Aku memakan roti selai kacang milikku, sesekali mataku melirik kak Wildan yang terlihat sedih sedari tadi.
"Ngapain ngeliatin mulu?" tanyanya dengan pandangan masih melihat kearah roti miliknya.
"Nggak papa, cuman lagi mikir aja,"
"Mikirin apaan?"
"Kakak beda. Kenapa? Ditinggalin lagi sama cewek?" aku meminum setengah susu putih milikku.
"Kepo." ketusnya yang meminum susu cokelat miliknya hingga tandas, lalu pergi begitu saja.
"Kakaknya kenapa, sayang?" bunda berjalan mendekati meja makan.
Aku hanya menggeleng tidak tahu. Aneh rasanya ketika melihat kak Wildan berubah tiba-tiba saat ini.
"Assalamu'alaikum..." sayup-sayup aku mendengar suara itu dari arah luar.
"Udah selesai sarapannya?" tanya bunda menatapku.
"Udah bun,"
"Yaudah samperin pacarnya sana," ucap bunda membuatku tersenyum malu.
"Ndah pergi ya bun." pamitku sambil menyalami tangan bunda.
"Iya, hati-hati. Belajar yang bener, jangan membolos, dan yang paling penting jangan terlalu capek, terus minum obatnya yang teratur, ya."
"Iya, Ndah pergi. Assalamu'alaikum,"
"Waalaikumussalam."
Aku berjalan riang sambil menenteng sebelah tas ranselku pada pundak kiriku. Entah kenapa rasanya senang sekali saat aku melihat Daniel yang berdiri di teras sambil memunggungiku. Tapi setengah hatiku juga merasa bersalah. Aku memulainya dengan banyak rahasia yang tak ia ketahui.
"Kak---"
Ting!
Aku memberhentikan langkahku dan menatap kearah meja ruang tamu. Terlihat handphone yang kini menyala dan mendapat sebuah notif pesan dari seseorang.
Aku berjalan dan mengambil handphone itu, dan ternyata itu milik kak Wildan. Kubaca pesan itu yang ternyata dari seseorang yang bernama Milla. Aku yakin kalau perempuan ini pasti kekasihnya.
"Bun..." cepat-cepat aku menaruh handphone itu ketempat asalnya sebelum sang pemilik menyadarinya.
"Bunda di dapur," teriak bunda yang terdengar samar.
"Liat handphone Ndan gak?"
Aku berlari kecil keluar dari rumah dan menghampiri Daniel yang terlihat terkejut mendapatiku yang tiba-tiba saja langsung ada di sampingnya.
"Kamu kenapa, Dah?" tanya Daniel heran.
"Nggak papa, ayo kak nanti telat." ucapku sambil menarik Daniel menuju mobilnya.
Daniel menaiki mobilnya setelah ia membukakan pintu untukku. Tanpa basa-basi ia langsung menstater serta melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumahku. Aku menghembuskan nafas lega, setidaknya kak Wildan tak tahu jika tadi aku sempat memegang handphone miliknya.
"Kamu kenapa sih? Kok aneh banget," tanya Daniel yang sesekali melirikku.
"Nggak papa, kok. Oh iya, nanti kak Daniel pulang jam berapa?" tanyaku mengalihkan pertanyaannya.
"Jam setengah dua mungkin, kenapa emangnya? Kamu ada eskul? Nanti aku tungguin. Lagian hari ini lesnya libur,"
"Ehh, nggak kak. Tapi nanti pas pulang anterin aku ke cafe dulu, ya?" pintaku dengan hati-hati.
Kutatap Daniel yang menyunggingkan senyum tulus sambil sesekali menatapku. "Iya,"
...***...
"Wir, lo pacaran ya sama Daniel?"
"Hah?" aku menatap spontan Agatha.
"Beneran? Lo pacaran sama Daniel?"
"Tahu dari mana?" tanyaku resah.
Setahuku Daniel masih menyembunyikan status kami sekarang. Lalu bagaimana dia tahu? Apa Agatha cenayang? Ah, mana mungkin.
"Lo pake kalung. Bacaannya WirDaniel lagi. Untung cuman gue yang liat."
"Jangan kasih tahu siapa-siapa dulu ya, Tha." mohonku setengah berbisik.
Akan aneh jika aku bicara kencang di dalam kantin yang mulai ramai ini. Lagipula Daniel tak bicara kalau aku boleh menyebarkan tentang hubungan kami.
"Lagi ngomongin apaan?"
Aku menoleh kearah samping, begitupun Agatha. Kami melihat Renata yang berjalan sambil membawa mie ayam pesanan kami. Lantas ia duduk di sebelahku dan memberikan semangkuk mie padaku dan Agatha.
"Makasih, Ren." ucapku tulus lalu mulai menambahkan mie itu dengan sedikit saus dan sambal.
"Sama-sama. Tadi kalian ngomongin apaan?" tanyanya kembali.
"Nggak kok," aku mulai menyuapkan mie ayam itu ke mulutku.
