Bab 17

“Hai, cil!” Suara Ares menggema di ruang latihan yang sepi, lengkap dengan senyum menawan yang selalu menjadi andalannya. Namun bagi Hana, senyum itu lebih terlihat seperti senyum iblis yang sangat menyebalkan.

“Ngapain lo di sini?” tanya Hana ketus, tanpa menyembunyikan rasa kesalnya.

Ares menaikkan sebelah alis, seolah tidak terpengaruh oleh sikap kasar gadis itu. Dengan santai, ia melipat kedua tangannya di dada. “Ck, nggak sopan banget sih lo panggil gue kayak gitu. Panggil gue sensei Ares.”

Hana mengerutkan kening, “Sensei? Jangan bilang lo yang bakal jadi pelatih gue?”

Ares hanya mengangguk santai sambil melempar senyum penuh kemenangan. “Kenapa? Lo kecewa? Harusnya lo bersyukur, lo bakal diajarin sama gue, master segala macam ilmu beladiri.”

Hana tertawa garing, “kayaknya gue cancel aja deh privatnya,” ujarnya, lalu merotasikan tubuhnya hendak kembali ke loker untuk berganti pakaian.

Namun sebelum benar-benar menjauh, Ares mengumam pelan, “Ya udah kalau lo nolak bantuan gue. Tapi inget, cil, kesempatan nggak datang dua kali. Gue tahu lo butuh ilmu gue buat ngelawan *Red Dragon*, bukan?”

Langkah Hana yang sudah mantap menuju pintu tiba-tiba terhenti. Kalimat itu menusuk tepat di hatinya. Dia tahu Ares benar. Kalau ingin menghadapi geng berbahaya itu, dia membutuhkan pelatih yang lebih dari sekadar kompeten. Tapi... kenapa harus dia? Kenapa harus pria ini?

“Ah, sial!” desisnya, lalu membalikkan badan dengan cepat. Ia berjalan kembali ke arah Ares dengan langkah berat, seolah menyeret seluruh harga dirinya.

“Gue nyerah,” katanya, ia menatap lantai, menghindari tatapan tajam pria itu. “Gue akan ikut latihan lo.”

Ares tersenyum miring, seolah sudah memperkirakan hal ini sejak awal. “Good choice,” katanya santai, lalu melangkah ke tengah ruangan latihan. “Sekarang, kita mulai. Hari ini, kita bakal latihan dasar.”

“Gue udah pernah belajar dasar dari sensei Rendy. Nggak perlu mulai dari awal.”

“Ck,” Ares menggeleng, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh evaluasi. “Dasar-dasar lo masih kacau. Lo pikir Red Dragon bakal nunggu lo buat ngulang-ngulang gerakan kayak di kelas senam? Kalau lo mau serius, lo harus mulai dari awal, tapi dengan cara gue.”

Nada suaranya dingin, penuh wibawa. Hana hanya bisa mengangguk, meski hatinya terasa berat. Ia melangkah ke tengah ruangan, berdiri di hadapan Ares.

“Siapin mental lo, karena gue nggak bakal kasih ampun.”

Tanpa menunggu jawaban, Ares langsung memulai latihan. Ia menginstruksikan Hana untuk memukul samsak dengan pola tertentu, sementara tubuhnya terus memperhatikan setiap gerakan gadis itu.

“Tangan lo terlalu lemah,” komentarnya setelah beberapa menit. “Kalau lo pukul kayak gitu, orang bakal lebih sakit ketawa daripada kena pukulan lo.”

“Gue udah coba keras,” balas Hana kesal, mengusap keringat di dahinya.

“Coba lebih keras lagi,” balas Ares dengan nada dingin. “musuh nggak bakal peduli lo capek atau nggak.”

Hana menatapnya, rasa marah bercampur lelah bergejolak di dadanya. Tapi ia tahu Ares benar. Dia menguatkan tekadnya, kembali memukul samsak dengan lebih bertenaga. Tangannya mulai terasa sakit, tapi ia tidak berhenti.

Di tengah latihan, Ares tiba-tiba berdiri di belakangnya, membenarkan posisi tangannya dengan gerakan cepat namun tepat. “Kayak gini. Jangan lemes. Pukul dengan badan, bukan cuma tangan.”

Hana menelan ludah, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah pertama kalinya ia melihat sisi serius Ares yang penuh profesionalitas. Dan, meskipun ia benci mengakuinya, pria itu memang tahu apa yang ia lakukan.

Setelah beberapa jam berkutat dengan berbagai teknik dasar, Ares akhirnya mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. “Oke, cukup!” katanya, suaranya tegas namun sedikit lebih santai. Ia berjalan ke tengah ruangan, menatap Hana yang tengah terengah-engah dengan keringat membasahi wajahnya. “Sekarang gue mau lihat kekuatan lo yang sebenarnya. Kemarilah dan lempar gue.”

Hana yang sedang mengelap keringat dengan handuk tertegun. “Apa? Lo serius?”

Ares menyilangkan tangan di dadanya, ekspresi penuh tantangan. “Lo dengar sendiri, kan? Lempar gue. Pakai semua teknik yang udah gue ajarin hari ini.”

Hana menatapnya penuh ragu. Ares jauh lebih tinggi dan berotot dibandingkan dirinya, apalagi dengan aura percaya diri yang selalu ia bawa. “Gue nggak yakin ini ide bagus,” gumamnya pelan.

“Gue nggak nanya lo yakin atau nggak. Gue cuma minta lo coba. Sekarang maju,” perintah Ares.

Menghela napas panjang, Hana melangkah mendekat. Ia berdiri di hadapan Ares, mencoba mengingat semua teknik yang diajarkan hari itu. Tapi ketika matanya bertemu dengan mata Ares—gelap, tajam, namun seolah menyimpan sesuatu yang lebih dalam—dadanya bergetar. Ada sesuatu yang aneh dalam suasana itu, sesuatu yang sulit ia pahami.

“Fokus, cil,” kata Ares, menyadarkannya. Ia menyeringai kecil, seolah tahu Hana terganggu dengan kehadirannya yang terlalu dekat.

“Gue fokus!” balas Hana cepat, mencoba mengusir pikirannya yang mulai melantur.

“Buktikan,” tantangnya.

Dengan tekad bulat, Hana meraih pergelangan tangan Ares, mencoba menerapkan teknik lemparan yang baru saja dia pelajari. Namun, tubuh Ares terlalu kokoh. Ketika ia mencoba memutar tubuh untuk menarik keseimbangan pria itu, Ares justru dengan mudah berbalik, membuat Hana kehilangan kendali.

Dalam sekejap, ia terjatuh ke lantai, tapi sebelum tubuhnya benar-benar menyentuh permukaan keras, Ares menangkapnya dengan satu gerakan cepat. Tangannya melingkar di pinggang Hana, membuat jarak di antara mereka hilang.

Hana tertegun, menatap wajah Ares yang begitu dekat. Nafasnya memburu, bukan karena latihan, melainkan karena sesuatu yang lain. Sementara itu, Ares hanya menatapnya dengan ekspresi tenang, namun matanya menyimpan sorot yang sulit diartikan.

“Kalau lo nggak fokus, lo nggak cuma gagal lempar lawan, tapi lo bisa kalah sebelum bertarung,” bisik Ares, suaranya rendah namun menggema di telinga Hana.

Hana merasa wajahnya memanas, tapi ia segera mengalihkan pandangan. “Lepasin gue,” ujarnya, suaranya terdengar lebih kecil dari biasanya.

Ares tersenyum tipis, lalu perlahan melepaskan Hana dari pelukannya. “Lain kali, jangan biarkan lawan lo mendekat kayak tadi. Itu kelemahan lo, cil.”

Hana berdiri, mencoba menguasai dirinya. “Gue cuma nggak siap aja,” bantahnya.

“Kita lihat nanti. Gue yakin lo bakal lebih baik.”

***

Tanpa terasa seminggu Seminggu berlalu dengan cepat, dan kemampuan Hana berkembang jauh melampaui ekspektasi. Setiap hari gadis itu berlatih dengan keras, mempraktikkan semua teknik yang diajarkan Ares. Meski awalnya terasa berat, ada semacam dorongan dalam dirinya untuk terus maju—dan itu sebagian besar karena Ares, yang meskipun sering menyebalkan, melatihnya dengan kesabaran dan dedikasi yang luar biasa.

Hari ini, seperti biasa, Ares kembali menantang Hana. Mereka berdiri di tengah matras, saling berhadapan. Wajah Ares terlihat serius, meskipun ada senyuman tipis yang menyiratkan rasa bangga.

