Bab 14_Cemburu

Mereka sudah sampai, dan hujan belum juga reda. Zayn duduk diam di balik kemudi, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama tak beraturan. Hoodie miliknya masih belum kembali.

Zayn menghela napas, bersandar malas. Ia tak berniat masuk. Dari awal, ia hanya ingin hoodie-nya dikembalikan oleh Zahira, lalu pulang. Selesai. Tapi sorot matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu di jok belakang.

Tas Zahira.

Zayn berdecak pelan, "tuh anak, buru-buru banget sampai lupa dengan tasnya, tadi aja tas ini dipeluk erat-erat," gumamnya. Ia pun meraih tas itu, tapi alisnya terangkat saat mencoba mengangkatnya.

“Ya ampun, ini anak sekolah atau pendaki gunung sih? Berat banget,” katanya sembari tertawa kecil. Rasa penasarannya muncul. Ia iseng membukanya.

Lima buku paket tebal menyesaki tas Zahira. Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah... sebuah bunga mawar merah yang sedikit lecek, terjepit di antara buku dan map.

Zayn mengangkat bunga itu pelan, lalu menemukan secarik kertas kecil menempel di tangkainya. Tulisan tangan. Sederhana, tapi cukup jelas dibaca.

"Dari aku yang selalu mengagumimu. – Ardiansyah"

Zayn terdiam. Tangannya masih menggenggam bunga itu, sementara pikirannya mulai dipenuhi hal-hal tak menyenangkan.

"Ardiansyah," bacanya bersuara.

Ia tidak tahu siapa pria itu, dan sebenarnya ia tidak ingin tahu. Tapi, langkah kakinya entah sejak kapan sudah membawanya keluar dari mobil. Ia tak sadar saat dirinya mengetuk pintu dan masuk ke dalam rumah Zahira, seperti digerakkan oleh sesuatu.

Di dalam kamarnya, Zahira mengganti bajunya dengan cepat. Kaos longgar dan rok kini membungkus tubuh mungilnya. Ia baru saja melepas hoodie milik Zayn yang tadi dipinjam untuk menutupi seragam basah karena kehujanan. Hoodie itu ia lipat rapi, lalu diletakkan di atas meja. Setelah itu, ia memakai jilbab instannya dan bergegas hendak menemui Zayn yang ia kira masih menunggunya di dalam mobil.

Dan alangkah terkejutnya ia, saat ia membuka pintu kamarnya, dan mendapati Zayn sudah duduk manis di sofa ruang tamunya.

“Eh, Zayn? Kamu masuk?”

Zayn sudah duduk di sofa ruang tamu. Di tangannya—bunga mawar merah itu. Di meja, tas Zahira terbuka, buku-buku sudah dikeluarkan. Zahira tertegun, matanya langsung tertuju pada bunga itu.

Seketika, darahnya berdesir, “o-oh, itu…”

Zayn menyeringai kecil. Tapi senyumnya tampak aneh. Dingin.

“Baru sebulan sekolah, udah ada yang ngirimin bunga ya? Populer juga,” katanya datar, meletakkan bunga itu di atas meja.

Zahira menunduk, mencari kata, "Zayn, itu enggak kayak yang kamu pikirin. Aku nggak...”

“Gue nggak peduli, Zahira,” potong Zayn, nadanya lebih tajam, “lu bebas deket sama siapa aja. Pacaran, jadian, terserah. Gue nggak ada urusan.”

Zahira menelan ludah, tangannya saling menggenggam di depan perut. Tapi Zayn belum selesai.

“Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Selama dua tahun ke depan, di atas kertas lu masih istri gue. Jadi setidaknya jaga diri. Jangan sampe kejadian yang memalukan nyeret nama gue juga."

“Iya… aku ngerti,” jawab Zahira pelan, "dan... aku janji jaga diri. Tapi tentang bunga itu, aku beneran nggak tahu dia bakal kasih. Aku dan Ardiansyah enggak dekat dan enggak pernah deket juga."

Zayn hanya mengangguk tipis, “sini hoodie gue. Gue mau pulang."

Zahira dengan cepat menyerahkan hoodie yang sudah ia lipat rapi tadi. Tapi Zayn tidak memperlakukannya dengan lembut. Ia merampasnya begitu saja dari tangan Zahira, lalu berdiri.

Tanpa kata lain, ia berbalik dan keluar rumah.

Zahira hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, dengan dada yang sesak oleh perasaan tak bisa dijelaskan. Matanya kembali melirik bunga itu.

Seketika, rasa kesal muncul. Ia menggenggam bunga itu, berjalan ke dapur, dan membuangnya ke tong sampah. Ia tidak suka Ardiansyah.

Sementara itu, Zayn kembali duduk di mobil, tangannya menggenggam setir erat-erat. Hujan belum reda. Tapi, ia memutuskan untuk membelah jalanan yang sepi dengan hujan.

“Ngapain juga gua mikirin dia…” bisiknya, “dia bukan siapa-siapa gue. Dia cuma cewek yang terpaksa gue nikahin. Dia bukan tipe gue. Gue gak peduli dia mau deket sama siapa, mau jadian sama siapa. Terserah. Itu hak dia. Gue juga baik sama dia, demi menuhi permintaan ibunya, tidak lebih.”

Tapi kenyataannya, hatinya tetap terusik. Ia terbayang wajah gugup Zahira. Sorot matanya yang polos, nyaris lugu. Dan bunga mawar merah itu—bukti nyata bahwa ada seseorang yang mulai mendekati gadis itu.

Zayn meremas stir lebih kuat, rahangnya mengeras. Hujan di luar semakin deras, membasahi kaca mobil hingga pandangan ke luar menjadi samar. Tapi pikirannya jauh lebih keruh daripada hujan sore menjelang malam itu.

Ia menggerakkan tangannya, meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di dashboard. Setelah membuka layar, jari-jarinya langsung mengetik cepat, mencari satu nama dalam daftar kontak. Clara.

Tak butuh lama, ia menemukan nama gadis itu. Lalu ia mengetik pesan singkat.

"Tadi Lo minta gue buat nemenin Lo malam ini kan? Lo di mana sekarang, gue langsung menuju ke sana."

Tanpa pikir panjang, ia langsung kirimkan pesan itu. Jari-jarinya masih sedikit gemetar, tapi bukan karena dingin. Mungkin marah. Atau... kecewa pada diri sendiri karena terlalu peduli.

Sementara itu, di sisi lain kota, Clara sedang duduk di meja riasnya, ia masih teringat kejadian tadi sore di taman. Ia baru saja hendak melempar ponselnya ke atas kasur, saat notifikasi pesan masuk.

Mata Clara langsung berbinar. Melihat nama pengirimnya, senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Sudah gue duga, mana ada pria yang bisa nolak pesona gue,” ucapnya penuh percaya diri. Ia berdiri, melangkah ke lemari pakaiannya yang penuh dengan gaun-gaun mahal dan indahnya.

Ia menggeser gantungan satu per satu, mencari yang paling cocok. Pandangannya berhenti pada sebuah gaun merah marun tanpa lengan dengan belahan tinggi di samping. Elegan dan mematikan—sesuai selera Zayn, atau setidaknya itulah yang Clara yakini.

“Zayn, lo bakalan lupa dengan kemarahan Lo tadi sore di taman, setelah Lo melihat gue malam ini,” katanya pelan sambil tersenyum puas.

Ia bersiap dengan semangat membara, menyemprotkan parfum mahal di pergelangan tangannya, lalu berdandan sempurna. Ia akan membuat Zayn jatuh cinta lagi kepadanya. Meski sebenarnya Zayn tidak pernah benar-benar jatuh cinta kepadanya.

Di sisi lain, Zayn menyalakan mesin mobil. Ia masih menatap ke luar jendela beberapa saat, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan memutar kemudi.

Hatinya tetap berat.

Entah mengapa ia tidak bisa lupa dengan bunga itu. Ia tidak perduli, tapi ia merasa tidak tenang. Ia berharap Clara bisa membuatnya lupa. Lupa dengan mawar itu.

Terpopuler

Comments

Susi Akbarini

Susi Akbarini

gak suka kok masih disimpen..
harusnya swgera dibuang biar gak jadi masalah ama zayn..
❤❤❤❤

2025-04-08

2

🌷💚SITI.R💚🌷

🌷💚SITI.R💚🌷

lanjuut

2025-04-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!