Bab 20

Mata dengan bulu mata lentik itu bergerak-gerak, perlahan membuka. Hana mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya dengan cahaya matahari yang menerobos masuk dari sela-sela gorden.

Dengan wajah yang masih tampak pucat, gadis itu berusaha bangkit, namun gerakannya tertahan, sesuatu menahan tangannya dengan erat. Hana menunduk perlahan, matanya menangkap sosok Ares yang duduk di lantai, kepalanya bersandar di tepi sofa, tertidur dengan tangan yang masih menggenggam tangan Hana sejak semalam.

Pria itu tampak kelelahan, wajahnya yang biasa terlihat tegas kini tampak tenang, dengan napas yang teratur. Hana memandangnya beberapa saat, ada rasa bersalah yang muncul di hatinya.

Kerika Hana mencoba melepaskan genggamannya dengan hati-hati. Tapi gerakan kecil itu membuat Ares tersadar. Matanya yang gelap dan teduh perlahan terbuka, langsung tertuju pada Hana. Ia tampak sedikit terkejut, namun segera menguasai dirinya.

“Udah bangun,” ujar Ares dengan suara serak khas seseorang yang baru saja bangun tidur. Ia segera duduk tegak, mengusap wajahnya sekilas sebelum menatap Hana penuh perhatian. “Gimana? Apa masih pusing?”

Hana menggeleng pelan, meski sebenarnya tubuhnya masih terasa berat. “Gue... udah enakan, Thanks.” gumamnya dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. Matanya kembali menatap tangan mereka yang masih saling menggenggam, lalu ia menarik tangannya perlahan, merasa canggung.

Ares, yang menyadari gerakannya, segera melepaskan genggamannya. “Maaf,” katanya sambil mengalihkan pandangan. “Gue hanya... takut lo jatuh dari sofa.”

Hana menunduk, perasaannya campur aduk. Ia tahu Ares hanya bermaksud baik, tapi perhatian seperti ini jarang ia terima dari siapa pun sejak kepergian Rico. Ada kehangatan aneh yang menyusup di hatinya, sesuatu yang ia coba abaikan. Namun, suasana itu tiba-tiba pecah oleh suara yang cukup keras—bunyi perutnya sendiri.

Perut Hana berbunyi minta diisi, dan bunyinya nyaris seperti protes keras di tengah keheningan.

Ares yang sedang mengamati Hana, langsung terkekeh. “Laper, ya? Kenceng banget bunyinya,” ledek Ares sambil menyeringai.

Pipi Hana langsung memerah. Ia mencoba menutupi rasa malunya dengan tertawa kecil yang terdengar canggung. “Hehe... mungkin sedikit. Gue nggak sempat makan semalam,” akunya.

“Sedikit?” Ares mengangkat satu alis dengan ekspresi menggoda. “Dengerin aja tuh, cacing-cacing lo udah pada demo.” Ia tertawa kecil lagi, lalu bangkit dari tempatnya duduk. “Oke, cil, gue bakal bikinin lo sarapan. Dapur lo di mana?”

Hana mengangkat tangan, menunjuk ke arah dapur sambil menatapnya dengan ragu. “Tapi... lo bisa masak?”

“Eh, jangan salah. Ganteng-ganteng gini gue juga jago masak. Lo duduk aja, istirahat. Gue bikinin sesuatu yang spesial.”

Tanpa menunggu jawaban, Ares berjalan menuju dapur. Sedangkan Hana, hanya duduk diam, menatap punggung kekar pria itu menjauh.

Tak lama kemudian, suara centong yang beradu dengan panci terdengar riuh dari arah dapur. Hana, yang awalnya berniat menunggu, mulai merasa penasaran. Apalagi, dapurnya adalah salah satu tempat yang paling jarang disentuh orang lain selain ibunya. Dengan langkah pelan, ia akhirnya berjalan menuju dapur, mengintip dari balik pintu.

Di sana, Ares berdiri dengan wajah serius, tengah mengaduk-aduk sesuatu di panci. Sesekali, ia mencicipi kuah yang menguarkan aroma gurih, lalu mengangguk kecil seolah puas dengan hasilnya. Wajahnya tampak begitu fokus, berbeda dari biasanya yang penuh canda dan lelucon.

