"Kakak itu masih kecil, tidak cocok jadi Ibuku. Lagipula tidak ada yang bisa menggantikan Mama." sahut Gio acuh tanpa melihat Fatimah yang kini sudah berdiri di depannya.
"Baiklah, kakak juga tidak mau jadi Ibumu. Bagaimana kalau kita jadi teman. Eh bukan, bagaimana kalau sahabat saja ?" ujar Fatimah yang seketika membuat Gio menatap padanya.
"Memang apa bedanya teman dan sahabat ?" tanya Gio penasaran, menurutnya itu hanya dua kata yang mempunyai arti sama.
"Kamu mau tahu ?" tanya Fatimah dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Gio hanya menganggukkan kepalanya tanpa mau menimpali. "Baiklah, ayo temani kakak makan dulu. Baru kakak kasih tahu." ujar Fatimah sambil berjalan ke kursinya kembali yang di ikuti oleh Gio di belakangnya.
Fatimah memperhatikan Gio yang makan dengan lahap, sepertinya bocah laki - laki itu sangat lapar tapi kenapa tadi dia langsung mau naik keatas dan tidak makan terlebih dahulu kalau memang lapar. Pikir Fatimah.
"Kenapa kamu begitu kurus, apa kamu tidak pernah makan ?" tanya Fatimah ketika mereka sudah menyelesaikan makannya.
"Bukan urusan kakak." sahut Gio ketus.
"Dari sudut pandang kakak sebagai perempuan, cowok kurus itu jelek, lemah dan tidak macho." tutur Fatimah lembut tapi penuh sindiran.
"Jadi aku jelek karena kurus." sahut Gio sinis.
"Bukan aku yang bilang ya."
"Tadi kakak bilang, cowok kurus jelek." ucap Gio tidak terima.
"Apa kakak boleh nanya ?" ujar Fatimah.
"Apa ?"
"Kamu kan orang kaya, koki disini juga masak sangat banyak tapi kenapa kamu bisa sangat kurus ?" tanya Fatimah penasaran.
"Aku tidak selera makan."
"Kenapa ?"
"Aku tidak bisa makan kalau sendirian."
"Baiklah kakak mengerti, mulai besok kakak akan menemani mu makan."
"Terserah, sekarang katakan apa beda teman dan sahabat ?" ujar Gio masih dengan sikap ketusnya.
"Baiklah kakak jelaskan. Teman itu orang yang tidak terlalu dekat dengan kita, bisa saja karena kita bertemu sekali atau dua kali dan hadirnya pun cuma sesaat. Kalau sahabat itu hadir setiap saat, merasakan suka duka bersama." ujar Fatimah dengan sabar, kebiasaannya menghadapi adik - adiknya di Panti asuhan menjadikan dirinya bersikap seperti sosok seorang ibu.
"Jadi kita menjadi sahabat atau teman ?" tanya Fatimah ketika melihat Gio bengong menatapnya, sepertinya bocah yang baru beranjak remaja itu mulai nyaman dengannya.
"Sahabat." celetuk Gio bibirnya sedikit tertarik keatas, kemudian ia beranjak dari duduknya dan berlalu meninggalkan Fatimah di meja makan.
"Gio, tunggu !!" Fatimah bergegas mengejar Gio yang sudah naik tangga duluan.
"Ada apa sih kak ?" tanya Gio kesal.
"Jadi kenapa kamu pulang malam ?" tanya Fatimah balik.
"Bukan urusan kakak."
"Tapi kita kan sahabat." desak Fatimah ia tidak mau menyerah.
"Aku bosan di rumah, sepi. Jadi untuk apa pulang cepat." sahut Gio masih terus menaiki anak tangga yang di ikuti oleh Fatimah dari belakang.
"Tapikan ada kakak yang menemanimu, mulai besok jangan pulang malam lagi ya." bujuk Fatimah dengan merendahkan suaranya.
"Iya - iya cerewet." seru Gio kemudian ia masuk ke dalam kamarnya.
Fatimah menyunggingkan senyumnya, kemudian ia berlalu ke kamarnya di lantai tiga. Menghadapi bocah yang keras kepala dan cuek seperti Gio, tidak perlu menggunakan kekerasan. Cukup sentuh hatinya dengan kelembutan dan perhatian pasti akan luluh, pikirnya.
Pak Mugi yang sedari tadi melihat interaksi Fatimah dan Gio, nampak menyunggingkan senyumnya. Baru kali ini Gio mau menanggapi perkataan orang lain dan terlihat banyak bicara. Semoga dengan kelembutan Fatimah bisa menjadikan keluarga ini hangat kembali seperti lima tahun yang lalu, pikir Pak Mugi.
