Bab 6_Talak?

Asiyah telah dikebumikan pada saat itu juga, sebab memang sudah tidak ada keluarga lagi yang mau ditunggu. Kini rumah itu sudah sepi, hanya ada dirinya dan Zayn. Para tetangga yang mengurusi pemakaman Asiyah telah bubar dan kembali ke rumah mereka masing-masing.

Zahira terduduk lemas di sudut ruang tamu mereka yang kecil, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding papan yang telah lapuk dimakan rayap. Zayn menatap Zahira dengan tatapan iba, tapi ia pun tidak bisa meneruskan pernikahan ini. Ia harus meninggalkan Zahira dan menganggap bahwa ia tidak pernah bertemu apalagi menikah dengan Zahira.

Tapi, ia juga merasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk kabur, para tetangga masih ramai di luar. Dan Zahira tampak masih sangat berduka.

"Ceraikan aku, dan tinggalkan kampung ini," Tiba tiba Zahira buka suara setelah lama hening.

Zayn membelalakkan matanya.

"Apa maksudmu?" ujar Zayn.

"Kamu tidak mengerti?" tanya Zahira menatap Zayn dengan tajam, "Ku bilang, ceraikan aku dan tinggalkan kampung ini," lanjutnya setengah memaksa.

Zayn terdiam, dengan seketika suara Asiyah yang memintanya untuk menjaga Zahira terngiang di telinganya.

"Kenapa kamu diam? Kamu dan aku tidak mengharapkan pernikahan ini, ibuku pun sudah meninggal, lalu untuk apa kita bertahan dengan pernikahan ini? Kamu pasti tersiksa kan dengan pernikahan ini? Jadi aku berikan kamu kebebasan, sekarang jatuhkan talak mu kepadaku dan pergilah jauh dari hidupku. Anggap pernikahan ini tidak pernah ada," ujar Zahira dengan menangis.

Tapi Zayn masih tidak bergeming, suara Asiyah masih bergema di telinganya.

"Apa kamu tidak tahu bagaimana caranya menceraikan seorang istri? Kamu mau aku ajari?" ucap Zahira.

"Bu-buka... Bukan itu," ucap Zayn sedikit terbata.

"Lalu apa? Apa Jangan jangan kamu berharap harta warisan orang tuaku? Biar ku beritahu, orang tuaku tidak meninggalkan harta apapun kepadaku. Bahkan rumah ini pun adalah rumah kontrakan, aku tidak punya apapun. Jadi, akan sia sia jika kamu bertahan denganku. Kalau tidak salah kamu juga gelandangan kan? Jadi, jangan menambah bebanmu dengan mempertahankan aku. Sebab jika kamu mempertahankan pernikahan ini, itu artinya kamu harus menafkahi ku, dan itu akan menambah bebanmu. Jadi ceraikan saja aku," ujar Zahira.

Perlahan Zayn menatap Zahira, pandangan Zayn kepada Zahira mulai berubah. Ia merasa Zahira ini berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. Dimana mana, wanita yang ia temui, hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi tidak dengan Zahira bahkan dalam keadaan terjepit seperti ini, Zahira masih memikirkan Zayn.

"Kenapa diam, ayo ceraikan aku," ujar Zahira.

Zayn menghela nafasnya, kemudian tersenyum senget.

"Sudahlah, tenangkan dulu dirimu, aku mau tidur, aku lelah," ujar Zayn, kemudian beranjak menuju kamar meninggalkan Zahira sendirian.

"Kau..." ujar Zahira terhenti, sebab Zayn sudah masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.

Gigi Zahira saling beradu, tangannya terkepal, ia benar benar kesal dengan manusia yang kini masih menjadi suaminya itu.

Zayn mengunci pintu kamar dari dalam, kemudian ia menatap sebuah ruangan berukuran 2 kali 2 meter itu, yang disebut oleh Zahira dan ibunya sebagai kamar.

"Jangan bercanda, bisa bisanya ruangan seperti ini disebut sebagai kamar," ujar Zayn seraya mengamati ruangan itu. Tidak ada apa apa di dalamnya, hanya ada sehelai tikar kecil yang muat untuk satu orang, terbentang begitu saja dilantai, dan di atas tikar itu ada sebuah bantal Kumal dan selimut lusuh.

"Apa maksud semua ini? Apa maksudnya aku akan tidur di kandang sapi seperti ini?" ujar Zayn seraya menatap jijik tempat itu.

Ia ingin protes, tapi ia pun masih memakai akal sehatnya, Zahira baru saja kehilangan satu satunya keluarganya yaitu ibunya, jadi sebagai manusia yang berakal ia pasti tidak tega menambah masalah baru bagi Zahira. Tapi, ruangan ini memang sangat kumuh, seumur hidup ia tidak pernah tidur di tempat seperti ini. Kemarin malam saja, ia antara sadar tidak sadar saat tidur di rumah kosong yang berdebu itu.

"Hiks hiks.." suara orang yang terisak menangis terdengar dari ruang tamu. Sekali lagi, rumah ini sangat kecil, hanya berukuran 8 kali 5 meter saja, dengan dinding papan sebagai sekat setiap ruangan, jadi suara apapun pasti akan terdengar.

