Ada Apa Dengan Cakra?

Ruangan kantor yang terletak di lantai paling atas- disalah satu gedung tertinggi di Jakarta Selatan terasa begitu mencekam. Aura sang pemimpin yang tengah terdiam dengan tatapan menyorot tajam itu membuat para bawahannya yang berada disana tak berani berkutik.

Semua itu karena informasi yang dia dapat dari salah satu suruhannya, yang mengatakan bahwa putranya telah menghilang entah kemana.

Pria setengah baya yang masih terlihat jejak ketampanannya itu menopang dagu dengan kedua tangannya dan meletakan kedua siku di meja kerja. Pikirannya menerka-nerka kemana putranya melarikan diri. Ya, pria itu yakin putranya pasti melarikan diri demi menghindari perjodohan yang ia ungkapkan kemarin hari.

"Dimana terakhir kali lokasinya?" tanyanya pada bawahan yang memberi info, sekaligus yang ia tugas kan untuk membuntuti putranya selama ini, tentu saja tanpa sepengetahuan anaknya itu.

"Terakhir lokasinya di kampus, tuan. Setelahnya menghilang begitu saja seperti ada yang sengaja menutupinya."

Pria itu tercenung sesaat, sebelum akhirnya..

Brak!!

Satu tangannya reflek menggebrak meja.

"Dan kenapa bisa kamu kecolongan!? Hah!? Kamu saya pekerjakan karena saya tahu kualitas kamu! Tapi sekarang, bisa-bisanya kamu lalai!?" bentak pria itu.

"Maaf, saya salah, tuan." bawahan tersebut hanya bisa menunduk, tentu menyadari atas kesalahannya.

Arya Wiguna Haristanto, pria itu menghela nafas kasar. Menghilangnya putranya itu, pasti ada seseorang yang membantunya, dan orang itu jelas bukanlah orang sembarangan. Tentu saja, karena selama ini tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatannya, apalagi hanya untuk hal sepele seperti melacak keberadaan seseorang.

"Cepat temukan anak itu secepatnya!" titahnya tegas. Bawahan tersebut mengangguk seraya membungkuk hormat, "siap, tuan, kalau begitu saya permisi."

Arya tak merespon, membiarkan saja bawahannya itu pergi di ikuti oleh para bodyguard yang juga ikut di kerahkan.

"Anak itu, benar-benar.." geram nya sarat akan kekesalan lalu menghela nafas kasar.

Hari sudah menjelang sore, itu artinya Hanum harus segera pulang. Hanum memang tidak menginap karena masih ada rumahnya yang harus ia tinggali.

Meskipun Bu Ningsih selalu menawarkannya untuk tinggal di vila- bersamanya, juga bersama pak Ujang yang tinggal di kamar pos, Hanum selalu menolak karena tak ingin rumah peninggalan orang tuanya terbengkalai.

Sebelum beranjak, Hanum merapihkan dulu kasur yang ia gunakan untuk istirahat sejenak, tentu saja kamar khusus pembantu. Sejujurnya pekerjaan Hanum tak banyak, itu karena Bu Ningsih sendiri yang memberikannya sedikit pekerjaan, mungkin karena keadaannya yang tidak bisa selalu bergerak lama, sebaik itu memang Bu Ningsih.

Setelah rapi, Hanum segera meraih kruk dan berjalan meninggalkan kamar. Saat akan melewati ruang keluarga, Hanum mundur kembali karena melihat keberadaan dua orang kota itu yang sedang asyik mengobrol di sofa.

"Keknya bokap sama nyokap lu udah kelimpungan deh nyariin anaknya yang hilang." tawa itu terdengar puas.

"Biarin lah, siapa suruh mau jodoh-jodohin gue sembarangan."

Hanum tak berniat mencuri dengar, tapi obrolan itu masuk begitu saja ke telinganya.

Dan sekarang Hanum bingung harus melakukan apa, jika maju ia akan bertemu dengan keduanya, kalau mundur berarti masuk lagi ke kamar. Tapi kan ia harus pulang.

Karena tidak ada pilihan lain, Hanum pun memberanikan diri untuk maju. Lagian ia juga harus pamit pada dua orang itu, kan?

"Eh, Hanum!?" dan yang pertama menyadari kemunculannya adalah Demian. Dalam pandangan Hanum, tuan mudanya itu ternyata sangat ramah, tak seperti kata pak Ujang yang katanya tuan muda sangat galak.

Hanum menanggapi dengan tersenyum sopan. "sore, tuan. Anu- saya mau pamit pulang."

"Loh, emangnya gak nginep?" tanya Demian heran, begitupun Cakra yang kini sibuk mengotak-atik handphone baru, karena handphone yang lama harus ia matikan bersama SIM card nya.

"Enggak, tuan. Saya pulang-pergi."

Demian mengangguk mengerti. "Tapi pulangnya naik apa? Gak mungkin jalan kaki, kan?" tanyanya. "Maksudnya, kan dari sini ke pedesaan sana jauh banget." koreksinya.

"Emangnya lu tinggal dimana?" kali ini Cakra yang bersuara.

Entah kenapa, setiap kali melihat Cakra selalu membuat Hanum merasa gugup. Tatapannya itu selalu tak bersahabat. "Ja-jauh, kak."

"Gue bukan kakak lu, kalo lu lupa."

"Ah, iya, ma-maaf Ca-Cakra," gugup Hanum.

Demian melihat interaksi keduanya dengan aneh. "Kalian keknya akrab bener. Hayo, kalian ada sesuatu ya tanpa sepengetahuan gue?" Demian memicingkan matanya sok mengintrogasi.

Cakra mendelik, "bacot!"

"Eng-enggak kok, tuan." kilah Hanum.

"Aish, bisa gak, jangan panggil gue tuan? Berasa anak raja aja gue, panggil nama aja." pinta Demian, yang baru merasa tidak nyaman dipanggil seperti itu.

Hanum terdiam sesaat, "tapi kan-"

"Pokoknya panggil nama aja, Demian atau Iyan, gapapa, ini perintah!" titah Demian pura-pura tegas membuat Hanum kicep.

Melihat ekspresi gadis itu yang terlihat lucu membuat Demian terkekeh. "Imut banget sih, lu. Umurnya berapa sih?"

"Sembilan belas tahun kak, lebih dua bulan." jawaban Hanum, lagi membuat Demian terkekeh.

Cakra sendiri merasa bibirnya berkedut. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan jawaban Hanum, hanya saja memang harus ya lebih umurnya disebutkan juga?

"Umur gue juga baru 23, gak jauh-jauh amat. Jadi panggil nama aja, gak usah pake tuan." ujar Demian ditengah kekehan nya.

Karena tak ingin berlama-lama, Hanum pun mengangguk saja agar ia bisa segera pulang.

"Kalo gitu ... saya boleh pulang sekarang?" tanya Hanum.

"Gue anterin aja, ya. Lagian ini udah sore takutnya lu kenapa-kenapa di jalan." tawar Demian membuat Hanum terkejut. Cakra sendiri melirik Demian aneh, tumbenan anak ini mau-mau saja nganterin anak orang, pikirnya.

"Gak u-usah! Sa-saya udah nelpon tukang ojek kok." tolak Hanum menggeleng cepat.

"Batalin aja deh, sekalian juga gue mau liat perkampungan tempat tinggal lu. Sumpek gue di vila mulu." pinta Demian yang terdengar memaksa.

"Tapi-"

"Gak ada penolakan!" tegasnya lagi membuat Hanum bungkam.

Demian menahan tawa, mudah sekali ternyata membuat gadis ini menurut.

Dengan terpaksa, Hanum mengambil handphonenya dari tas selempang mini yang tergantung di pundak kanannya. Lalu menghubungi tukang ojek langganannya untuk meminta maaf. Setelah selesai, Hanum memasukkannya kembali.

"Udah tu- eh maksudnya I-iyan?"

"Nah bagus, panggil Iyan aja, biar kita lebih akrab." ujar Demian senang. "Ya udah, kita berangkat sekarang?"

Hanum mengangguk sekilas. Sejujurnya ia masih enggan pulang di antar tuannya ini, tapi menolak pun tidak bisa.

"Oke, kita berangkat." Demian beranjak lalu menatap Cakra yang pura-pura sibuk dengan handphonenya, padahal sedari tadi sebenarnya ia menyimak, dan entah kenapa ia tidak setuju Hanum pulang di antar Demian. "Gue anterin Hanum dulu, lu mau ngapain terserah, asal jangan jual barang-barang antik di sini ya, takutnya bokap nyokap gue marah."

"Dih! Lu kira gue se-miskin itu apa sampe harus jualin barang-barang usang kek begini?"

"Ya siapa tau? Lu kan sekarang lagi dalam kondisi kabur, bisa jadi lu kekurangan duit," canda Demian, tertawa meledek.

Cakra memutar bola matanya, malas, tak ingin menanggapi lagi, dan pura-pura fokus lagi pada handphone nya.

"Yuk," ajak Demian dan di angguki Hanum.

"Saya permisi, Cakra," tak lupa Hanum pamit dulu, dan hanya di angguki sekilas oleh Cakra tanpa melihatnya lagi.

Melihat kepergian keduanya, entah kenapa Cakra merasa ... tidak suka? Tapi kenapa? Entahlah Cakra juga bingung.

Memilih bodoamat, Cakra pun membuka salah satu aplikasi game, dan mulai memainkannya demi mengalihkan pikirannya.

"Rame juga ya tempat tinggal lu, padahal udah sore." ujar Demian setelah mobil memasuki kampung tempat tinggal Hanum.

Di setiap pinggir jalan, maupun halaman rumah-rumah warga, masih terlihat ramai oleh ibu-ibu yang sedang berkumpul juga anak-anak yang tengah bermain.

"Di kampung emang begini, Iyan." jawab Demian.

Entahlah, Demian suka sekali saat mendengar Hanum menyebut namanya, terdengar lucu.

"Terus rumah lu yang mana?"

"Yang depan kak, lantai dua." tunjuk nya pada salah satu rumah yang memang hanya rumah itu satu-satunya yang memiliki dua lantai.

"Seriusan itu rumah lu?" tanya Demian tak percaya. Rumah Hanum tidak bisa dibilang kecil, tidak bisa pula dibilang besar, sedang-sedang saja, tapi arsitektur nya terlihat mewah sekali.

Hanum mengangguk, "kenapa?" tanyanya, sadar sepertinya Demian kurang percaya.

"Enggak, gue kira rumah lu- maksud gue, kenapa lu kerja di vila ortu gue, padahal rumah lu keliatan mewah, dan otomatis lu bukan orang susah dong?"

Mengerti dengan kebingungan Demian, Hanum pun tersenyum. "Dulu aku- lebih tepatnya kedua orang tua aku emang termasuk orang punya-" Hanum menjeda ucapannya, "tapi setelah kecelakaan itu.." Hanum kembali mengentikan ucapannya seraya menatap satu kakinya yang sudah tidak ada dengan ekspresi murung.

Demian yang langsung paham pun, segera menghentikan mobilnya. "Ah maaf, keknya gue udah salah ngomong."

"Enggak kok, gapapa."

"Ya udah, gak usah di lanjutin. Tapi kalo lain kali lu mau cerita, cerita aja sama gue."

Melirik Demian, Hanum tersenyum tipis. Membuat Demian terperangah sesaat. Kenapa ia baru sadar kalau Hanum ternyata sangat cantik.

Tut... Tut...

Demian seketika tersadar dari rasa terkesimanya saat tiba-tiba handphone miliknya berbunyi.

Cakra is calling..

Demian mengangkatnya malas-malasan.

"Apaan?" tanyanya kesal entah kenapa.

"Buruan balik! Lama amat lu! Emangnya nganterin kemana sih sampe mau setengah jam begini?" semprot Cakra.

"Napa lu? Mau se-jam kek, setengah jam kek, ya terserah gue lah! Sensi amat lu kek istri ditinggal laki nya."

"Buruan balik! Gue gak ada temen ngobrol!" Cakra tak menggubris ucapan Demian.

"Tinggal ngobrol aja sama pak Ujang atau sama Bi Ningsih, apa susahnya sih?"

"Gue belum nyaman ngobrol sama orang baru." kilahnya.

"Lah, kemarin gue liat, lu anteng-anteng aja ngobrol sama Hanum." celetuk Demian melirik gadis di sampingnya yang terkejut karena namanya dibawa-bawa, lalu ia meringis saat Hanum menatapnya bingung.

"Dahlah, gak usah banyak bacot! Pokoknya buruan balik!" Cakra terdengar kesal.

Demian berdecak, "iya iya, bawel lu kek cewek lagi pms. Bentar lagi gue balik! Udah ya gue tutup." tanpa menunggu respon, Demian mematikan panggilan sepihak.

Melirik Hanum, Demian tertawa kecil, "Sorry, lanjut jalan ya." yang hanya diiyakan oleh Hanum.

Disisi lain, Cakra mendengus sebal saat panggilannya diputus sepihak. Sedari tadi ia uring-uringan karena tidak tahu harus melakukan apa. Mau mengobrol, tapi jujur ia memang tidak terbiasa bicara dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Ningsih sendiri sepertinya sedang bebersih karena pekerjaannya sudah selesai, sedangkan pak Ujang tentu saja sedang berjaga di pos, sesekali berkeliling ke sekitar vila.

Pikiran Cakra spontan melayang kembali mengingat Hanum. Entah kenapa bayangan gadis itu selalu nyempil di pikirannya. Ditambah sekarang gadis itu di antar pulang oleh Demian, membuatnya merasa tidak terima.

"Akhhhh!!" Cakra mengacak rambutnya karena kesal sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!