Mencari ketenangan, memanglah harus dilakukan. Aku dengan novelku kini berpindah ke taman belakang sekolah. Biasanya tempat ini sepi, tapi entah kenapa hari ini jadi banyak sekali orang yang berada disini. Entah itu untuk tidur, makan siang, ataupun berdandan. Bisa kucirikan orang-orang yang tidur dibawah pohon dengan alas rumput itu orang-orang yang membolos pelajaran terakhir tadi.
Kutusukkan sedotan pada susu kotak milikku lalu meminumnya setengah. Setelahnya aku kembali membaca novel. Tak akan aku sia-siakan suasana menenangkan dengan hembusan angin yang sesekali menamparku ini, rasanya aku tak ingin pergi dari sini.
"Wirda!" panggilan nyaring memekikkan telingaku. Suara yang sudah bisa aku pastikan jika itu suara Agatha.
"Wir, lo kok ngilang gitu aja sih?" kesal Agatha yang duduk di sampingku, namun tak kuindahkan kata-katanya.
"Wirda Citra Nadira!" panggil Agatha lagi, sekarang di sertai dengan tangannya yang merenggut novel di tanganku.
"Apaan sih, Tha?"
"Lo dengerin gue gak sih? Gue ngomong sama lo."
"Iya, ada apa?" tanyaku mulai melembut.
"Gak ada apa-apa sih." ucap Agatha sembari membenarkan posisi duduknya,"Tapi, kan harusnya lo bilang dulu kalo mau pergi, bukannya nyelonong aja kayak tadi."
"Iya, maaf." aku kembali merenggut novelku, dan kembali membukanya.
"Ihh, Wirda." Agatha kembali merenggut novelku, dan menjauhkannya dari diriku.
Jika terus seperti ini, maka Agatha tak akan pernah mengalah, dia akan terus merecoki diriku yang sedang membaca ini.
"Udah selesai ngomongnya?" tanyaku dengan rasa malas.
"Belumlah, orang dari tadi lo nya aja gak fokus sama gue."
"Yaudah, iya. Aku fokus nih."
"Tadi lo di panggil pak Ilan."
"Ngapain?"
"Balikkin buku."
"Kemana?"
"Menurut lo?" tanya Agatha sewot.
"Perpustakaan."
"Lo pinter kok lemot sih, Wir."
"Ya, maaf."
Aku mengambil kembali novelku yang ada di tangan Agatha, juga buku-buku pelajaran yang ada disampingku, yang sejak tadi aku abaikan. Lalu setelahnya beranjak pergi.
"Mau kemana?" tanya Agatha keherannya.
"Balikkin buku."
"Oh iya. Yaudah sana."
Aku hanya menurut saja, lagi pula tak ada baiknya juga jika harus berlama-lama dengan Agatha, menyebalkan. Setidaknya nanti di perpus aku bisa kembali membaca buku.
Aku berjalan menunduk menuju perpus. Semenjak kejadian kemarin bersama laki-laki bernama Daniel itu, aku jadi sering menjadi pusat perhatian banyak orang. Dan aku benci itu.
Setelah sampai aku langsung berbicara dengan penjaga perpus di sana, kemudian menaruh kembali buku-buku yang sudah kupinjam waktu itu.
"Hai." sapa seseorang yang berdiri di sampingku.
"Hai."
"Lo Wirda, kan?"
"Iya."
Laki-laki itu mengulurkan tangannya kearahku,"Gue Redgar, kelas 12 IPA 1."
"Wirda." balasku yang kembali menjabat tangannya.
"Nyari buku?"
"Eh, bukan kak."
"Balikkin?"
"Iya."
"Kalo gak salah, kemarin lo yang berantem sama Daniel di kantinkan?"
Oh, ayolah. Kenapa harus dia lagi yang di bahas?
"Kok tiba-tiba jadi banyak yang ngomongin aku sama kak Daniel, ya?" tanyaku keheranan. Jujur aku sudah mulai tak nyaman jika membahas makhluk yang satu itu.
"Lo bikin sekolah gempar. Sebelumnya Daniel selalu gak tertarik sama cewek. Tapi sama lo dia baik."
Baik apanya? Laki-laki dengan mulut ketus itu pantas di panggil baik? Ah, sepertinya kakak kelas di depanku ini sedang kurang sehat, atau mungkin lupa minum obat.
"Emang ketus termasuk baik, ya?" gumamku pada diri sendiri.
"Hah?"
"Gak jadi."
"Redgar." panggil seseorang yang berlari kearah kami.
"Ay."
"Kamu kemana aja sih? Dari tadi di cariin gak ketemu-ketemu." omel gadis itu.
"Ay, jangan berisik. Ini perpus."
"Ish."
Sejenak kami saling menatap, wajah yang tadinya terlihat kesal itu berubah menjadi terkejut saat melihatku. Ekspresinya seperti melihat makhluk gaib. Ah, lupakan.
"Lo Wirda, kan?" tanya gadis itu dengan antusiasnya.
Aku di buat bingung olehnya, tadi ia bersikap seakan terkejut melihat hantu. Sekarang ia antusias menatapku. Sikapnya aneh.
"Kenalin, gue Ayla. Kakak kelas lo, sekaligus pacarnya Redgar."
"Wirda."
"Gue tahu kok. Lo yang kemarin bikin heboh sekolah, kan?"
"Hah?"
"Lo cocok kok sama Daniel."
"Ay." panggil Redgar yang seakan sedang menegur gadis bernama Ayla itu.
"Kenapa? Aku salah?"
"Bukan itu."
"Yaudah, terserah aku dong. Wirda juga gak tersinggung kok. Iya kan, Wir?" tanyanya yang kemudian menatapku.
"I-iya kak." jawabku terbata. Bukan terbata, namun tak ikhlas rasanya mengatakan jika aku tak tersinggung dengan ucapannya.
"Yaudah, kalo gitu gue pergi ya, Wir. Maaf Ayla emang kayak gitu orangnya." ucap Redgar yang di sambut senyuman simpul dariku.
Aku menatap kepergian dua orang itu, perlahan mereka menghilang dari balik pintu. Namun pintu kembali terbuka, dan sekarang menampilkan dua makhluk yang akan membuatku pusing. Ya, siapa lagi jika bukan Renata dan Agatha. Mereka berjalan kearahku.
"Wir, ini ada titipan buat lo." ujar Renata yang kemudian menyodorkan sebatang cokelat kearahku.
"Buat aku?"
"Iyalah."
"Dari siapa?"
"Baca aja note nya."
Aku mulai membuka note yang ada di belakang cokelat itu. Namun nama pengirim yang tak aku harapkan malah tercetak di sana.
"Dari kak Daniel?"
"Iya."
"Kalian kok mau sih di suruh sama cowok itu?"
"Itu ada di meja lo."
Aku menatap Renata dan Agatha dengan intens, benar disana tidak ada kebohongan. Setelah itu aku mulai melangkah untuk mencari laki-laki ketus itu. Mungkin sekarang dia ada di kantin.
...***...
"Lo berdua pada tahu kagak?" tanya Albi dengan semangatnya.
"Apaan?" tanya Angga dengan mimik serius.
"Gosip yang gue bagiin kemarin jadi trending topik, bro."
"Astagfirullah, lo gak takut dosa, ya? Nyebarin gosip kayak gituan? Nyebut, Al." sarkas Angga.
"Santai boss, yang jadi bahan gosip aja gak sesewot lo. Iya gak, Niel? Iyalah pastinya." ucap Albi dengan bangganya.
Yang di tanya hanya diam, perlahan tapi pasti, dia tersenyum miring. Senyuman itu masih sulit di artikan oleh teman-temannya. Namun bisa di pastikan jika Daniel memang tidak masalah soal gosip itu.
"Niel, lo gak marah sih sama Albi yang udah ngegosipin lo?" tanya Angga dengan wajah terheran-heran.
"Yaaa, sebenernya sih bukan gue yang marah. Tapi mungkin bentar lagi ada."
"Kak Daniel!" panggil Wirda dengan lantangnya. Dan yang di panggil hanya tersenyum.
Wirda datang tepat waktu. Baru saja Daniel bicara tentangnya, dan sekarang orangnya sudah datang. Bisakah di katakan, panjang umur?
"Ini dia artis pendatang baru kita." sambut Albi dengan hebohnya kearah Wirda.
Wirda menatap sekilas Albi, juga Angga. Lalu fokusnya kembali pada Daniel. Ia menyodorkan kembali cokelat yang di berikan Daniel untuknya.
"Widih, sekarang tokoh utamanya ngasih cokelat guys." ucap Albi lagi. Dan kali ini mendapat tatapan horor dari Daniel.
Itu membuatnya diam.
"Maksud kak Daniel apa?" tanya Wirda dengan nada tinggi, bahkan dia mengundang banyak pasang mata yang menatap mereka sekarang.
"Cokelat?"
"Kalo aku tahu ini dari kak Daniel. Aku gak akan pernah mau nerimanya."
"Yaudah tinggal buang aja kali. Gampangkan?"
"Kak Daniel!"
"Apa?!"
"Cowok yang gantle itu, cowok yang mau mengakui kesalahannya dan minta maaf dengan tulus, bukannya ketus."
"Lah, gue kan udah minta maaf. Masih kurang?"
"Bukan masalah kurang atau nggaknya kak."
"Ya terus?"
"Jangan pernah minta maaf kalo kakak sendiri gak tahu dimana letak kesalahan kakak."
"Gausah nasehatin gue."
"Aku gak nasehatin kok, cuman ngasih tahu kak Daniel gimana caranya minta maaf dengan tulus."
"Tulus atau enggaknya, itu tergantung Pikiran lo sebagai penerimanya. Gue baik-baik aja kok, jadi gak usah ribet."
"Emang ya, kak Daniel itu cowok yang gak berperasaan."
Wirda menaruh kasar cokelat itu di atas meja. Lalu ia berjalan meninggalkan kantin dengan emosi yang masih memburu.
Benar saja, setelah ucapan Wirda tadi, Daniel jadi merenungkan dirinya yang selama ini selalu berbuat sesuka hatinya itu.
Dan sekarang benar apa adanya. Wirda memang bisa membawa pengaruh baik untuk perubahan Daniel. Mungkin Daniel akan sedikit berubah jika di nasehati oleh orang yang sama keras kepalanya seperti Wirda.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments