AXIJIM : Sang Pangeran Yang Hilang

AXIJIM : Sang Pangeran Yang Hilang

Axijim

Matahari bersinar cerah, menyinari bumi permai. Awan-awan berarak rapi di ujung langit membiru. Burung-burung ikut bernyanyi, sembari menari mengikuti irama angin yang berhembus. Dunia yang indah dipenuhi pepohonan yang menghijau, dengan pantai yang menampilkan deburan ombak yang memukau. Disinilah seorang anak bernama Axijim tinggal, bersama kedua orang tuanya dan seorang adiknya, mereka hidup sederhana dan bahagia. Di desa yang damai dan indah, ia hidup menjalani hari di sana.

**

Dulu, Axijim sering mengalami sakit demam yang tinggi. Ibunya bersusah payah mengantarkannya ke tabib. Lokasi tabib tersebut lumayan jauh dari rumahnya.

Ibu Axijim mengetuk pintu sambil berkata, "Salam,"

Tabib membuka pintu dengan senyuman ramah. "Salam kembali, Bu Axijim. Mari masuk!"

Ibu Axijim pun masuk dan duduk di kursi. Tabib kemudian duduk kembali di kursinya.

"Baik, ada apa Ibu Axijim?"

"Bu Tabib, kira-kira Axijim menderita penyakit apa? Tolong periksa dia. Sepertinya dia sesak napas," kata Cassi sambil menggendong Axijim.

"Baiklah, saya periksa dulu." Tabib kemudian memeriksa tubuh Axijim. Setelah itu, dia berkata, "Bu, Axijim mengalami gangguan pernapasan dan demam tinggi. Dia harus selalu dirawat dengan baik. Saya berikan beberapa ramuan alami untuk Ibu berikan padanya. Jika terjadi sesuatu, segera laporkan kepada saya," jelas tabib perempuan itu.

Baiklah, Bu Tabib, jawab ibu Axijim. Apakah Axijim bisa sembuh sepenuhnya? tanyanya dengan penuh harap.

"Tentu saja bisa, Bu," jawab Bu Tabib dengan penuh keyakinan. "Namun, memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pemulihannya. Tetaplah rutin memeriksakan Axijim ke sini, dan ikuti semua saran yang saya berikan," saran Bu Tabib.

(Ketika Axijim merasa sakit, ia pasti akan menangis dan berteriak sejadi-jadinya.)

"Baiklah, Bu Tabib. Terima kasih banyak atas ramuan obat dan sarannya. Saya pamit pulang dulu. Salam,"

"Sama-sama, salam kembali. Hati-hatilah di jalan," ucap bu tabib.

(Dalam perjalanan pulang) "Syukurlah, Axijim tidak separah yang aku kira, dia masih bisa disembuhkan," gumam Cassi.

**

Sesampai di rumah, Cassi memberitahukan hal ini kepada ayah Axijim.

Cassi berkata, "Suamiku, kata tabib, anak kita menderita gangguan pernapasan dan demam tinggi. Kita harus selalu merawatnya dengan baik."

Cepheus bertanya dengan agak panik, "Hah? Apa? Benarkah itu? Lalu, apakah tabib memberikan sesuatu atau menyarankan sesuatu?"

Cassi menjawab, "Tenang, suamiku. Kau tak perlu panik. Tabib memberikan ramuan obat padaku."

Cepheus pun lega. "Syukurlah," katanya.

Cassi melanjutkan, "Jika terjadi apa-apa pada Axijim, kita harus segera memberitahukannya kepada tabib."

Cepheus menjawab, "Tentu, istriku. Aku lega mendengarnya."

**

Dalam masa perawatan, ibunya secara rutin memberikan ramuan obat pada Axijim.

Syukurlah, akhirnya sekarang Axijim telah sembuh dari sakitnya. Selama kurang lebih setahun lamanya ia menderita sakit berkepanjangan.

Untuk memastikan kesehatan Axijim, Cassiopeia kembali pergi ke tabib untuk memeriksa kondisi terkini anaknya.

