Pertemuan

Tiiiin.... Tiiiin... Tiiiin...

Suara klakson mobil yang di tekan beberapa kali terdengar begitu memekakkan telinga. Mengganggu kegiatan pak Ujang yang sedang fokus menonton sinetron dari televisi tabung yang tergantung di dinding.

Dilihatnya kedatangan sebuah mobil trip berwarna merah gelap, yang sepertinya tengah meminta untuk dibukakan pintu gerbang.

"Yuhuuuu pak Ujaaaang... I'm comiiiiing... Please, open the door!" teriak si pemilik mobil yang menyembulkan kepalanya dari sela kaca mobil yang terbuka.

Karena penasaran dan merasa terganggu juga, akhirnya pak Ujang pun menghampirinya tanpa ada niatan untuk membuka gerbang. "Siapa ya? Mau nyari siapa!?" tanyanya setengah berteriak.

Orang itu terlihat mengenakan kacamata hitam yang membuat pak Ujang tak mengenali siapa orang itu.

Karena merasa tak di kenali, orang itu pun membuka kacamatanya seraya tersenyum lebar pada pak Ujang yang masih saja tak mengenalinya. "Halo pak Ujang? Masa gak inget sama saya sih? Dulu kan pak Ujang sering banget nyuri pisang di kebun sebelah buat dikasih sama saya?"

Mendengar itu Pak Ujang terperangah, "den Iyan!?" tanyanya memastikan. Ekspresinya terlihat masih tidak percaya melihat orang itu yang masih berada di dalam mobil.

"Hahaha... Seratus buat pak Ujang!" celetuk orang itu tertawa senang.

Pak Ujang langsung tersenyum lebar saat meyakini orang itu adalah tuan muda kecilnya, Demian Hadikusumo.

"Den Iyan!? Masya Allah.." lantas pak Ujang langsung memutar kunci dan membuka gerbang lebar-lebar. "Masuk den, masuk!"

"Oke Pak! Makasih ya!"

Demian, atau yang biasa dipanggil den Iyan itu melajukan kembali mobilnya- membawanya masuk ke halaman vila tersebut yang terlihat luas. Diikuti oleh pak Ujang setelah menutup kembali pintu gerbang serta menguncinya.

"Den Iyan!?" rasa-rasanya pak Ujang masih tak percaya melihat tuan mudanya yang dulu masih kecil- sekarang sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang sangat tampan, persis sekali seperti ayahnya.

Demian keluar dari mobilnya dengan gaya sok kerennya hanya untuk pamer pada pak Ujang bahwa sekarang ia bukan lagi anak kecil. Di susul oleh pria lain lagi yang tak lain adalah Cakra- sahabatnya.

Pak Ujang lantas memeluk Demian begitu erat, menyalurkan kerinduannya karena sudah 10 tahun lamanya tidak bertemu- sejak terakhir mereka berjumpa saat Demian masih kecil, sekitar umur 9 tahun.

Demian terkekeh geli mendengar pria yang sudah dia anggap seperti pamannya itu- terisak kecil. "Kok nangis sih, Pak? Cengeng ya sekarang?" ledeknya. Padahal ia pun sebenarnya ingin menangis juga, tapi sebisanya Demian tahan untuk mempertahankan sikap cool-nya.

"Bocah nakal! Kenapa baru kesini lagi sekarang? Udah lupa ya sama bapak sama Bu Ningsih? hah?" tanyanya setelah melepas pelukannya. Kedua tangannya memegang dua bahu Demian yang sekarang terasa sangat kokoh. Tak seperti dulu yang masih sangat rapuh khas anak kecil.

Jujur, Pak Ujang sedih karena tuan muda kecilnya sekarang sudah berubah menjadi besar.

Mendengar itu Demian terkikik, "ya enggaklah, pak. Masa iya Iyan lupa sama bapak yang suka nyuriin pisang buat Iyan. Iyan juga gak lupa sama bi Ningsih yang suka cebokin Iyan waktu kecil."

"Dih, najis!"

Celetukan seseorang mengalihkan perhatian keduanya. Cakra, pria itu memutar bola matanya saat bersiborok dengan Demian. Dia yang sedari tadi menyimak, merasa jijik mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari bibir sahabatnya ini.

Demian sendiri hanya terkekeh menanggapinya. "Eh iya, Pak. Sampe lupa. Kenalin, ini sahabat Iyan, namanya Cakra." lalu beralih melirik Cakra, "dan lu, kenalin, ini pak Ujang. Yang jagain vila ini sejak gue masih bocil, dan udah gue anggep kayak om gue sendiri."

"Halo den, saya Ujang, panggil aja pak Ujang." terlebih dahulu pak Ujang mengelap tangan kanannya ke celana sebelum mengulurkannya pada Cakra.

Cakra terheran-heran melihat kelakuan satpam tersebut, namun, tak urung ia segera menerima uluran tangan itu. "Cakra pak, panggil Cakra aja gak usah pake den." responnya sambil melirik sekilas pada Demian bermaksud menyindir, tapi pria satu ini tingkat kepekaan nya memang sangat rendah.

"Ah iya, siap, siap," kekeh pak Ujang. "Ya udah, silahkan masuk den, nak Cakra. Barang bawaan biar saya yang bawa."

"Gak usah, pak. Biar kami aja." tolak Demian.

"Udah gapapa, biar bapak yang bawa."

Mau tak mau Demian mengiyakan saja, lantas mengajak Cakra untuk segera masuk, meninggalkan pak Ujang yang bersiap menurunkan koper.

Demian memencet bel beberapa kali, sebelum akhirnya pintu terbuka dan munculah Bu Ningsih yang terlihat terperangah, persis seperti ekspresi pak Ujang beberapa waktu lalu.

"Masya Allah.. Anak siapa ini?" gumamnya seraya menutup mulut. Matanya bolak-balik melihat kedua pemuda di hadapannya secara bergantian.

Demian dan Cakra yang mendengar gumaman Bu Ningsih tersenyum kecil di buatnya.

"Anaknya pak Hadi yang paling kece se-Bandung raya, Bi." celetuk Demian yang sontak membuat Bu Ningsih terkesima. Sedangkan Cakra melunturkan senyumnya mendengar itu dan melirik Demian sebal.

"Den Iyan!?"

Lagi, panggilan itu sejujurnya terdengar menggelikan di telinga Cakra, tapi Cakra tak berani mengomentarinya disaat-saat seperti ini.

"Seratus buat bibi!" ucap Demian kesenangan.

Tanpa berkata, Bu Ningsih langsung memeluk tuan mudanya itu dengan erat. Wanita berusia 47 tahun itu menangis. Wajar saja, karena dia sudah sangat lama tidak berjumpa dengan tuan mudanya semenjak pindah ke Jakarta 13 tahun lalu.

Kali ini mata Demian berkaca-kaca, sikap sok cool-nya mulai luntur. "Bibi gimana kabarnya? Sehat-sehat kan?" tanyanya ditengah pelukan.

"Alhamdulillah bibi sehat, den. Bibi bakalan selalu sehat sampai bibi liat den Iyan nikah nanti." ucapnya ditengah tangis haru.

Demian mengangguk, "pokoknya bibi harus selalu sehat sampai Iyan punya anak sepuluh ekor suatu hari nanti."

Mendengar itu lantas membuat Bu Ningsih terkekeh seraya menepuk gemas punggung tuan mudanya ini. "Ada-ada aja kamu, den."

Disisi lain, Cakra sudah merasakan jenuh. Sejujurnya ia ikut terharu melihat pertemuan dua manusia di hadapannya ini. Hanya saja setiap mendengar celetukan Demian, selalu saja membuat Cakra sebal.

"Eh maaf, sampe lupa ada den ganteng ini." ucapan Bu Ningsih menarik fokus Cakra.

"Halo, bi, saya Cakra, temennya Demian." Cakra mengulurkan tangannya meraih tangan Bu Ningsih dan menyalimi nya sopan.

"Masya Allah udah ganteng sopan lagi." puji Bu Ningsih membuat Cakra merasa senang."saya bi Ningsih, pengurus vila ini. Panggil aja bibi atau apalah terserah aden."

"Aslinya enggak gitu kok, Bi." Cakra mendelik pada Demian yang dibalas kekehan oleh pria itu.

Bu Ningsih tersenyum melihat interaksi kedua orang ini. Lantas segera mengajak keduanya untuk masuk, lalu mempersilahkannya duduk di sofa ruang tamu.

"Masih sama ya, gak ada yang berubah." Demian memperhatikan setiap sudut ruangan serta barang-barang yang masih sama posisinya, tak berubah sama sekali.

"Iya den, pak Hadi sendiri yang minta supaya barang-barang dan posisinya gak di ubah-ubah."

Demian mengangguk mengerti. Sedangkan Cakra malah sibuk sendiri, celingak-celinguk menatap setiap sudut ruangan dengan ekspresi tak tertarik.

Praaang!!!

Sontak ketiganya tersentak kaget saat tiba-tiba mendengar suara benda kaca yang terjatuh.

"Apa itu, bi?" tanya Demian.

"Gak tau, bibi cek dulu ya." Bu Ningsih segera beranjak menuju dapur. Karena dari arah sana lah suara itu berasal.

"Nak Hanum!?" pekik Bu Ningsih saat melihat Hanum yang sedang berjongkok- tengah memungut pecahan gelas dengan bersusah payah.

"Udah nak, biarin aja! Biar bibi yang bersihkan!" dengan hati-hati Bu Ningsih menghampiri Hanum dan membantunya berdiri.

"Tapi Bu, itu kan Hanum yang pecahin gelasnya." Hanum merasa bersalah, karena lagi-lagi ia mememcahkan gelas di vila ini. Dan Hanum tahu gelas itu harganya mahal.

"Udah gapapa, Hanum pasti gak sengaja kan." ucapnya menenangkan. "Ayo duduk dulu," lalu membantu Hanum duduk di kursi pantry.

"Ada apa, Bi?" kemunculan Demian yang disusul oleh Cakra, jelas saja membuat Hanum terkejut. Reflek Hanum menundukkan wajahnya, tak berani menatap kedua orang itu.

Sebetulnya, sedari tadi Hanum sudah tahu kedatangan dua orang tersebut. Maka dari itu Hanum berinisiatif membuatkan minuman karena dilihatnya Bu Ningsih tengah sibuk temu kangen.

Tapi na'as nya dua gelas minuman itu terjatuh saat Hanum bersusah payah akan membawanya.

"Enggak ada apa-apa kok, den. Ini cuman gelas jatuh aja." jawab Bu Ningsih yang sudah sibuk memungut pecahan gelas itu.

Perhatian Cakra dan Demian malah tertuju pada gadis yang senantiasa menunduk, seolah tidak ingin melihat ke arah mereka. Tapi yang lebih menarik perhatian keduanya adalah kaki gadis itu yang hanya ada ... satu?

"Hai?" sapa Demian. Sedangkan Cakra hanya diam memperhatikan.

Hanum yang merasa disapa semakin menundukkan kepalanya. Ia merasa malu juga takut karena sudah memecahkan gelas dan malah diketahui langsung oleh tuannya.

Karena tak mendapat tanggapan, Demian kembali menyapa seraya mendekati gadis itu. "Halo? Nama kamu siapa?" tanyanya.

"Oh iya, den, kenalin ini nak Hanum. Dia udah kerja disini selama setahun." potong Bu Ningsih menghentikan sebentar aktivitasnya.

Untung saja Bu Ningsih segera bersuara, Hanum merasakan sedikit lega. Sedangkan Demian mengangguk mengiyakan.

"Kenalin, gue Demian. Kamu bisa panggil gue Demian, Iyan atau apalah terserah." ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Memberanikan diri, Hanum menerima uluran tangan itu dengan perasaan berdebar. "Ha-Hanum," cicitnya tergagap.

Melihatnya membuat Demian tersenyum kecil. Lucu sekali, pikirnya.

Cakra sendiri sedari tadi fokus sekali menatap Hanum, terutama pada kaki kirinya yang.. buntung?

Jujur saja, saat di detik pertama melihat Hanum, Cakra merasakan ketertarikan pada gadis ini. Tapi saat menyadari gadis itu hanya memiliki satu kaki, rasa tertarik itu seolah langsung lenyap begitu saja.

Bagi Cakra, kesempurnaan tubuh seorang perempuan adalah nomor satu dalam pilihannya.

Demian menyenggol bahu Cakra karena dilihatnya sahabatnya ini malah diam saja memandangi kaki gadis itu. "Napa lu?" tanyanya.

"Ah, engga kok." jawab Cakra saat tersadar dari pikirannya.

"Ya udah kenalan dulu." titah Demian.

Cakra mengangguk saja, lalu mengulurkan tangannya dengan sedikit enggan. "Cakra," ucapnya singkat.

Hanum menerima uluran tangan itu dengan kepala yang masih menunduk. "Hanum," cicitnya.

Cakra langsung menarik tangannya sedikit kasar, membuat Hanum merasa terkejut.

Entahlah, Hanum merasa, pria yang satu ini seperti tidak menyukainya.

Melihat kelakuan sahabatnya, Demian menegurnya dengan cara menepis tangan Cakra sekilas, namun, tak dihiraukan oleh pria itu.

Karena merasakan suasana canggung, Bu Ningsih pun mempersilahkan tuan mudanya bersama temannya itu untuk kembali ke ruang tamu. Dan ia akan membuatkan minuman baru sebelum menyusul.

Selepas kepergian keduanya, Bu Ningsih lantas menghampiri Hanum yang masih setia menunduk. "Kamu gak papa kan?"

"Gak papa kok, Bu." baru kemudian Hanum berani mengangkat wajahnya lalu tersenyum walaupun terlihat di paksakan.

"Ya udah kamu duduk dulu aja disini ya, ibu mau buang gelas ini dulu, terus nanti kita ke depan."

Sejujurnya Hanum ingin menolak, apalagi saat merasa salah satu dari pria itu sepertinya tak menyukainya membuatnya merasa enggan. Tapi Hanum harus tahu diri, dia hanya pekerja di vila ini, jadi sudah seharusnya ikut menyambut si tuan muda bersama temannya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!