Sirene polisi meraung memecah malam, lampu biru-merah berkedip menerangi markas Red Dragon yang porak-poranda. Hana, masih terguncang, duduk bersandar di dinding, napasnya tersengal. Dengan Ruka yang merangkul bahunya erat, mencoba menenangkan.
"Tenang, Han. Polisi udah datang."
Di tengah kekacauan, polisi mulai mengamankan dan menggiring mereka semua yang terlibat perkelahian. El dan beberapa anggota Speed Demon tak mampu mengelak ketika tangan mereka diborgol dan diamankan ke kantor polisi.
***
Di kantor polisi, Hana duduk di depan ruang interogasi bersama dengan Ruka yang tampak cemas. Suaminya tengah di interogasi, Ruka takut akan terjadi sesuatu hal yang buruk dengannya. Tangannya gemetar saat Hana dengan lembut menggenggamnya memberikan dukungan.
Didalam ruang interogasi, El menyodorkan ponselnya dan memutar rekaman percakapan jebakan yang sengaja dia rekam saat mengonfrontasi Welly. Suara Welly terdengar jelas, mengungkapkan pengakuan yang sangat mengejutkan.
“Lo yang tusuk dia, kan?” suara El terdengar dalam rekaman itu.
“Mata lo jeli juga, ya? Ya, gue yang nusuk si brengsek itu! Polisi udah bikin cerita sendiri, kasusnya udah ditutup sebagai kecelakaan. Semua orang bakal melupakan Rico,” jawab Welly dengan nada penuh kesombongan.
Polisi mendengar rekaman itu dengan wajah serius. Salah satu petugas mengangguk kepada rekannya. "Kami akan menyelidiki lebih lanjut Terima kasih atas bukti ini."
***
Hari-hari berlalu seperti bayangan kelabu bagi Hana. Polisi akhirnya menetapkan Welly dan beberapa anggota Red Dragon sebagai tersangka pembunuhan Rico Fernando. Rekaman yang diberikan oleh El menjadi bukti tak terbantahkan, menyingkap kebusukan yang selama ini tersembunyi. Tidak hanya itu, rekaman tersebut menyeret beberapa oknum polisi korup yang mencoba menutup kasus tersebut dengan dalih kecelakaan.
Namun, satu misteri masih menggantung. Dalam setiap interogasi, Welly bersikeras bahwa pembunuhan Rico adalah tindakannya sendiri. Ia menolak mengungkapkan siapa pria misterius yang menghasutnya untuk melakukan itu. Bahkan di bawah tekanan hakim, ia tetap mempertahankan cerita yang sama.
“TIDAK ADA YANG MENYURUHKU! AKU MEMBUNUHNYA KARENA AKU INGIN!” seru Welly dengan suara lantang di ruang sidang. Matanya menyala dengan emosi, tetapi nada bicaranya terdengar seperti upaya terakhir untuk menyembunyikan sesuatu.
Hana yang duduk di bangku penonton hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang amarah dan frustrasi yang menyeruak di dadanya. Ia tahu Welly berbohong. Pria itu hanya menjadi tameng untuk seseorang yang lebih besar, seseorang yang menarik tali di balik layar.
Hakim mengetukkan palunya, menghentikan riuh rendah di ruang sidang. “Setelah mempertimbangkan bukti-bukti dan keterangan saksi, pengadilan memutuskan terdakwa, Welly Kusuma, bersalah atas pembunuhan Rico Fernando. Terdakwa dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sidang ditutup.”
Suara palu yang menghentak meja itu seperti memaku semua orang di tempatnya. Welly menunduk dengan wajah datar, tetapi Hana melihat sesuatu dalam tatapannya—sebuah kepuasan aneh, seolah ia senang memikul dosa itu sendirian.
Hana mengepalkan tangannya di pangkuan, kuku-kukunya menekan telapak tangan hingga terasa sakit. "Ini belum selesai. Rico pantas mendapatkan lebih dari sekadar keadilan semu ini."
Ketika ruangan mulai sepi, Ruka menepuk bahunya. “Kita sudah mencoba yang terbaik, Han. Mungkin ini memang akhirnya.”
“Belum, Ruka. Dia melindungi seseorang. Gue tahu itu. Gue akan cari dalang sebenarnya, apa pun yang terjadi.”
Ruka menggenggam jemari Hana erat, "gue mohon Hana, berhenti. Gue nggak mau El terlibat kembali. Demi ponakan lo." Ruka menarik tangan Hana dan meletakkannya di perutnya yang masih datar.
Hana terkejut, menarik tangannya seolah tak percaya. "Lo... lo hamil?"
Ruka mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Iya. Gue baru tahu beberapa hari yang lalu. El belum tahu. Gue bahkan belum sempat ngomong sama dia... Makanya gue mohon, Han. Kalau lo mau terus nyari pria itu, jangan libatkan El lagi. Dia udah cukup terluka karena kehilangan Rico. Dan sekarang, gue mau dia fokus sama study dan calon bayi kita."
Hana terdiam, perasaannya berkecamuk. Di satu sisi, ia merasa bersalah telah menyeret El sejauh ini. Di sisi lain, dorongan untuk menemukan kebenaran tentang Rico masih terlalu besar untuk dihentikan. Ia menatap Ruka, lalu mengangguk pelan. "Gue ngerti, Ruka."
"Sorry kalau gue egois, Han."
Hana menggeleng, lalu tersenyum tipis. "Lo nggak egois. Lo berhak bahagia, Ruka. Jadi, lo bakalan ikut El ke London?"
"Rencananya begitu, gue nggak bisa jauh dari El."
"Dasar bucin! Untung lo hamil pas kelar ujian. Apa jadinya kalau lo hamil pas masih sekolah, hah? Udah gue ingetin ratusan kali, juga masih aja kebablasan."
Ruka tertawa kecil, meskipun pipinya merona malu. "Sorry-sorry. Gue nggak nyangka juga, Han. Tapi sekarang gue cuma mau fokus sama keluarga kecil gue." Tatapannya menjadi serius, menggenggam tangan Hana lebih erat. "Han, janji satu hal sama gue. Jangan sampai lo sendiri terluka, ya?"
Hana menatap balik sahabatnya itu, lalu mengangguk perlahan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa janji itu sulit ditepati. Ia akan lakukan apapun untuk membalaskan dendam kematian Rico, bahkan jika nyawa adalah taruhannya.
Saat mereka keluar dari ruang sidang, Hana memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Ia merasakan dinginnya liontin kecil yang ia tarik dari pria misterius malam itu—satu-satunya petunjuk yang ia miliki sekarang. Liontin itu terukir sebuah inisial kecil di bagian belakangnya, namun hingga kini, ia belum bisa menguraikan apa artinya.
Hana mengangkat liontin itu ke arah cahaya, matanya menyipit seolah ingin menggali rahasia yang tersembunyi di balik benda kecil tersebut. "Gue akan temukan lo, dan gue pastikan lo akan membayar mahal atas apa yang lo lakuin."
***
Langit mendung menggantung di atas pemakaman, menyelimuti suasana dengan kelabu yang seakan menyerap semua warna dunia. Hana berdiri kaku di depan nisan sederhana bertuliskan nama Rico Fernando. Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi ia tidak bergeming. Matanya terpaku pada ukiran itu, setiap huruf terasa seperti belati yang menusuk dadanya.
“Rico,” bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru angin. Kenangan bersamanya tiba-tiba menyerbu pikirannya—senyum hangatnya, tawa renyahnya, cara dia memanggil namanya dengan sayang. Momen-momen kecil yang dulu membuat hidupnya penuh kini hanya meninggalkan rasa sakit yang menusuk.
Air mata yang ia tahan akhirnya mengalir, menelusuri pipinya. Ia mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa perih yang seolah tak berujung. “Kenapa mereka tega ngambil lo dari gue?” lirihnya, suaranya pecah oleh tangisan.
Cukup lama Hana disana hingga rasa rindunya puas terobati. Gadis itu baru meninggalkan pusara sang kekasih melangkah pergi dengan langkah berat. Sepatu hitamnya menyusuri jalanan pemakaman yang basah oleh embun pagi. Ia tahu, dunia tidak akan berhenti berputar untuk meratapi kepergiannya. Tapi bagi Hana, dunia sudah berhenti sejak hari itu.
***
Rutinitas Hana kini tak ubahnya seperti robot tanpa jiwa. Setiap pagi, alarm ponselnya meraung keras, tapi Hana tidak langsung bangun. Ia meraihnya dengan gerakan lamban, menekan tombol mati, lalu kembali terbaring, menatap langit-langit kamar yang terasa lebih sempit dari biasanya.
Setelah beberapa menit menatap kosong, Hana bangkit, menyeret kakinya ke kamar mandi. Pandangannya kabur, tubuhnya terasa berat. Ia bersiap untuk sekolah tanpa antusiasme—hanya bergerak karena tuntutan waktu.
Di sekolah, Hana bukan lagi gadis yang dulu dikenal ceria dan cerewet. Ia hanya duduk di bangkunya, mendengarkan teman-temannya berbicara tanpa benar-benar menyimak. Jika dulu Hana selalu menjadi pusat perhatian dengan candaan dan komentarnya, kini ia menjadi bayangan samar yang hampir tidak terlihat.
"Han, lo mau ikut ke kantin nggak?" Ruka mendekati bangkunya, mencoba memasang senyum. "Ada menu baru, mie level kesukaan lo."
Hana menggeleng pelan tanpa menatap Ruka. "Kalian aja. Gue nggak lapar."
"Han," Ruka menghela napas, lalu menarik kursi untuk duduk di sampingnya. "Lo nggak bisa terus kayak gini. Udah sebulan lebih lo diem terus. Semua orang khawatir, tahu?"
"Gue cuma lagi pengin sendiri, Ruka. Nggak apa-apa, kok."
***
Setiap sore, setelah bel sekolah berbunyi, Hana pulang tanpa sepatah kata. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke kamarnya, mengunci diri. Ibunya sering mencoba mengajaknya berbicara, menawarkan makan malam bersama, atau sekadar duduk di ruang keluarga, tetapi Hana selalu menolak dengan lembut.
Di dalam kamar yang gelap, Hana berbaring di ranjangnya, memandangi dinding kosong. Kadang-kadang, ia mengalihkan pandangan ke foto Rico yang ia letakkan di meja kecil di sudut ruangan. Senyuman Rico di foto itu terasa seperti ejekan, mengingatkan Hana bahwa kebahagiaannya telah direnggut tanpa ampun.
Air matanya tidak lagi mengalir. Hana merasa kering, kosong, dan mati rasa. Kehilangan Rico adalah luka yang menggerogoti dirinya perlahan-lahan, meninggalkan kehampaan yang tidak pernah bisa ia jelaskan.
---
Setelah bel sekolah berbunyi, Hana mengemasi buku-bukunya tanpa bicara. Ia menghindari obrolan dengan teman-temannya, hanya menunduk dan melangkah keluar dari kelas. Tidak ada lagi senyuman atau sapaan ringan yang dulu menjadi ciri khasnya.
Saat tiba di rumah, ia langsung menuju kamarnya tanpa berhenti di ruang tamu atau dapur seperti biasanya.
"Sayang, makan dulu, Nak," suara lembut ibunya menyapa dari dapur, penuh harapan.
"Belum lapar, Ma," jawab Hana singkat sambil terus melangkah ke kamarnya.
"Hana, Mama kangen ngobrol sama kamu," tambah ibunya, mencoba menahan Hana lebih lama.
Hana berhenti sejenak di depan pintu kamar, menoleh setengah hati. "Ma, aku capek. Besok aja ya," katanya pelan sebelum masuk dan menutup pintu.
Di dalam kamar, suasana gelap menyelimuti ruangan, hanya diterangi oleh sinar matahari yang tersisa dari celah tirai. Hana melemparkan tasnya ke sudut ruangan. Pandangannya terpaku pada dinding kosong di depannya, seperti berharap sesuatu akan muncul dan memberikan jawaban atas kekosongan yang ia rasakan.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju lemari dan membuka pintu yang menyimpan kenangan. Di sana, di antara tumpukan pakaian, ada jaket terakhir yang dikenakan Rico sebelum meninggal dunia.
Hana meraih jaket itu dengan tangan gemetar. Ia memeluknya erat, seolah-olah dengan begitu ia bisa merasakan kehadiran Rico di sisinya. Wangi tubuh Rico masih tertinggal di jaket tersebut, memberikan rasa nyaman dan sekaligus menambah kepedihan di hatinya. Air mata kembali mengalir tanpa henti, membasahi jaket yang kini menjadi satu-satunya penghubung antara dirinya dan Rico.
"Gue kangen, yang... Gue harap semua ini cuma mimpi buruk dan saat gue bangun, lo ada di sini, tersenyum seperti biasanya."
Setiap aroma yang tercium dari jaket tersebut membawa Hana kembali pada kenangan-kenangan indah bersama Rico.
Dalam kesendirian dan kesepiannya, Hana mencoba menemukan ketenangan. Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha menerima kenyataan. "Gue harus kuat," katanya pada dirinya sendiri, meskipun hatinya terasa remuk.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Han, Mama boleh masuk?" suara ibunya terdengar lembut namun cemas.
"Aku pengin sendiri, Ma."
"Hana, kamu nggak bisa terus begini. Mama tahu kamu sedih, tapi please jangan berlarut-larut. Rico pasti sedih lihat kamu seperti ini," desak ibunya dari balik pintu.
"Ma, aku baik-baik aja, Mama nggak perlu khawatir."
Hening menyelimuti ruangan untuk beberapa saat sebelum suara langkah kaki ibunya menjauh. Hana memeluk kembali jaket Rico dan memejamkan mata, berharap kegelapan bisa memberinya sedikit kedamaian.
Tapi tidak. Dalam kegelapan itu, hanya ada bayangan-bayangan kenangan yang terus menghantui. Senyuman Rico, tawanya, suara cerianya. Semuanya seperti jarum tajam yang menusuk perlahan, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.
"Kalau aja aku bisa balik ke masa lalu," bisik Hana pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya terlelap dalam kehampaan yang semakin dalam.
Malam itu, Hana tertidur dengan jaket Rico di pelukannya, seolah-olah itu adalah satu-satunya cara untuk tetap merasakan kehadiran kekasihnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments