Interaksi Singkat

Keesokan paginya, pagi-pagi sekali Cakra sudah nongkrong saja di pos bersama pak Ujang. Keduanya terlihat mengobrol seru entah sedang membahas apa. Kelihatannya Cakra sudah merasa nyaman berbicara dengan pria setengah baya itu.

"Oh, jadi nak Cakra teh pernah tinggal di Bandung, ya." ucap pak Ujang setelah Cakra berbicara panjang lebar mengenai masa kecilnya.

"Iya, pak. Kalo dulu gak pindah, mungkin sampai sekarang saya masih jadi orang Bandung." jawab Cakra.

"Terus bapak sama ibu gimana kabarnya?"

"Mereka sehat, cuman ya gitu, pada sibuk." jelas Cakra tak minat.

Pak Ujang manggut-manggut saja, tak ingin bertanya lebih jauh.

Obrolan mereka pun harus terhenti karena kedatangan sang pemilik vila, siapa lagi kalau bukan Demian. "gue kira lu pulang," ucapnya seraya duduk di kursi yang tersedia, lalu memangku handphone dan memainkannya.

"Napa? Takut lu gue tinggalin?"

"Dih, najis amat. Yang ada gue seneng banget kalo lu pulang, berarti gue juga bisa pulang. Kangen banget gue ngamar sama Sinta." sontak Cakra menonjok bahu Demian karena ucapan frontal nya itu. Masalahnya disana ada pak Ujang juga yang senantiasa memperhatikan.

"Maaf, pak. Demian kadang-kadang otaknya emang suka miring." Cakra meringis pada pak Ujang, sedangkan Demian malah terkekeh tak merasa malu.

Pak Ujang pun sama-sama meringis. Sudah tidak aneh dengan pergaulan orang-orang kota. Apalagi dulu ia juga pernah pernah merantau ke Jakarta dan sering sekali melihat remaja-remaja yang dimana pergaulannya terlalu bebas.

Kemunculan sebuah motor reflek mengalihkan perhatian ketiganya. Pak Ujang yang sudah terbiasa menyambut, langsung bergerak keluar dari pos.

"Assalamualaikum, pak." ucap Hanum setelah melihat kepergian tukang ojek yang mengantarnya.

Pak Ujang segera membuka gerbang, "Wa'alaikumsalam, neng. Ayo masuk." yang di angguki oleh Hanum lalu menyalimi tangannya dulu.

"Hola! Selamat pagi, Hanum." sapa Demian lebih dulu dengan senyum sumringah nya. Segar sekali pagi-pagi melihat perempuan cantik.

Hanum mengangguk tipis dengan senyuman manis yang senantiasa tercetak. "pagi Iyan," balasnya. Lantas Hanum menatap Cakra yang hanya diam memperhatikannya. "Pagi, Cakra," sapanya kikuk.

Bagaimana tidak kikuk jika ditatap begitu intens oleh pria tampan? Hanum juga hanya seorang gadis biasa yang pasti akan salah tingkah jika diperhatikan seperti itu.

"Hm," Cakra hanya berdeham sebagai jawaban. Membuat Hanum spontan menggigit bibirnya. Irit amat, pikirnya.

"Dih, sok cool banget." ledek Demian, dan Cakra hanya memutar bola matanya, bodoamat.

"Yuk, gue bantuin masuk ke dalam?" tawar Demian.

Hanum langsung menggeleng cepat, "gak usah, saya bisa sendiri kok." tolaknya.

"Oh, ya udah, selamat bekerja ya. Hati-hati jangan kecapean." pesan Demian yang di angguki Hanum dengan gugup.

Cakra sendiri mendelik mendengar ucapan sahabatnya ini yang sok perhatian. "Buaya," gumam nya.

Hanum segera berpamitan karena harus mulai bekerja. Juga untuk mengindari kedua pria itu. Jantungnya sudah tidak aman, padahal masih pagi.

Setelah kepergian Hanum, Cakra dan Demian serta pak Ujang kembali ke pos.

"Bentar, gue mau ke toilet dulu." ucap Cakra sebelum duduk kembali. Tanpa menunggu respon, Cakra langsung ngacir begitu saja meninggalkan pak Ujang dan Demian yang belum sempat merespon.

"Padahal di sini juga ada toilet," ucap pak Ujang yang baru disadari oleh Demian kalau di belakangnya memang ada toilet khusus tamu.

Hanum baru sampai ke ruang tamu, saat tiba-tiba Cakra sudah berdiri di sampingnya. "Gue bantuin?" tawarnya langsung.

"Ah, enggak usah kak, lagian sebentar lagi sampai ke sofa, kok." tolaknya.

Cakra mengangguk, "ya udah," jawabnya. Tapi kemudian ia pun tetap saja membantu Hanum saat melihat gadis itu kesusahan ketika akan duduk. Cakra mengambil satu persatu kruk Hanum, dan membantunya duduk dengan hati-hati.