Jarum Jam menunjukkan pukul sebelas malam, tuan Candra baru pulang ke rumahnya. "Ada kabar apa hari ini Pak Mugi ?" tanya tuan Candra sambil melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah.
"Nyonya makan malam bersama dengan den Gio tuan."
"Benarkah ?" tuan Candra mengerutkan dahinya nampak tidak percaya.
"Ini tuan, saya merekamnya." pak Mugi menyerahkan ponselnya pada tuannya.
Senyum tersungging di bibir tuan Candra ketika melihat isi rekaman tersebut. "Kerja bagus." ucap tuan Candra kemudian berlalu pergi ke kamarnya.
Setelah membersihkan dirinya, tuan Candra keluar dari kamarnya. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar Fatimah, setelah beberapa kali mengetuk nampak Fatimah membukakan pintunya dan mempersilahkan suaminya itu untuk masuk ke dalam.
Glenn yang baru menginjakkan kakinya di lantai tiga, ia melihat ayahnya masuk ke dalam kamar Fatimah. Entah kenapa ia merasa sangat kesal hingga ia membanting pintu kamarnya dengan keras.
"Shit, aku bisa gila kalau melihat mereka bersama." gerutu Glenn, ia mengambil sebotol wine dari lemari kaca yang ada di sudut kamarnya.
Ia beberapa kali menengguk minuman tersebut langsung dari botolnya. "Kenapa harus dia Pa ?" rancau Glenn setengah mabuk.
Sedangkan di kamar Fatimah, tuan Candra sedang duduk di sofa yang berada di kamar tersebut.
"Terima kasih ya, sudah memperhatikan Gio." ucap tuan Candra membuka pembicaraan.
"Tidak apa - apa Pak, Gio sudah saya anggap seperti adik saya sendiri." sahut Fatimah.
"Bersabarlah dengan mereka, terutama Jessica. Sejak Ibunya meninggal mereka menjadi anak yang tertutup, Saya sebagai ayahnya tidak bisa banyak memberikan perhatian karena kesibukan saya di kantor." tutur tuan Candra.
"Saya mengerti Pak." ucap Fatimah dengan senyum tersungging di bibirnya hingga menampakkan kedua lesung pipitnya.
Tuan Candra nampak tertegun menatap Fatimah. "Kamu mirip sekali dengan ibumu."
"Sepertinya anda sangat mengenal ibu saya." ujar Fatimah penasaran, karena selama ini laki - laki yang duduk di depannya itu sedikitpun tidak pernah membicarakan ibunya.
Fatimah sendiripun tidak pernah tahu di mana keluarga ibunya, yang dia ingat dulu ibunya seorang wanita pekerja keras sebelum beliau meninggal. Bahkan siapa dan di mana Ayahnya pun Fatimah tidak pernah tahu karena ibunya tidak pernah memberitahunya.
"Tentu saja, kami bertiga dulu kuliah di tempat yang sama." ucap tuan Candra lolos begitu saja dari bibirnya, pandangannya kosong. Ia sepertinya sedang mengingat kejadian berpuluh puluh tahun lalu.
"Bertiga ?" tanya Fatimah tidak mengerti.
"Eh, maksudnya saya dan ibumu adalah teman kuliah dulu. Waktu itu saya lulus duluan dan melanjutkan pendidikan di luar negeri. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan Ibumu." ujar Tuan Candra mencoba menjelaskan pada Fatimah.
"Jadi anda tidak mengenal siapa ayah saya ?" tanya Fatimah lagi.
"Tentu saja tidak, sejak kuliah dan menikah saya menetap di luar negeri. Di rumah sakit itu dulu adalah pertemuan pertama saya dengan Ibumu setelah kami berpisah sebelumnya."
"Iya tidak apa - apa Pak, maaf saya sudah banyak bertanya." ucap Fatimah.
"Maafkan aku Fatimah, belum saatnya kamu mengetahui semuanya." batin tuan Candra dalam hati.
"Sekarang istirahat lah, sudah malam !!" perintah tuan Candra lalu ia beranjak dari duduknya dan berlalu keluar dari kamar Fatimah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
*Lya*
masih ku pantau 😎
2023-04-08
0
Miss Typo
masih penuh dgn misteri dan teka teki
2023-03-03
0
Inaqn Sofie
mungkin ibunya fartmah adalah mntn pak candra mungkin...
2022-08-13
0