Bab 20

Begitu langkah mereka melewati ambang pintu, Zahira baru saja ingin menaruh tasnya di atas meja, ketika suara pintu tertutup pelan terdengar di belakangnya. Klik.

Zahira refleks menoleh, sedikit terkejut melihat Zayn yang dengan santainya memutar kunci pintu, lalu menyelipkan kuncinya ke saku celana.

"Eh... pintunya ngapain dikunci?" tanyanya, suara pelannya mengandung gugup yang tak bisa disembunyikan.

Zayn menoleh santai sambil menaruh jaketnya di gantungan dekat pintu, “kenapa? Memangnya pintunya mau dibuka sepanjang waktu?”

Zahira mengerjap, tak menemukan jawaban yang pas. Pipi mulusnya langsung berubah merah muda, dan ia hanya bisa melengos serta berdeham kecil.

“Yaudah deh, kamu duduk aja dulu. Aku sebentar ke dapur bikinin minum dulu,” gumamnya cepat, lalu bergegas ke dapur sebelum Zayn sempat melihat wajahnya yang bersemu, memerah.

Zayn menahan senyum tipis. Ia memang sengaja menggoda sedikit. Cara Zahira bereaksi—salah tingkah, suara melembut, dan langkah yang mendadak terburu-buru—selalu saja menarik perhatiannya. Ada sisi polos yang membuatnya ingin menjaga gadis itu lebih dari apa pun.

Sementara itu, di dapur, Zahira mencoba fokus. Ia menuangkan air panas ke dalam gelas dan menambahkan sedikit bubuk jahe serta gula. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena takut, tapi karena... jantungnya berdebar sejak tadi. Terlalu banyak hal yang terjadi hari ini, dan kini—ia hanya berdua dengan Zayn, di dalam rumah kontrakan kecil itu.

“Kenapa sih dia bisa segitu tenangnya…” bisiknya pelan sambil mengaduk.

Ia mengangkat nampan kecil, membawa dua gelas—satu jahe hangat, satu teh manis. Aroma manis jahe memenuhi udara. Zahira meletakkan keduanya di meja kecil ruang tamu, lalu duduk di atas kursi, menjaga jarak aman dari Zayn.

“Diminum teh jahenya,” ucapnya pelan.

Zayn mengambil gelas teh dan mencicipinya. Hangat, manis, dan sedikit pedas. Ia melirik ke arah Zahira yang menunduk gugup.

"Kenapa? Tehnya enak?" ujar Zahira, berusaha tampak biasa.

"GR lu," sahut Zayn singkat, meletakkan gelasnya kembali di atas meja.

Zahira menelan ludah, raut wajahnya berubah. “Enggak enak ya? Maaf ya, adanya cuma itu soalnya…”

Zayn mengangkat alis. “Emm.”

Zahira menghela napas, lalu berdiri. “Ya udah, aku ke kamar dulu,” ucapnya pelan, kemudian masuk ke kamarnya. Suara kunci pintu terdengar sesaat kemudian.

Di dalam kamar, Zahira duduk di tepi ranjangnya. Ia menatap bayangannya di cermin kecil di sudut ruangan. Pipi yang masih bersemu merah, dan mata yang lelah, namun tenang.

Ia mengganti baju seragamnya dengan pakaian rumah yang lebih nyaman. Gamis panjang warna krem lembut, dengan jilbab instan yang senada. Walau hanya di rumah, dan bersama suaminya sendiri, Zahira tetap tak pernah melepas auratnya.

Setelah merasa cukup tenang, ia kembali ke ruang tamu. Zayn masih duduk di sofa, memainkan ponselnya, seakan tak peduli.

Namun saat Zahira melangkah keluar, mata Zayn langsung mengarah padanya—dari ujung kaus kaki, hingga ujung jilbabnya.

“Gue kan suami lo, kenapa lo harus berpakaian tertutup gitu? Nggak gerah?”

Zahira menatapnya, sedikit kesal, tapi lebih kepada gugup karena diperhatikan seperti itu. Ia duduk kembali, kali ini agak lebih dekat.

“Ini bagian dari keimananku,” jawabnya lembut. “Biarpun kamu suamiku, bukan berarti aku seenaknya membuka aurat. Kalau bukan pada waktunya, ya tetap harus dijaga.”

Zayn diam. Tatapannya lurus pada Zahira. Entah kenapa, jawabannya barusan membuat dadanya terasa hangat. Ada hal yang sulit ia pahami. Gadis di hadapannya ini... terlalu lembut, terlalu murni, dan terlalu baik untuk disentuh sembarangan.

“Btw,” katanya tiba-tiba, mengubah suasana. “Gue kan suami lo. Kalau sekiranya gue minta jatah gue malam ini… lo mau nggak?”

Zahira tersentak. Sontak ia bangkit dari tempat duduk, memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan. Wajahnya pucat. “Apaan maksud kamu? Tadi kamu udah janji loh nggak bakal macem-macem…”

Zayn melirik ke arahnya, lalu mengangkat bahu.

“Ya elah… gue juga bercanda doang kali. Serius amat.” Nadanya dingin, tapi jelas ada gurat geli di bibirnya.

Zahira mengerucutkan bibir, menunduk, lalu perlahan duduk kembali. Wajahnya merah padam, tapi ia berusaha menahan diri untuk tidak terbawa emosi.

“Jangan becanda kayak gitu lagi…” gumamnya lirih.

Zayn menoleh ke arah Zahira, "suka suka gue lah," ujar Zayn.

Zahira kesal, tapi menahan rasa kesalnya.

Hening sebentar.

Angin dari jendela yang terbuka sedikit membuat tirai bergoyang pelan. Udara sore mulai sejuk. Dari luar, suara anak-anak bermain di kejauhan, dan suara azan maghrib pun mulai berkumandang.

Zahira berdiri.

“Mau sholat dulu?” tanya Zayn.

Zahira mengangguk, “iya. Mau ambil wudhu dulu, kamu juga jangan lupa sholat ya."

Zayn tersenyum miring.

Zahira bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Beberapa saat kemudian, Zahira keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan. Ujung gamisnya masih sedikit basah terkena air wudhu. Ia menyeka wajahnya dengan handuk kecil, lalu berjalan menuju kamarnya.

Namun langkahnya terhenti ketika melihat Zayn telah berdiri di ambang pintu, menyandarkan bahu di dinding dengan senyum iseng menggoda di wajahnya.

"Lo udah wudhu?" tanya Zayn, suaranya dibuat pelan tapi penuh arti.

Zahira mengangguk, berhati-hati menjaga jarak, “iya, jangan dekat-dekat ya. Aku mau sholat."

Tapi bukannya memberi ruang, Zayn malah melangkah perlahan mendekat, ekspresi jahilnya semakin kentara.

“Kalau gue pegang tangan lo sekarang, batal, ya?”

Zahira spontan mundur satu langkah, wajahnya panik, “Zayn! Jangan macam-macam... serius ini.”

Zayn malah tertawa kecil, lalu pura-pura mengulurkan tangan ke arahnya, "satu sentuhan kecil aja… habis itu Lo wudhu lagi, gampang, kan?”

“Zayn! Aku serius, jangan gangguin aku!” Zahira menutupi tangannya dengan lengan baju dan memutar tubuh, berusaha kabur.

Namun Zayn cepat. Ia melangkah memutari meja, mencoba mendekat dari arah lain. Zahira ikut bergerak cepat, seperti bermain petak umpet kecil di ruang tengah mereka.

“Astaghfirullah… Zayn! Ini bukan main-main, gue mau sholat, dan Lo juga harus cepet ambil wudhu, biar sholat di mesjid,” keluh Zahira sambil tertawa gugup, tetap menjaga jarak.

Zayn akhirnya tertawa juga, tapi kali ini ia mengangkat tangan tanda menyerah, “oke, oke… gue nyerah," ujar kemudian pergi ke kamar mandi.

"Gue suka lihat lo kayak gini," batin Zayn.

Sementara Zahira masuk ke dalam kamarnya. Ia menggelar sajadahnya.

"Allahu Akbar..." Takbir ia ucapkan.

Terpopuler

Comments

🌷💚SITI.R💚🌷

🌷💚SITI.R💚🌷

smg kalian nantiy benar² menjadi suami istri yg sesungguhy tdk ada percerain..dan smg kalian Allah lindungi dr kejahatan² manusia yg jahat

2025-04-12

0

Susi Akbarini

Susi Akbarini

waduhhhhhh..
siapa yg fotoin mereka ..

jgn2 orang suruhan Ardi..

2025-04-11

1

Susi Akbarini

Susi Akbarini

apa yg akan yerjadi selanjutnya di hidup mrreka ..
❤❤❤❤❤❤

2025-04-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!