Amarah Arya

Sore harinya, keadaan apartemen sudah bersih kembali. Hanum sudah merapihkan pakaiannya ke lemari yang ditunjuk pria itu, juga pakaian Cakra di lemari yang bersebelahan.

Dan sekarang Hanum hanya terdiam di kamarnya- lebih tepatnya kamar mereka berdua. Hanum rasanya masih seperti mimpi, tiba-tiba saja ia sudah menikah dan menjadi istri dari seorang Cakra yang bahkan belum lama sekali ia kenali.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Cakra muncul dengan membawa sebuah paper bag- sepertinya makanan yang Cakra pesan beberapa saat lalu.

Cakra meletakkan paper bag itu di meja, kemudian membantu Hanum untuk pindah ke sofa. "Makasih,"

Cakra mengangguk tersenyum, "Tunggu bentar ya, aku ambil piring dulu sama sendok."

"Tapi-" belum sempat Hanum menyela, Cakra sudah pergi begitu saja.

Hanum tercenung. Belum apa-apa, rasanya ia seperti tidak berguna saja sebagai seorang istri. Ia hanya diam sedari tadi, sedangkan Cakra bergerak kesana-kemari tak membiarkannya melakukan apapun.

Tak lama Cakra kembali lagi dan bersiap memindahkan makanan itu ke piring.

"Biar aku aja, sini." Hanum segera merebut kotak makan berlogo restoran terkenal itu ditangan Cakra, kemudian dengan telaten memindahkan isinya ke piring.

Cakra tersenyum melihatnya, dan membiarkan saja istrinya mengambil alih.

Setelah kedua makanan itu tersaji, kemudian mereka pun segera memakannya dengan begitu lahap. Terutama Hanum, karena saat di rumah Pak Hadi, ia hanya makan sedikit saja karena rasa sungkannya.

"Pelan-pelan aja, nanti tersedak."

"Uhuk!" tuh kan.

Cakra merutuki dirinya sendiri, kenapa ia sampai lupa membawakan air minum.

Pria itu reflek segera berlari ke luar kamar dan kembali lagi dengan membawa segelas air putih. "Minum dulu." Cakra membantu meminumkannya dengan raut khawatir, yang langsung di teguk oleh Hanum.

"Makasih," ucap Hanum seraya berdeham, karena tenggorokannya masih terasa sedikit seret.

"Pelan-pelan makannya, gak akan aku ambil kok." ucap Cakra membuat wajah Hanum bersemu malu.

Melihat itu, jelas membuat Cakra jadi tersenyum juga. "Sini, biar aku suapin aja." lantas Cakra mengangkat piring Hanum dan bersiap menyuapi istrinya ini.

"E-enggak usah! Aku sendiri aja." Hanum berusaha merebut piringnya, tapi Cakra sudah mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Jangan bantah sama suami. Nurut aja, buka mulutnya, aaaaa.." Cakra menyodorkan sesendok makanan itu tepat di depan mulut Hanum.

Sedangkan Hanum masih mengatupkan bibirnya, menatap Cakra malu-malu.

"Kok diem, ayo buka mulutnya." Cakra menggoyangkan sendok itu menggoda Hanum.

Hanum menggigit bibir berusaha menahan senyum, lantas dengan malu ia membuka mulutnya, menerima suapan itu.

"Pinter ... Lagi?" tawar Cakra.

Hanum menunduk, lantas mengangguk dengan ekspresi tersipu.

Cakra terkekeh, ia baru menyadari, ternyata istrinya ini sangat menggemaskan kalau sedang malu-malu seperti sekarang ini. Bolehkah Cakra kokop istrinya sekarang?

Lalu mereka pun lanjut makan dengan Hanum yang terus Cakra suapi sampai makanan mereka habis.

Setelah selesai, Cakra membersihkan semuanya. Hanum ingin mencuci piring bekasnya, tapi Cakra melarang. Hanum untuk hari ini cukup diam saja, katanya.