Aku menikmati mie ayam yang saat ini sedang kumakan, rasanya masih sama. Aku pasti akan selalu merindukan mie ayam ini meski sudah berkali-kali memakannya. Dan entah kenapa aku rindu pada seseorang. Ingin rasanya aku pulang ke Bandung dan menemuinya. Aku ingin memeluknya dengan sangat erat dan menyalurkan rindu ini. Apa dia merindukanku? Ahh, bisa jadi iya, bisa jadi juga tidak. Aku sudah lama tidak menghubunginya, dan sebentar lagi ajaran semester 1 akan berakhir. Semoga dia baik-baik saja.
"Eh, lo liat berita waktu kemaren gak?" Tanya Renata yang membuka pembicaraan. Aku hanya diam menyimak sambil menghabiskan makananku ini. Biarkan Agatha yang meladeninya.
"Yang mana?"
"Itu loh, kemarinkan Sarah Alexanderia meninggal,"
"Oh, ibunya pengusaha terkenal itu, ya? Alexander!" sahut Agatha dengan semangatnya.
Aku tak mengerti, bagaimana mungkin mereka terlihat bersemangat saat mendengar orang meninggal. Aneh.
"Iya, terus katanya pewaris tunggal Alexanderia juga ada di sana. Tapi banyak yang gak tahu mukanya, jadinya susah ngenalinnya. Terlalu tertutup. Bahkan namanya aja gak di kasih tahu,"
"Pewarisnya cowok?" tanyaku ikut menimbrung. Pasalnya aku mulai penasaran.
"Ada yang bilang sih cowok, ada juga yang bilang cewek. Tapi gak tahu juga sih." kulihat raut wajah Renata yang mulai tak semangat.
"Terus dia di makamin di mana?" aku menatap Renata dan Agatha silih bergantian.
"Di Bandung," jawab mereka bebarengan.
"Kasian ya, udah mah waktu itu bokapnya meninggal. Eh, sekarang neneknya."
Aku terdiam, pikiranku mulai berkelana kemana-mana. Banyak sekali pertanyaan dalam benakku yang belum terjawab. Siapa itu Alexander? Aku bahkan belum pernah mendengar nama itu. Ditambah lagi orang itu pengusaha terkenal? Siapa dia? Aku penasaran.
"Hei..."
Aku mendongak saat suara itu datang menyambut indera pendengaranku. Kuukir senyum tipis yang menghiasi wajahku. Dia Daniel, dia datang dengan teman-temannya.
"Udah makannya?" aku mengangguk kecil mengiyakan pertanyaan Daniel tadi.
Dia duduk disampingku sambil menatapku lekat. Sungguh, aku tak terbiasa dengan sikapnya ini. Daniel terlalu manis menurutku. Dia mampu membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
"Kak, jangan liatin aku kayak gitu." ujarku yang memalingkan wajahku kembali pada mie ayam yang tinggal sedikit lagi.
"Kenapa emangnya? Gak boleh?"
"Nggak papa sih. Tap---"
"Niel, teraktiranlah..." ucap Albi yang kemudian diangguki oleh yang lainnya.
"Okay, gue teraktir kalian berempat."
"Asik,"
"Yaudah, gue pergi dulu." Daniel beranjak dari duduknya dan mengulurkan tangannya kearahku, "Ikut aku,"
"Hah?"
"Ikut."
Aku menerima uluran tangan Daniel dan berdiri dari dudukku. Dia dengan percaya dirinya menarikku meninggalkan meja itu dan berhenti di depan bu Emma yang baru saja kembali setelah mengantarkan pesanan para murid.
"Bu, nanti totalin semua jumlah makanan yang temen-temen saya pesen, ya. Saya yang bayar nanti."
"Siap den Daniel,"
"Saya mau mie ayam ya, bu." ujar Daniel yang langsung di siapkan oleh bu Emma.
"Tumben gak pesen bakso," kata ibu Emma yang menaruh semangkuk mie ayam itu diatas nampan lalu ia mengambil sebotol air mineral juga segelas jus jeruk dan menaruhnya di nampan yang sama.
Entah kenapa aku sangat yakin jika mereka dekat. Terlihat dari cara bu Emma yang hafal betul tentang makanan dan minuman yang sering Daniel pesan. Ah, aku lupa. Daniel sudah hampir 3 tahun sekolah di sini. Ditambah dia termasuk murid yang pintar, nakal dan paling menonjol akan ketampanannya.
"Kelamaan bu. Saya udah laper," jawab Daniel yang menerima nampan itu dan melirikku seakan memberi kode ayo.
"Kak Daniel deket ya sama bu Emma?" tanyaku sambil berjalan di samping Daniel.
"Aku ganteng, jadi mudah buat orang ngenalin aku." ucap Daniel di barengi kekehan kecil darinya.
Aku hanya memutar bola mataku malas. Daniel masih saja sama, terlalu percaya diri. Mungkin saat ini aku harus belajar darinya agar aku tak selalu merasa takut.
"Kita duduk di taman aja, ya?" kata Daniel sambil melihat taman yang sepi.
"Iya,"
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments