengawasiku.

"Neng Wirda, ini udah bibi bungkusin." ujar bu Emma yang menyodorkan kresek hitam yang didalamnya sudah pasti ada pesananku.

Aku langsung mengambilnya, lalu mengeluarkan uang seratus ribu dari dalam dompetku. Ah, ralat. Dompet kak Wildan dan memberikannya pada bu Emma.

"Kembaliannya ambil aja, bu. Itung-itung sedekah." ucapku dihadiri senyuman manis.

"Makasih, neng."

"Sama-sama."

"Tumben bawa dompet. Dompet siapa?" tanya om Ilan yang menatapku penuh selidik.

"Kak Wildan. Aku pinjem."

"Uangnya?"

"Punya kak Wildan,"

"Pinjem juga?"

Aku menggeleng cepat."Bukan, aku minta."

"Tumben abang kamu baik, gak pelit."

"Iya, kan aku ngambilnya sembunyi-sembunyi." kutatap om Ilan yang menggelengkan kepalanya menatapku.

"Om pergi, ya. Mau ke kantor." pamitnya yang beranjak lalu pergi keluar dari kantin.

"Hati-hati, pak." ujar Renata dan Agatha.

"Wir, itu om lo?" aku mengangguk mengiyakan ucapan Renata.

"Enak, ya. Jadi lo."

"Nggak juga. Dan ingat, kalian jangan pernah mau jadi aku."

"Kenapa?"

"Gakpapa."

"Enak banget jadi lo. Banyak yang sayang, abis itu bisa deket sama Daniel lagi." celetuk Renata yang langsung membuatku terdiam.

"Eh,, ngomongin Daniel. Lo tahu gak sih Wir, tadi pas gue balik dari toilet. Gue denger guru ngomongin Daniel. Katanya Daniel gak masuk sekolah lagi." Agatha berujar dengan mengambil minumnya yang ada diatas meja.

"Hah?"

"Iya, kalopun masuk, pasti dia gak bakalan ke kelas. Soalnyakan ada kepala sekolah disana."

"Ngapain?!" ucapku dengan cepat.

"Pengecekkan setiap murid, biasanya kepala sekolah suka keliling kelas buat mantau anak-anak."

"Ehh, aku pergi dulu, ya." aku berdiri dari dudukku dan menyodorkan tasku pada Agatha.

"Mau kemana? Ke kelas?"

"Bukan. Aku titip tas, ya."

Aku langsung berlari kecil meninggalkan kantin dan berjalan menuju rooftop. Tak lupa aku membawa siomayku yang masih belum dimakan dan air mineralnya.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!