Zayn memastikan suara siapa itu dengan membuka pintu kamarnya sedikit, ternyata Zahira tengah meringkuk di ruang tamu, sambil menangisi kepergian ibunya.

Zayn turut bersedih, ia sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana jika ibunya meninggalkannya, dan kini seorang anak sebatang kara seperti Zara harus menerima kenyataan bahwa ibunya telah tiada.

Zayn menutup kembali pintu itu dengan pelan, lalu dengan terpaksa berbaring diatas selembar tikar itu. Matanya menatap langit langit kamar itu yang tidak memiliki asbes sama sekali, hanya balok kayu sebagai penyangga atap yang terbuat dari seng itu.

"Kalau aku ninggalin dia sendirian di kampung ini, pastilah dia akan menjadi bahan olok olokan orang orang di sini." gumamnya.

"Ah, tapi peduli amat dengan dia, dia saja meminta aku untuk menceraikannya,"

"Tapi bagaimana dengan permintaan ibunya?"

"Itu juga aku tidak pikirin, aku memang harus meninggalkannya, aku enggak bisa biarin orang tua gua tau kalau gua udah nikah di kampung ini. Bisa berabe kalau ortu gua sampe tahu."

"Lagipula, gue sama sekali nggak nyentuh dia, dan kita juga hanya nikah siri, itu artinya kalau gua ninggalin tuh cewek, dia masih aman aman kok, dia masih suci belum gua sentuh sama sekali, terus pernikahan kita juga belum kedaftar di negara jadi masih aman."

Zayn berdebat dengan dirinya sendiri.

"Memang paling bener, gua harus ninggalin dia, persetan dengan pesan ibunya," batin Zayn

"Gua memang harus cerain dia, mumpung dia yang minta, jadi gue bisa pergi baik baik dari kampung ini tanpa sembunyi sembunyi," ujar Zayn bangkit dari tempat tidurnya, dan menguka pintu, hendak menalak Zahira.

Tapi, begitu pintu terbuka, dalam waktu bersamaan seorang wanita paruh baya bernama Bu Sri muncul di depan pintu masuk rumah.

"Assalamualaikum nak Zahira," ujar Bu Siri.

Zahira menghapus air matanya, kemudian menyahut salam Bu Sri, "waalaikumsalam, silahkan masuk Bu," ujar Zahira.

Bu Sri pun masuk ke dalam rumah, dan duduk di atas tikar berhadapan dengan Zahira.

"Maaf sebelumnya nduk, Bu Sri bukannya tidak paham kondisimu saat ini, sebelumnya bu sri turut berduka yang sebesar besarnya ya atas kepergian ibunya nak Zahira," ujar Bu Sri, yang membuat air mata Zahira kembali mengalir tanpa diminta.

"Iya Bi," ujar Zahira singkat menganggukkan kepala, ia tidak sanggup berkata banyak, kesedihan sudah menguasai hatinya.

"Jadi begini nak Zahira, kamu kan sudah menikah, sudah ada suami. dan kebetulan juga, anak dan mantu bibi yang dari kota, mau kembali ke kampung, dan tinggal di kampung, dan rencananya mereka mau tinggal di rumah ini. Jadi, bibi minta kamu dan suami kamu bisa mengosongkan rumah ini, dalam waktu dua hari ini. Karena lusa anak dan mantu bibi sudah sampai ke desa ini," ujar Bi Sri.

Zahira mendongakkan wajahnya menatap bi sry tak percaya.

"Tidak apa apa ya nak Zahira, lagipula kamu kan sudah ada suami, kamu bisa ikut tinggal bersama suamimu kan? Soalnya bibi juga nggak tau mau bilang apa lagi, sebab anak dan mantu bibi mendadak bilangnya mau tinggal di kampung. Apalagi usaha mereka di kota bangkrut, jadi mereka benar benar tidak punya apa apa lagi, makanya harus kembali ke desa." ujar Bi Sri.

Zayn menyaksikan semua itu, hanya bisa menggaruk kepalanya, ia baru saja ingin mentalak Zahira dan meninggalkannya di kampung ini. eh sekarang, Zahira pun harus keluar dari rumah ini.

"Bi..." Zahira hendak mencoba merayu.

"Maafkan bibi ya nak Zahira, bibi nggak bisa bantu apa apa, rumah ini benar benar harus kamu dan suami kamu kosongin dalam waktu dua hari ini," ujar Bi Sri

Zahira menunduk lemas.

"Ya sudah, bibi hanya mau menyampaikan itu saja, mengenai uang kontrakan bulan ini, Bi Sri anggap lunas, jadi kamu tidak perlu bayar. Ya sudah, bibi pamit pulang dulu," ujar Bi sri buru buru bangkit dan meninggalkan rumah itu.

Zahira semakin bersedih, tangisnya semakin pecah.

"Ibu..." suaranya lirih memanggil ibunya.

Zayn menghela nafas, rasa tak tega kembali menghantuinya. Selama ini, ia selalu kejam dan hatinya jarang tersentuh, tapi saat ini, saat melihat cobaan Zahira yang bertubi-tubi membuat hatinya sedikit terenyuh. Akhirnya ia urungkan kembali niatnya untuk menalak Zahira. Ia kembali masuk ke dalam kamarnya, dan kembali rebahan di sana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!