Hari ini, adalah hari yang paling aku nantikan. Karena hari ini aku bisa kembali sekolah, beruntung kemarin aku memaksa bunda dan kak Wildan agar mengizinkanku pulang.
"Kamu serius mau sekolah?" tanya bunda yang langsung di angguki olehku.
Aku meminum susu putihku, dan kembali memakan rotiku yang hanya tersisa setengah. Kali ini aku dan bunda tengah sarapan. Sedangkan kak Wildan sedang memanaskan mobilnya di luar.
"Iya, bun. Lagian gak enak juga sama sekolah, masih anak baru, tapi gak sekolah seminggu."
"Tapi, kan kamu masih sakit, sayang."
"Ndah gak apa-apa kok, bun."
"Yaudahlah, terserah kamu aja. Lagian bunda juga gak bisa maksa kamu."
Inilah aku, keras kepala dan selalu melakukan sesuatu sesukaku. Aku berbeda dengan bundaku yang lembut dan penyabar.
"Dah, tuh ada temen kamu di luar." ucap kak Wildan yang berjalan menuju meja makan, dan duduk di sampingku.
"Siapa, kak?"
"Gak tahu, samperin gih."
Akupun menggeser kursiku dan berjalan menuju luar. Siapa orang yang pagi-pagi begini sudah datang kerumahku? Ralat, rumah bunda maksudnya.
Sesampainya di depan teras rumah, disana aku bisa melihat seseorang yang sedang berdiri menghadap taman depan rumahku dengan tas ransel yang hanya di kaitkan pada sebelah pundaknya.
"Kak Daniel." lirihku namun mungkin bisa di dengar oleh orangnya, buktinya orang itu menoleh ke arahku, "Ngapain disini? Kok tahu rumah aku?" tanyaku dengan ekspresi wajah yang sulit di artikan.
"Ayo berangkat." ajaknya sembari membenahi tas ranselnya.
"Tapi aku berangkat di anter sama kakak aku."
"Bilang, lo berangkat sama gue."
"Tapi, kak___"
"Gue gak menerima penolakkan. Paham?" ketusnya.
Dan aku hanya pasrah saja. Aku kembali ke dalam dan mengambil tasku yang ada di ruang tamu. Namun sebelumnya aku berpamitan pada bunda dan kak Wildan, serta mencium tangan mereka.
Aku berjalan pelan menuju mobil Daniel, ada rasa canggung, gelisah dan tak nyaman yang menghampiriku. Aku menghela nafas panjang sebelum mulai membuka pintu mobilnya. Tapi sebelumnya aku melafalkan do'a terlebih dahulu, berharap jika nantinya Daniel tak membuangku di tengah jalan. Tapi sepertinya itu terlalu berlebihan, karena yang aku tahu dari Agatha. Daniel itu bukan tipe orang yang keterlaluan terhadap wanita. Cuman mulutnya saja yang keterlaluan.
"Lo lambat banget sih!" ketusnya saat aku sudah masuk. Baru saja aku bilang, sudah menjadi kenyataan.
"Lagian siapa juga yang suruh jemput?!"
"Heh, pendek. Kalo bukan karena temen-temen lo sama temen-temen gue yang maksa dan nelponin gue terus, gue gak akan pernah mau."
Akupun terdiam, dan sekarang aku tahu, ternyata dalang dari semua ini adalah Agatha dan Renata. Sepertinya aku harus memberi pelajaran pada mereka.
Semenit kemudian setelah Daniel menatapku yang sudah siap, dia langsung melajukan mobilnya untuk membelah jalanan kota Jakarta ini.
Beruntung hari ini kota Jakarta tidak terlalu macet, jadi kami sampai lebih cepat ke sekolah. Dan akhirnya pula aku bisa terbebas dari Daniel yang ketus ini.
Aku melangkahkan kakiku untuk keluar dari parkiran, aku memasuki pekarangan sekolah dengan perasaan yang senangnya luar biasa. Tapi entah kenapa saat sampai di depan koridor aku justru merasa ada yang mengikuti. Hal itu membuatku cepat-cepat membalik. Dan ya, aku menemukan Daniel yang berada tepat di belakangku dengan tas yang ia kaitkan sebelah di pundak kirinya.
"Kak Daniel ngapain ngikutin aku?" tanyaku dengan kesalnya.
"Siapa juga yang ngikutin."
"Lah, terus?"
"Gue disuruh buat jagain lo."
"Sampe kapan?"
"Sampe lo sembuh."
"Aku gak akan sembuh kak!" teriakku dengan kerasnya. Hal itu mengundang banyak pasang mata menatapku. Sungguh aku malu, "Maksudnya, aku udah sembuh." ucapku, namun kali ini dengan suara yang lebih rendah.
"Terserah lo mau bilang apa. Yang penting gue mau jalanin tugas gue buat jagain lo." ujar Daniel yang tetap pada pendiriannya.
Agatha bilang, meski Daniel itu memiliki mulut yang ketus, pedas, susah diatur, selalu memerintah, dan selalu merasa yang paling benar. Tapi dia juga selalu menepati janjinya, karena dia selalu di ajari oleh seseorang agar tidak menjadi laki-laki yang brengsek. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu siapa orang yang berhasil membuat Daniel menjadi penurut.
Tapi aku kagum, Daniel memang orang yang suka menepati janjinya. Tidak seperti mantanku dulu.
"Kak, aku udah sampe kelas. Pergi sana." ucapku saat sudah di depan pintu kelas.
Hal itu tak luput dari tatapan orang-orang yang menatapku juga Daniel. Sejak tadi kami sudah menjadi pusat perhatian karena dia.
"Lo ngusir gue?" sewot Daniel.
"Bukan, kak."
"Terus apa?!"
Aku menghela nafas sejenak. Daniel memang keras kepala, dan sekarang salah paham, entah apa lagi yang di miliki laki-laki di depanku ini. Yang pasti aku harus sabar menghadapinya.
"Kak Daniel mau balik lagi ke kelas sebelas?" tanyaku dengan datarnya.
Daniel tak menjawab, dia hanya menatap tajam diriku, kilatan matanya seperti ingin mengulitiku hidup-hidup. Daniel seakan ingin mengibarkan bendera perang padaku.
Tak lama dari itu dia pergi tanpa kata-kata. Aku menatap punggung Daniel yang perlahan mulai menjauh.
"Ciee, yang berangkatnya di anterin sama doi. Terus dianterin ke kelas pula. Jadi ngiri yang disini."
Aku yang mendengar suara itu tak langsung menyahut, malah sekarang aku berjalan menuju bangkuku yang terletak di belakang bangku Renata. Gadis itu sedang fokus mencatat ternyata, bisa di pastikan dia tak mengerjakan PR lagi, padahal kemarin libur. Ah, dasarnya pemalas.
"Kalian kok bohongin aku, sih?" kesal ku yang membuat perhatian Renata teralihkan.
"Lah, kita kan udah sepakat." ucap Agatha yang berjalan kearah ku dan duduk di sampingku. Dan dia juga yang mengatakan kata-kata tadi di ambang pintu.
"Iya, lagian Daniel juga fine-fine aja kok." sambar Renata.
"Fine dari hongkong."
"Yaudah terima aja kali. Lagian Daniel juga baik kok." ujar Agatha dengan santainya. Dan setelahnya dia keluar, di susul olehku dan juga teman-teman lainnya yang masih ada di dalam kelas.
Kalian tahukan aktivitas di pagi hari senin seperti apa?
Disinilah aku sekarang, di tengah lapangan yang panas hingga membuat kulitku yang putih berubah menjadi kemerah-merahan karena sinar matahari.
Waktu silih berganti, detik menjadi menit, dan menit berubah menjadi jam. Baru satu jam aku berdiri seperti ini, tapi rasanya aku seakan ingin pingsan. Tak kuat.
"Wir, lo sakit? Muka lo pucet banget." tanya Renata yang berbaris di sampingku.
"Nggak." elakku yang pada kenyataannya memang aku sudah tak kuat berdiri, badanku sudah lemas.
"Ke UKS, yuk!" ajak Agatha yang berada di belakang Renata, namun aku hanya menggeleng dan tersenyum kecil.
Fokusku kembali ke depan, namun sesuatu mengusikku. Tatapan semua murid mengarah pada barisan kelas dua belas. Entah ada apa, hal itupun menarik perhatianku hingga membuatku mengikuti arah pandang mereka.
Tatapanku terjatuh pada Daniel yang dengan santainya berjalan di tengah lapangan, sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Sungguh keberanian yang patut aku acungi jempol. Daniel memang murid yang paling menonjol di sekolahan ini, bahkan sekarang kepala sekolah yang melihatnya hanya menggelengkan kepala atas kelakuan siswanya ini.
Daniel berjalan hingga langkahnya terhenti di barisan kelas sebelas, lebih tepatnya di barisan kelasku. Dia menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya, dan berhenti tepat di depanku.
Baiklah, sekarang bukan hanya siswa ataupun siswi. Namun kini aku dan Daniel juga menjadi pusat perhatian guru-guru, termasuk kepala sekolah.
"Ikut gue." ucap Daniel dengan ketusnya.
"Tapi ini lagi upacara, kak." lirihku dengan suara lemah tanpa semangat.
Aku sedang tak minat bertengkar dengan Daniel sekarang. Tubuhku benar-benar lemas.
"Ikut, atau lo mau gue gendong." perintahnya, dan kini aku terdiam.
Aku menatap Renata dan Agatha silih bergantian, dan mereka hanya tersenyum meledekku. Tatapanku kini terjatuh pada Daniel yang masih setia menatapku dengan tampang sangarnya. Aku hanya menghela nafas pasrah dan mengangguk kecil.
Kini tangan mungilku di tarik oleh Daniel. Dia dengan tidak sopannya menarikku tanpa permisi. Tatapan orang-orang masih menyorot kearah ku dan Daniel yang berjalan lewat belakang menuju UKS. Sebenarnya, ada saja PMR yang ingin membantuku tadi. Tapi karena Daniel yang menatap tajam mereka, mereka menjadi terdiam dengan nyali yang menciut.
"Kalo lo sakit bilang, jangan diem aja kayak tadi." omel Daniel yang masih berjalan dengan menarik tanganku.
"Iya."
"Minta maaf?"
"Iya, aku minta maaf." lirihku masih dengan suara lemah. Jujur, aku kesal dengan Daniel yang terus saja memerintahku, meski dia tahu jika aku sedang sakit.
"Lo masih kuat jalan?" tanya Daniel yang kini menatapku dengan tatapan yang aku sendiri tak tahu itu tatapan apa. Seperti tatapan khawatir, iba dan kesal yang menjelma menjadi satu.
"Masih kok, kak." ucapku, dan kini Daniel berjalan lebih pelan dari sebelumnya. Mungkin dia tahu jika aku sudah lelah berjalan.
Jarak dari lapangan dengan UKS memang sedikit jauh, jadi wajar saja aku merasa lelah. Ditambah dengan keadaanku sekarang.
"Kak Daniel kok tahu aku sakit?" tanyaku penasaran.
"Sejak masuk ke lapangan gue emang udah merhatiin lo. Lagian lo udah tahu sakit masih aja di paksain."
"Kak Daniel..." panggilku.
"Apa?" jawab Daniel yang melirikku.
"Makasih." ucapku sembari tersenyum manis kearah Daniel, meskipun aku tahu mungkin wajahku pucat pasi seperti mayat hidup.
Daniel memberhentikan langkahnya, ia mulai serius memperhatikanku. Dan itu membuatku tak nyaman.
Tak lama kemudian, dia membuka pintu UKS dan menarikku untuk masuk. Ya, sejak tadi Daniel tak pernah melepaskan tanganku dari genggamannya.
Ini untuk pertama kalinya aku berada di dalam ruangan yang bernama UKS. Ralat, maksudnya ini pertama kalinya aku memasuki ruang UKS SMA Cahaya Pelita.
Yang pertama kali aku lihat saat memasuki ruangan ini adalah seseorang yang berpakaian rapi dengan jas berwarna putih. Sepertinya dia sedang buru-buru.
"Kak Alya mau kemana?" tanya Daniel pada wanita yang di panggil Alya itu.
Wajahnya hampir mirip dengan seseorang yang pernah aku temui waktu di perpus dulu. Siapa namanya? Ayla, ya Ayla.
"Kakak harus ke rumah sakit sekarang, ini darurat." ucapnya tergesa-gesa, bahkan dia mengambil tasnya hingga menjatuhkan buku yang ada di dekatnya.
"Tapi, kak. Ada pasien yang harus kakak rawat di sini."
"Kakak buru-buru Daniel, nanti kakak bilangin ke PMR di luar aja, ya?"
"PMR disini itu gak pada becus, kak."
"Yaudah, kalo gitu kamu aja yang rawat." ucap Wanita itu yang tersenyum kearah Daniel, dan pergi dengan tergesa-gesa.
Aku menatap Daniel, begitupun Daniel. Ia berjalan kearah brankar dan menyuruhku untuk duduk.
"Lo udah sarapan?"
"Udah."
"Gue beliin lagi, ya?"
"Nggak, kak. Aku udah kenyang."
"Inget, gue punya tanggungjawab buat jagain lo."
"Nggak, kak Daniel."
"Lo susah banget sih di aturnya. Sekarang apa? Lo mau minum?"
"Iya."
Daniel berjalan kearah meja yang dekat dengan lemari obat-obatan. Aku yang melihat obat-obatan di lemari kaca itupun hanya menggidik ngeri. Aku jadi ingat, berapa banyak obat yang selama ini aku minum? Itu terlalu banyak hingga tak terhitung oleh jariku.
"Nih, minum." suruh Daniel yang sudah berdiri di sampingku dengan menyodorkan segelas air putih di tangannya.
Akupun mengambilnya dan meminumnya hingga setengah.
"Lo istirahat aja. Gue tungguin di sini." ucap Daniel yang kemudian duduk di kursi dekat meja.
"Tapi, kak---"
"Udah gue bilang, gue gak menerima penolakkan."
"Iya, tapi nanti pas mereka udah upacaranya, aku ke kelas, ya? Soalnya nanti ada ulangan harian."
"Iya."
Daniel memang baik, dia perhatian. Tapi sayangnya semua itu tertutup oleh sikapnya yang ketus dan arogan.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments