Bab 12_Nginap di Rumah Istri Part 2

Malam makin larut. Udara di dalam rumah kecil itu mulai terasa dingin. Hanya suara detak jam dinding yang menemani keheningan. Di dalam kamar, Zahira berguling pelan di atas kasur tipisnya. Selimut sudah menutupi tubuh, tapi pikirannya tetap tak tenang.

Ia tahu Zayn ada di luar sana, di ruang tamu. Tidur di sofa tanpa bantal dan selimut.

Zahira mengintip jam digital di atas meja kecilnya.

Pukul 11.37 malam.

“Dia sudah tidur belum, ya?” bisiknya lirih.

Sementara itu, di ruang tamu, Zayn berusaha keras memejamkan mata. Udara dingin mulai menusuk kulitnya. Ia menggulung lengan hoodie-nya untuk dijadikan bantal seadanya, tapi tetap saja ia tak bisa lelap.

Ia berusaha memejamkan matanya.

Tak lama kemudian...

"Ceklek..."

Pintu kamar sedikit terbuka. Zayn membuka sedikit matanya, dan menoleh tipis ke arah pintu.

Zahira muncul dari balik pintu, dengan kepala masih memakai hijab. Di tangannya ada satu bantal dan selimut.

Melihat hal itu, Zayn kembali berpura-pura tidur.

"Zayn..." panggil Zahira pelan dari ambang pintu ruang tamu.

Tak ada jawaban. Zayn terbaring di sofa, dengan posisi menyamping, wajahnya sebagian tertutup hoodie. Napasnya teratur, seolah sudah terlelap.

Zahira mengintip pelan, memastikan lagi.

"Udah tidur, ya..." gumamnya, nyaris tak terdengar.

Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, bantal dan selimut tipis ada di pelukannya. Kakinya melangkah pelan, takut menimbulkan suara.

Zayn yang sebenarnya belum tidur, merasakan jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya, tapi ia tetap menahan diri. Napas diatur, mata tertutup, seolah benar-benar terlelap. Ia penasaran, apa yang akan dilakukan Zahira.

Zahira berjongkok di samping sofa. Pelan-pelan, ia menyelipkan bantal di bawah kepala Zayn, menggantikan lengan hoodie Zayn yang ia pakai sebagai penyangga tadi. Gerakannya halus, penuh kehati-hatian. Bahkan ia menahan napas agar tak mengganggu.

Lalu ia mengambil selimut, dan perlahan menyelimuti tubuh Zayn dari kaki sampai ke dada.

Zahira berdiri, membenarkan letak selimut di pundak Zayn. Kemudian ia pergi meninggalkan Zayn.

Pintu kamar kembali tertutup pelan. Sunyi. Gelap.

Dan di sofa, Zayn perlahan membuka matanya.

Ia menatap langit-langit rumah dengan tatapan yang berbeda.

Ada sesuatu yang terasa hangat di dalam dadanya.

“Gila... dia benar-benar ngelakuin itu,” gumamnya pelan.

Ia memejamkan mata kembali, kali ini sungguhan ingin tidur.

*****

“Allahu Akbar... Allahu Akbar...”

Suara azan subuh bergema dari masjid kecil di ujung gang. Zahira sudah terbangun sejak azan berkumandang. Ia membasuh wajahnya dengan air wudu yang dingin, kemudian mengenakan mukena lusuh pemberian ibunya yang sudah wafat. Ia selalu menyimpannya dengan hati-hati, seolah mukena itu memiliki kenangan yang tak boleh hilang.

Sebelum melaksanakan sholat, ia melangkah ke ruang tamu.

"Zayn... Zayn... Bangun," ujarnya pelan, menggoyang kaki Zayn yang masih berselimut.

Tapi Zayn tak bergeming. Nafasnya teratur. Terlalu pulas.

"Zayn... Zayn... bangun udah subuh," ulangnya, kini ia menggunakan pulpennya untuk menyentuh kulit tangan Zayn.

Zayn tersentak dan langsung terbangun. Ia menatap jarum jam di jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 4.51 pagi. Ia terlonjak.

"Ya ampun, sudah jam segini rupanya," katanya terburu-buru. Ia langsung meraih hoodie-nya dengan sembarang, memasukkannya ke tas yang juga ia ambil dengan cepat. Tanpa sempat menoleh ke Zahira, ia melangkah ke pintu dan membuka kunci.

"Zayn—"

Tapi laki-laki itu tak sempat menjawab. Mobilnya yang sudah terparkir di luar rum

ah segera ia naiki, lalu melaju pergi. Zahira hanya bisa berdiri di ambang pintu, melihat lampu belakang mobil itu menjauh dan akhirnya menghilang di tikungan.

Ia menggeleng pelan, lalu menarik napas panjang. kemudian, ia menutup pintu, dan masuk ke dalam kamarnya untuk melaksanakan sholat subuh.