"Siap, cil?" tanya Ares, menatap langsung ke mata Hana.

"Selalu siap," jawab Hana percaya diri, menggulung lengan baju gi-nya.

"Ingat apa yang gue ajarkan," ujar Ares sambil bersiap, tubuhnya sedikit merendah dalam posisi bertahan. "Kalau lo bisa melumpuhkan gue hari ini, berarti lo udah benar-benar berkembang."

Hana menarik napas panjang, fokus sepenuhnya pada pergerakan Ares. Ia mengingat semua latihan—cara membaca gerakan lawan, memanfaatkan momentum, dan menunggu momen yang tepat.

Tanpa aba-aba, Ares bergerak lebih dulu, menyerang dengan langkah cepat, mencoba mengejutkan Hana. Namun kali ini, gadis itu tidak panik. Dengan satu gerakan cepat, ia menghindar, lalu memanfaatkan momentum. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan pria itu, memutar tubuhnya dengan anggun, dan menghentakkan tubuh Ares dengan kekuatan penuh.

Brugh!

Ares jatuh telentang di matras, terdiam sejenak dengan mata membulat. Hana berdiri di atasnya, tangan masih mencengkeram pergelangan Ares, wajahnya penuh semangat bercampur kemenangan.

"Yes! Gue berhasil!" seru Hana, setengah tak percaya bahwa ia benar-benar berhasil melumpuhkan pelatihnya.

Ares mengerjap beberapa kali, lalu tertawa kecil. "Gila, cil. Lo beneran meningkat pesat. Gue nggak nyangka lo bisa ngelakuin itu secepat ini."

Hana melepaskan cengkeramannya dan membantu Ares berdiri. "Gue kan murid lo. Kalau gue gagal, itu artinya lo juga gagal."

Ares mengacak puncak kepala Hana, senyum bangga terlukis di wajahnya. "Kali ini lo bener. Gue bangga sama lo."

Hana merasa dadanya menghangat. Pujian itu mungkin sederhana, tapi rasanya berbeda saat datang dari Ares. Ia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa senangnya. "Jadi, gue udah cukup kuat sekarang?"

"Ya, sudah cukup kuat buat bikin Red Dragon berpikir dua kali sebelum nyentuh lo."

Hana menatap mata Ares, sorotnya penuh tekad. "Gue nggak cuma mau mereka berpikir dua kali. Gue mau mereka nyerah total."

Ares mengangguk, kali ini dengan keseriusan yang lebih dalam, tatapannya tajam seolah membakar semangat Hana. “Kalau gitu, latihan kita belum selesai. Masih banyak yang harus lo pelajari.”

Hana mengerutkan kening, bingung dengan arah pembicaraan itu. “Maksud lo apa?” tanyanya.

Ares melirik jam tangannya sejenak, lalu kembali menatap Hana. “Ganti pakaian lo, ikut gue.”

“Ke mana?”

“Lapangan tembak,” jawab Ares singkat, tapi penuh keyakinan.

Hana mengerutkan alis, semakin bingung. “Ngapain ke sana? Makan bakso, gitu?” ucapnya dengan nada sarkastik.

Ares memutar matanya dengan dramatis, lalu menepuk punggung Hana cukup keras hingga gadis itu terhuyung kecil. “Ya latihan menembak, lah! Lo pikir ini acara piknik?”

Hana memandang Ares dengan ragu, tapi melihat keseriusan di wajah pria itu, ia hanya bisa mendesah panjang. “Kenapa sih lo selalu punya ide aneh-aneh?”

“Percaya sama gue, cil. Kalau lo mau ngelawan Red Dragon, lo harus siap dalam segala hal. Nggak cukup cuma bisa karate. Kadang lo butuh cara lain buat bertahan.”

Hana terdiam sejenak. Ada rasa takut yang muncul di dadanya, tapi juga ada rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Oke, gue ikut.”

Setengah jam kemudian, mereka sudah sampai di sebuah lapangan tembak tertutup. Tempat itu sepi, hanya terdengar suara tembakan sesekali di kejauhan. Hana menatap deretan senjata di meja dengan mata membesar.

“Gue seriusan bakal belajar nembak?” tanyanya, masih sulit mempercayai situasi ini.