Tok tok tok. (mengetuk pintu yang sudah terbuka) "Salam."

**"Salam kembali. Silahkan masuk.

Mengetuk pintu meskipun sudah terbuka merupakan adab bertamu di desa Axijim.

"Permisi."**

"Silahkan. Wah, ternyata ibu Axijim. Ada apa, bu?"

"Begini, bu tabib. Saya ingin memeriksakan Axijim. Bagaimana ya keadaannya sekarang?" tanya Cassi.

"Baiklah, saya akan memeriksanya." (tabib memeriksa).

Kemudian, tabib itu berkata, membuat Cassi sedikit terkejut, "Syukurlah, selamat Bu, Axijim sudah sembuh," ucap bu tabib.

"Apa? Benarkah itu, bu tabib?"

"Iya, itu benar. Axijim sudah pulih."

"Syukurlah. Aku sangat senang mendengarnya," ucap Cassi bersyukur.

"Tapi ingat, kau harus selalu merawatnya dengan baik."

"Baik, bu tabib. Tentunya saya akan merawatnya dengan baik."

**"Terima kasih banyak, bu tabib, atas informasinya. Saya sangat senang mendengarnya.

Apakah ada ramuan lagi yang harus diberikan pada Axijim?" lanjut Cassi.**

**"Sama-sama, bu. Saya juga senang mengetahuinya.

Tidak ada ramuan yang harus diberikan lagi pada Axijim. Jika ramuan yang kemarin masih ada, cukup itu saja yang diberikan pada Axijim hingga habis."**

**"Baiklah, bu tabib. Terima kasih.

Ini, ada beberapa koin emas untuk jasa Anda. Terimalah!" (menyodorkan kantong berisi beberapa koin emas).**

"Benarkah? Ini untuk Saya?"

"Benar. Tolong terimalah!"

"Baiklah, terimakasih banyak atas kebaikan Anda, bu Axij" (Tersenyum).

"Aku yang seharusnya berterimakasih padamu" (juga tersenyum).

"Baiklah, aku pamit pulang dahulu ya, salam."

"Ya silahkan, salam kembali, hati-hati di jalan".

"Iya."

Ini adalah kebiasaan di desa Axijim, para tabib di sana tidak meminta imbalan atas jasanya, tapi jika ada yang memberi mereka imbalan mereka akan menerimanya dengan senang hati, itulah tradisi yang ada disana.

**

Angin berhembus sejuk, sepoi-sepoi. Pohon-pohon kelapa menari dengan riang, diiringi alunan ombak yang menyapa tepi pantai. Pasir putih bersih menjadi alas kaki, saat seorang anak melontarkan kata-kata yang tak terduga dari bibir mungilnya.

Di dekat pantai, terdengar bunyi pedang-pedangan kayu milik Axijim yang saling beradu. Di tengah permainannya bersama sang ayah, tanpa aba-aba, Axijim berkata,

“Ayah, Ayah! Saat aku dewasa nanti, aku ingin menjadi penegak perdamaian dan keadilan di muka bumi ini,” ungkap Axijim dengan penuh semangat.

Saat itu, Axijim baru berusia sekitar 5 tahun.

Ayahnya tercengang mendengarnya. Ia bertanya dalam hati, “Bagaimana bisa anak seusianya memikirkan hal seperti itu?”

Sang ayah terkagum mendengar ucapan anaknya yang tidak terduga itu. "Bagus, anakku," ujarnya dengan perasaan kagum dan gembira.

"Jika kau besar nanti, jadilah seperti apa yang kau inginkan saat ini. Janganlah kau terlena dengan dunia, hingga kau lupa dengan kata-katamu itu," Cepheus, ayah Axijim, melanjutkan nasihatnya.

"Baiklah, Ayahku," jawab Axijim.

"Maukah kau tahu, nak, bahwa aku, ayahmu, sangat senang mendengar ucapanmu itu?" tanya sang ayah sambil memeluk anaknya. Air mata haru menetes di pipinya tanpa sepengetahuan sang anak.