Untuk besok, mungkin dengan terpaksa Cakra memperbolehkan Hanum melakukan pekerjaan rumah seperti yang biasa gadis itu lakukan.

Keesokan harinya, bel tiba-tiba berbunyi saat Cakra bersiap untuk pergi kuliah.

Ya, Cakra statusnya masih mahasiswa, dan baru akan mengejar gelar S1. Selama di Bandung, tugas-tugas kuliah ia kerjakan disana bersama Demian melalui zoom- karena mereka satu fakultas, yaitu bisnis dan manajemen.

Tentunya atas bantuan ayahnya Demian ia bisa bebas mengerjakan tugas kuliah dimana-mana, karena Pak Hadi adalah pemilik universitas itu.

Hanum yang sedang sarapan menatap suaminya bertanya, dan Cakra yang tengah bersiap-siap itu pun menggeleng karena memang tidak tahu. Tidak ada janji juga dengan siapapun.

Lantas Cakra segera menuju pintu, kemudian membukanya. Dan saat itulah tiba-tiba sebuah Bogeman langsung mendarat di pipi kirinya.

Cakra terjengkang karena tidak ada persiapan. Kemudian seseorang itu menarik kerah depan kemejanya membuat setengah badannya terangkat.

Lagi, Bogeman itu mendarat kembali di pipinya beberapa kali, membuat darah keluar dari sudut bibir Cakra.

Hanum yang masih ditempat pun berteriak karena terkejut, juga takut melihat suaminya tiba-tiba di pukuli.

Pria yang sudah memberikan Bogeman mentah itu melirik sekilas pada Hanum dengan tatapan tajamnya, kemudian menatap kembali pada anak muda di hadapannya yang tak lain adalah putranya.

Ya, orang ini adalah Arya Wiguna Haristanto, papa Cakra. Makanya Cakra tak melawan saat tiba-tiba orang ini menyerangnya.

"Anak durhaka." geram Arya.

Arya sudah tahu semuanya, mengenai Cakra yang ternyata kabur ke Bandung atas bantuan Hadi- yang entah masih ia anggap sebagai sahabatnya atau tidak sekarang, dan juga menikah di sana tanpa seijinnya.

"Berani-beraninya kamu menikah tanpa ijin dari saya!? Hah!? Memangnya kamu siapa tanpa saya, Cakrawala!?" emosinya ia lepaskan. Jelas saja, emosi yang sejak semalam ia tahan akhirnya meledak juga sekarang. Dan sasarannya jelas adalah putranya ini yang menjadi biang masalahnya.

Cakra tak merespon, apalagi menatap papanya. Ia hanya pasrah saja jika papanya memukulinya kembali.

"Jawab sialan!!!" teriak Arya murka, lalu kembali memukuli putranya dengan membabi buta.

"Aaaa stooopp!!" Hanum berteriak ketakutan, ia sudah menangis karena takut terjadi apa-apa pada suaminya itu.

Mendengar teriakkan Hanum, Cakra sontak tersadar dan langsung memberontak melepaskan diri dari serangan papanya.

Lantas Cakra berlari menghampiri Hanum dan memeluk gadis itu dengan erat untuk menenangkannya yang langsung dibalas Hanum sama eratnya.

"Gapapa, jangan nangis. Aku gapapa kok." bisik Cakra seraya mengusap-usap kepala istrinya.

"Wah. Tidak saya sangka, ternyata sekarang saya sudah menjadi ayah mertua." ucapan Arya memancing perhatian keduanya. Terutama Hanum. Jadi pria itu adalah ayah mertuanya? Yang berarti papanya Cakra?

"Tidak ingin berkenalan dengan saya, menantu?" tanya Arya menatap Hanum dengan sorot tak ramah walaupun senyuman terukir di bibir pria tua itu.

"Sudah, pa. Disini aku yang salah, jangan mengintimidasi istri aku." pinta Cakra berusaha menghalang-halangi pandangan Hanum agar tidak semakin ketakutan ditatap papanya.

"Oh, sadar juga ternyata?" Arya bersikap tenang, kini ia sudah berdiri di dekat keduanya.

Cakra semakin memeluk istrinya erat, ia tidak ingin jika sampai papanya menyentuh istrinya walau hanya sedikit.

Arya menatap keduanya dengan dada yang tiba-tiba naik turun, emosinya kembali naik saat secara langsung ia melihat kaki perempuan ini yang ternyata memang benar cacat?

"Sialan kamu Cakra! Apa yang ada dipikiran kamu sampai-sampai mau menikahi perempuan cacat seperti dia!!!?" teriak Arya seraya menarik putranya dan mendorongnya begitu saja membuat Cakra terkapar di lantai.

"Apa yang ada di otakmu itu hah!!? Papa berusaha mencarikan kamu perempuan yang baik, pintar, sempurna dan derajatnya setara dengan kita! Tapi kamu- kamu malah memilih menikahi perempuan buntung seperti dia!!? Apa kamu sadar Cakra? Apa kamu sadar!!?" teriaknya menunjuk-nunjuk Hanum dengan tatapan bengisnya.

"Pa!!" teriak Cakra seraya berusaha bangkit. Ia tidak terima istrinya di kata-katai seperti itu, apalagi oleh papanya sendiri. "Dia istri Cakra, Pa! Papa gak berhak bicara kayak gitu!!"

"Papa berhak!! Karena ini menyangkut reputasi keluarga kita! Apa jadinya jika semua rekan bisnis papa tahu, keluarga Haristanto yang dikenal sempurna ternyata memiliki menantu cacat seperti dia yang asal usulnya saja tidak tahu darimana!?"

"Berhenti!!" teriak Cakra menatap penuh emosi. Cakra tidak peduli jika yang ia teriaki adalah papanya sendiri.

Karena ini sudah menyangkut dengan istrinya, maka ia harus melawan.

"Kalo papa masih terus aja berkata yang buruk-buruk soal istri aku. Aku gak akan segan-segan keluar dari keluarga papa!"

"Berani kamu mengancam Papa, Cakra!?"

"Aku serius!!" teriak Cakra.

Arya berusaha menahan emosinya. Ia menatap putranya masih sama tajamnya, kemudian beralih melirik Hanum yang menangis sesenggukan dengan wajah tertunduk.

Sialan!

"Oke." ucap Arya. "Tapi kamu ingat baik-baik kata-kata papa ini Cakra. Sampai kapanpun, papa tidak akan pernah sudi menerima perempuan ini sebagai menantu di keluarga Haristanto! Papa tetap akan menjodohkan kamu dengan perempuan pilihan papa! Camkan itu!"

Deg! Hanum tercenung.

"Pa!!"

Arya tak mengindahkan teriakan putranya, dan berlalu begitu saja membawa emosi yang masih bersarang di dadanya. Diikuti oleh beberapa orang bawahannya yang sedari tadi hanya diam menunggu instruksi.

Cakra menatap tajam kepergian papanya. Kemudian perhatiannya teralih saat mendengar isakan Hanum. Cakra segera mendekati istrinya lalu memeluknya erat.

"Jangan dengarkan ucapan papa. Papa hanya sedang emosi." ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Sakit sekali rasanya melihat Hanum menangis tersedu-sedu akibat omongan tajam papanya yang begitu menusuk.

Hanum tak merespon ataupun membalas pelukan Cakra, ia hanya terus terisak. Entahlah, hatinya sangat sakit. Hanum merasa ia sepertinya tidak akan diterima oleh keluarga Cakra. Papanya saja tidak se-sudi itu menerima keadaannya, tidak mustahil keluarganya yang lain pun akan turut mendorongnya mundur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!