"Makasih ya." ucap Hanum tulus dengan senyuman tipisnya dan dijawab deheman oleh Cakra.

Cakra pun ikut duduk di samping Hanum dengan memberi jarak setengah meter.

Hal itu sontak membuat Hanum gugup, dia kira Cakra akan segera pergi setelah membantunya.

"Kenapa? Kok tegang banget keknya?" tanya Cakra saat menyadari tubuh Hanum terlihat kaku.

"Kamu- gak pergi?" tanya Hanum hati-hati.

"Lu ngusir gue?" Cakra balik bertanya dengan nada seperti kesal, padahal sebenarnya ia tahu Hanum sedang gugup.

"Eh enggak, bukan itu maksudnya," sela Hanum cepat, takut Cakra salah paham. "Maksud sa-saya, kamu gak ada kegiatan gitu?-"

"Gak ada," potong Cakra, "gue kesini mau healing, jadi gak ada kegiatan apapun."

"Oh- gitu," Hanum bingung harus berkata apa lagi.

Untung saja kemunculan Bu Ningsih menyelamatkan Hanum dari suasana akward ini.

"Hanum, kirain belum datang," ujar Bu Ningsih seraya duduk di sampingnya. "Nak Cakra?" herannya saat melihat Cakra ada di sini juga, padahal jam segini biasanya pemuda ini masih tidur, sama dengan tuan mudanya.

Cakra mengangguk, "pagi, Bi," sapanya singkat.

"Ah, iya, pagi nak. Aden dimana? Tumbenan udah bangun?"

"Demian lagi di pos, Bi. Saya lagi pengen bangun pagi aja," jawabnya seraya melirik Hanum spontan.

Bu Ningsih pun mengangguk, "mau kopi atau teh? Biar bibi buatin, " tawarnya.

"Gak usah, Bi. Saya gak ngopi, teh juga saya gak suka."

"Terus mau bibi buatin apa?"

"Gak usah bi gapapa, gak perlu repot-repot." tolaknya lagi.

Bu Ningsih pun mengiyakan saja. Setelahnya dia undur diri untuk kembali ke dapur. Hanum sendiri akan menyusul karena tidak enak jika harus meninggalkan Cakra begitu saja.

"Saya mau kerja." beritahu nya.

"Emangnya kamu kerjanya apa?" tanya Cakra yang bertanya-tanya, dalam kondisi seperti ini apa yang bisa dikerjakan oleh Hanum?

Hanum tak langsung menjawab, hanya menatap Cakra penuh pertimbangan. "Cuman nyapu, ngepel sama lap perabotan. Itu pun yang di lantai bawah aja, yang lantai atas Bu Ningsih yang ngerjain. Kadang juga bantuin masak kalo lagi ada tamu."

Mendengar jawaban Hanum membuat Cakra terdiam. Nyapu? Ngepel? Gimana cara mengerjakannya kalau untuk jalan saja harus dibantu pakai kruk?

Terkadang Cakra merasa kasihan melihat Hanum, tapi Hanum sepertinya bukan gadis menye-menye yang suka mengeluh, jadi tidak pantas sekali untuk di kasihani.

"Emang gak ada pembantu lain gitu yang bisa bantuin bersih-bersih? Gak mungkin kan kalo orang tuanya Demian gak mampu bayar buat ambil pembantu baru?"

Ucapan Cakra membuat Hanum tercenung. Bukan karena soal kekurangan pembantu yang barusan di katakan, tapi karena kata pembantu sendiri yang membuat Hanum tersadar.

Iya, dirinya hanya seorang pembantu. Dan bisa-bisanya dulu ia sempat memiliki rasa pada Demian- yang notebene nya adalah majikannya, dan sempat membayangkan ia menikah dengan pria itu.

Melihat Hanum yang tiba-tiba terdiam, membuat Cakra bertanya-tanya. Apa ada yang salah dengan ucapannya?

"Lu gapapa?" tanyanya hati-hati, namun Hanum masih diam.

"Hei! Lu gapapa kan?" tanyanya lagi sedikit menaikkan suaranya seraya melambaikan satu tangannya tepat di hadapan wajah Hanum.

Sontak Hanum terkejut, "maaf, maaf, saya gapapa kok." jawabnya memaksakan senyum.

Cakra melihat perubahan di ekspresi Hanum. Dan ia yakin pasti ada yang salah dengan ucapannya. "Gue ada salah ngomong?"

"Hah? Enggak ada kok," Hanum menggeleng cepat.

"Beneran?-"

"Kalo gitu saya mau beres-beres dulu ya. Maaf saya tinggal dulu." Hanum dengan susah payah segera berdiri, memotong ucapan Cakra.

Melihat itu Cakra langsung membantunya. Hanum mengucapkan terimakasih dan berlalu meninggalkan Cakra yang tercenung melihat kepergiannya. "Kok gue ngerasa bersalah gini ya? Tapi gue salah apa?" pikirnya kebingungan sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!