Ares menyeringai, mengambil pistol kecil dari meja dan memeriksanya dengan cekatan. “Serius banget. Lo kan udah belajar bela diri, sekarang waktunya lo belajar bertahan dengan cara lain. Gue nggak bakal selalu ada buat nolongin lo, Hana.”

Pernyataan itu membuat Hana terdiam. Kata-kata Ares terasa seperti pukulan telak, tapi ia tahu pria itu benar. Ia mengangguk, menelan ludahnya dengan gugup. “Oke, gue siap.”

Ares berdiri di belakangnya, membimbing Hana memegang pistol dengan benar. “Santai aja. Jangan tegang. Rasain grip-nya, biar tangan lo nyaman.”

Hana menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Kehangatan tangan Ares yang menyentuh tangannya membuatnya sedikit gugup, tapi ia memfokuskan diri pada pistol di tangannya.

“Target pertama ada di depan lo,” kata Ares pelan, suaranya rendah dan menenangkan. “Fokus, lihat sasarannya, dan tarik pelatuknya dengan perlahan.”

Hana menarik napas panjang lagi, menatap target di kejauhan. Ia mencoba mengabaikan suara jantungnya yang berdebar kencang, lalu menekan pelatuknya perlahan.

Bang!

Tembakan pertama meleset jauh dari sasaran, tapi Ares tidak mengatakan apa pun. Ia hanya tertawa kecil. “Santai, cil. Ini baru awal. Lihat gue, gue bakal kasih contoh.”

Hana memperhatikan dengan seksama saat Ares mengambil pistol dari tangannya, berdiri dengan tenang, lalu menembak dengan presisi sempurna. Peluru menghantam target tepat di tengah.

“Gampang, kan?” ujar Ares, menyeringai penuh kemenangan.

“Cih, gaya banget lo,” balasnya ketus. Tapi jauh di dalam hatinya, ada rasa kagum yang sulit ia tolak. Dia harus mengakui, Ares memang jago.

Ares tertawa kecil mendengar nada sinis Hana. Ia meletakkan pistolnya kembali ke meja, lalu menatap gadis itu dengan serius. “Coba lo ulangin lagi, tapi kali ini gue bantu lo.”

Sebelum Hana sempat menjawab, Ares sudah berdiri di belakangnya. Ia mendekat dengan posisi tubuhnya hampir menyentuh tubuh Hana. Tangannya meraih pistol yang berada di genggaman Hana, membimbing jemarinya dengan lembut tapi tegas.

“Lihat targetnya,” bisik Ares pelan di telinga Hana. Suaranya begitu dekat, sampai membuat bulu kuduk gadis itu meremang.

Hana menelan ludah, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila. “Gue bisa sendiri,” ujarnya pelan, tapi tidak ada usaha nyata untuk menjauhkan dirinya dari pelukan Ares.

“Diam aja,” balas Ares sambil sedikit terkekeh. “Fokus ke targetnya, jangan ke gue.”

Hana mendengus kecil, tapi ia menurut. Pandangannya terarah lurus ke target, sementara tangan Ares yang membimbingnya terasa begitu hangat.

“Sekarang, tarik napas dalam-dalam,” bisik Ares lagi, nada suaranya lebih lembut. “Santaiin tubuh lo. Rasain grip-nya, dan perlahan tarik pelatuknya.”

Dengan perlahan, Hana menarik pelatuk pistolnya, di bawah kendali Ares.

Bang!

Tembakan kali ini tepat mengenai sasaran. Peluru menghantam lingkaran tengah dengan sempurna. Hana reflek memutar tubuhnya dan langsung memeluk Ares sebagai selebrasi. "Gue berhasil! Gue berhasil!"

Ares terkejut sesaat, tapi senyum tipis mulai terukir di wajahnya. Tangan yang tadi menggantung di udara akhirnya terulur, menepuk punggung Hana pelan. “Ya, gue juga liat. Hebat lo, cil.”

Menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Dalam waktu kurang dari satu detik, rasa bahagia berubah jadi malu. Hana buru-buru melepas pelukannya, mundur selangkah sambil menundukkan kepala, berharap Ares tak menyadari wajahnya yang memerah.

“Eh, maaf. Gue nggak sengaja,” ucap Hana terbata-bata, menunduk dalam-dalam.

Ares terkekeh, matanya berbinar nakal. “Nggak sengaja, ya? Lo tau nggak, pelukan itu lebih berbahaya daripada peluru gue.”

Bersambung....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!