*****

"Sayang, temenin gue malem ini, dong," ujar Clara manja, bergelayut di leher Zayn. Suaranya dimanja-manjakan, seperti biasa, mencoba menarik perhatian pria yang akhir-akhir ini terasa semakin jauh.

Dan ini adalah cara Clara, untuk menarik kembali perhatian Zayn kepadanya.

Zayn menepis tangan Clara dengan datar, "ajak yang lain aja. Gue males."

Di sudut taman sekolah yang mulai sepi karena senja telah turun, Ryu dan Axel duduk tak jauh dari mereka. Mereka saling pandang, lalu tertawa pelan, berusaha menahan komentar.

Clara mengerutkan kening, "lo itu kenapa sih, Zayn? Akhir-akhir ini lo cuek banget sama gue. Atau jangan-jangan... lo udah main belakang lagi?" Cecarnya dengan nada tinggi.

Wajah Zayn tetap tenang, bahkan cenderung dingin. Tatapannya kosong, seperti tak ada niat sedikit pun untuk membalas rasa kesal Clara. Ia menarik napas pelan, lalu menatap pacarnya itu tanpa rasa bersalah.

Clara—si bintang sekolah, si primadona, kekasih impian semua siswa laki-laki—tadinya bukan tipe Zayn. Tapi ketika ia tahu Aldrich, ketua geng motor Venom Riders, naksir berat pada Clara, ia berubah pikiran. Pacaran dengan Clara bukan soal cinta. Itu soal ego, soal membuat Aldrich gerah, soal menunjukkan siapa yang lebih unggul.

Namun kini... segalanya berbeda.

"Apaan sih lu, Clara? Jadi, mau lo sekarang apa? Mau putus dari gue?" tanya Zayn, kali ini dengan nada membentak. Matanya menyala tajam, tak seperti biasanya.

Clara tercekat. Ini pertama kalinya Zayn berbicara seperti itu padanya. Selama ini, Zayn memang sering dingin, tapi tidak pernah sebrutal ini. Ia tetap mempertahankan Clara—setidaknya demi ‘permainan’ dengan Aldrich. Tapi kini, nadanya seolah menyuruh Clara pergi. Seolah... ia sudah bosan.

"Zayn..." Clara berbisik lirih. Air matanya menggenang, dan dalam hitungan detik, ia berlari meninggalkan taman, meninggalkan Zayn, meninggalkan luka yang tak ia mengerti.

Zayn tidak mengejarnya. Ia hanya duduk diam, memejamkan mata sesaat, lalu menghembuskan napas panjang. Ada sesuatu yang mengusik dadanya, tapi ia memilih untuk mengabaikannya.

Tak lama, Ryu dan Axel menghampiri.

"Kenapa dia?" tanya Axel, mengedipkan mata ke arah Clara yang makin jauh.

Zayn membuka matanya perlahan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi taman, tampak santai seolah tak terjadi apa-apa.

"Tau tuh. Lu tanya aja sendiri sama dia," jawabnya acuh.

Tentu! Ini pengembangan adegannya agar lebih hidup, dramatis, dan tetap sesuai dengan karakter Zayn yang mulai terlihat berubah:

"Oh ya, ngomong-ngomong, malam ini ada balapan lagi," ujar Axel sambil mengunyah permen karet, matanya menyipit menatap Zayn, "salah satu pesertanya geng Venom. Lu gimana? Ikut atau nggak?"

Zayn membuka mata perlahan, menoleh sebentar, lalu kembali menatap langit yang mulai meremang, “sorry, gue nggak bisa. Lu pada aja yang ikut balapan. Gue bayarin,” jawabnya datar, “gue takut... nambah masalah nantinya.”

Axel melongo sesaat, menoleh ke Ryu, “masalah? Bro, kita ini siapa? Lu Zayn Rayyan, pewaris tunggal keluarga Rayyan, pembalap jalanan paling ditakutin anak-anak motor di kota ini. Masa lo nyerah?”

Ryu mengangguk setuju, “dan geng Venom itu bukan cuma ikut buat gaya-gayaan, bro. Mereka mau jatuhin reputasi kita. Kalau lo nggak muncul, mereka bakal ngerasa lo lari. Lo mau diremehin?”

Zayn tertawa kecil, tapi tak ada semangat dalam tawanya, “gue lebih takut nyokap dan bokap gue... ketimbang diremehin geng Venom,” ucapnya lirih sambil memejamkan mata, menyandarkan kepalanya ke bangku taman seolah ingin tidur.

Axel dan Ryu terdiam. Bukan karena tak punya argumen lagi, tapi karena mereka tahu, Zayn tak sedang bercanda. Mereka pun tahu, orang tua Zayn adalah tipe orang tua yang tidak bisa ditawar-tawar aturannya.

Terpopuler

Comments

🌷💚SITI.R💚🌷

🌷💚SITI.R💚🌷

ayu zayn kamu jangan gantung clara,,klu bisa sudahi hubungan kamu sm dua kn kamu sdh nikah sm zahira

2025-04-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!