Axijim telah mengungkapkan sesuatu yang sungguh luar biasa.

Sang ayah pun memberikan nasihat yang sangat berarti, yang akan selalu dikenang oleh Axijim. Nasihat emas itu menjadi motivasi diri bagi jiwa Axijim, kapan pun dan di mana pun.

Hari ini tidak akan pernah terlupakan dalam benak dan pikiran Axijim. Hari yang sangat bersejarah baginya.

**

Mentari mulai tergelincir ke ufuk barat, menandakan sore telah menjelang. Axijim dan sang ayah mengakhiri permainan pedang-pedangan mereka di tebing yang menjulang tinggi di atas tanah lapang, menghadap ke pantai yang indah dan memesona. Perasaan haru bercampur bahagia dan gembira menyelimuti hati mereka.

"Ayo, Nak. Hari sudah sore. Kita pulang. Ibu dan adik pasti sudah menunggu."

"Baiklah, Ayah."

Ayah dan Axijim pun berjalan pulang. Setibanya di rumah, mereka disambut dengan senyuman hangat oleh ibu dan adiknya yang sudah menunggu dengan sabar di depan pintu.

Salam, bu, dek. Selamat sore. Kami sudah sampai di rumah,” ucap Axijim.

“Selamat sore, Cassi,” ujar ayah pada istrinya, Cassiopeia.

“Sore semua,” jawab sang ibu dan adiknya.

“Ayo, kita bersiap untuk makan malam bersama. Ibu dan adikmu sudah menyiapkan makanan untuk kalian berdua,” lanjut Cassi.

“Benarkah? Terima kasih, ibu. Adek juga, makasih ya,” ungkap Axijim.

“Terima kasih ya, istriku,” ujar ayah dengan penuh kasih sayang.

(Ayah menghampiri Andromeda), “Terima kasih ya, Andromeda. Kau memang putri ayah yang rajin,” sambil mengusap kepala Meda, panggilan untuk Andromeda.

“Bagaimana dengan saya, Yah?” tanya Axijim dengan sedikit kecewa.

“Hey, kamu juga ya, anakku, Axijim,” sambil mengelus kepala anaknya sambil sedikit tertawa.

Mereka semua masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan.

Makan malam bersama pun dilaksanakan. Axijim membentangkan tikar sederhana, sedangkan Meda dan ibu menyiapkan makanan untuk dihidangkan di tikar tadi. Ayah hanya diam menanti saja, menunggu semuanya siap.

“Yeah, sudah siap, mari kita makan!” ucap Axijim bersemangat.

“Ayo!” lanjut Meda.

“Syukur atas semuanya, mari kita makan!” ayah meneruskan.

“Mari!” ibu juga meneruskan.

Mereka semua makan dengan lahapnya.

“Emm, enaknya,” puji Axijim.

Tidak ada makanan yang tersisa di atas tikar. Semuanya habis, ludes, tanpa bekas. Sepertinya mereka sangat lapar malam itu.

**

Sekilas tentang masa depan Axijim

Seiring waktu, Axijim tumbuh semakin besar. Ia semakin sering berlatih pedang bersama ayahnya. Kali ini berbeda, Axijim menggunakan pedang sungguhan, pemberian ayahnya. Ia tidak lagi bermain-main, melainkan berlatih dengan sungguh-sungguh. Dengan tekad kuat, Axijim bertekad untuk mewujudkan keinginannya. Selain berlatih pedang, Axijim juga sering berlatih panahan bersama ayahnya. Axijim juga sering menemani ayahnya berburu di padang rumput.

Terpopuler

Comments

HELION

HELION

ceritanya bagus kak

2022-05-19

2

Nikodemus Yudho Sulistyo

Nikodemus Yudho Sulistyo

mampir nih. salam dari PENDEKAR TOPENG SERIBU.

2020-12-31

3

🌺Febby _pertiwie🌼

🌺Febby _pertiwie🌼

aku mampir jangan lupa mampir karya aku yan

semangat author 😊 💪💪

2020-12-30

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!