"Lo nggak lagi ngancurin dapur gue, kan?" tanya Hana sambil menyandarkan tubuh ke kusen pintu.

Ares menoleh, sedikit terkejut mendengar suaranya, tapi tak lama kemudian, senyumnya merekah, memperlihatkan lesung pipit samar di wajahnya. “Tenang aja, aman kok. Lo duduk aja di meja makan. Bentar lagi selesai.”

“Yakin? Jangan sampai gue malah harus bersihin kekacauan yang lo buat, ya.”

Ares tertawa kecil, kembali fokus pada panci di depannya. “Nggak akan, gue punya skill tersembunyi di dapur, tahu.”

Hana menggeleng kecil, akhirnya menyerah pada rasa penasarannya. Ia duduk di kursi meja makan, matanya tetap mengawasi Ares yang sibuk mondar-mandir di dapur. Aroma masakan yang mulai memenuhi ruangan membuat perut Hana kembali bersuara pelan, mengingatkannya betapa lapar ia sebenarnya.

Tak lama kemudian, Ares membawa semangkuk bubur ayam, lengkap dengan kerupuk yang tampak sempurna di atasnya. Ia meletakkannya di depan Hana dengan gerakan penuh percaya diri. “Nih, masterpiece gue. Cobain dulu, terus kasih gue nilai.”

Hana memandangi mangkuk itu sejenak, lalu mengangkat sendoknya, mencicipi sesuap kecil. Matanya membesar sedikit, terkejut dengan rasa yang jauh lebih enak dari ekspektasinya. “Ini… nggak buruk,” komentarnya, meski sudut bibirnya mulai membentuk senyuman.

“Cuma ‘nggak buruk’?” Ares pura-pura tersinggung, lalu duduk di seberangnya. “Gue udah masak sepenuh hati, lo cuma bilang nggak buruk?”

“Oke, oke. Ini enak. Puas?”

Ares tersenyum puas, lalu menopang dagunya dengan tangan, menatap Hana yang mulai makan dengan lahap. Melihat gadis itu menikmati masakannya membuat dadanya terasa hangat. Meski ia sendiri tidak terlalu paham kenapa, ada rasa bahagia yang muncul hanya dengan melihat Hana tersenyum seperti itu.

Tiba-tiba, ponsel di saku celana Ares berdering, memecah suasana tenang di meja makan. Pria itu merogoh sakunya, lalu mengangkat panggilan dengan nada santai.

“Iya, bentar lagi Mas kesana, lima belas menit lagi,” katanya dengan suara tegas. Setelah menutup telepon, ia memasukkan ponselnya kembali ke saku celana.

Hana menatapnya dengan alis terangkat, penasaran. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Ares sudah berbicara. “Gue harus pergi. Zahra nyariin gue,” ucapnya cepat, sambil melepas apron yang sempat ia kenakan saat memasak.

Hana hanya diam, memandangi pria itu yang terlihat terburu-buru. Zahra, ya Ares memang punya Zahra dan tentu saja, gadis itu adalah prioritas utama Ares.

Pria itu sudah berjalan keluar dari dapur, namun tiba-tiba ia kembali lagi, sambil membawa segelas air dan beberapa butir obat di tangannya. Ia meletakkannya di meja, tepat di depan Hana. “Habisin buburnya, terus minum obatnya. Jangan bandel.”

Hana hanya mengangguk pelan, tak tahu harus menjawab apa lagi.

"Good girl." Seru Ares sambil mengacak puncak kepala Hana. "Gue pergi dulu, nggak usah masuk kuliah dulu hari ini, istirahat."

Setelah memastikan semuanya beres, Ares berbalik dan benar-benar keluar dari rumah, meninggalkan aroma masakan yang masih menggantung di udara. Pintu tertutup dengan suara lembut, meninggalkan Hana sendiri di ruang makan yang kini terasa kosong.

Hana memandang mangkuk bubur di depannya. Meski perutnya lapar, seketika nafsu makannya menghilang.

***

“Mas lama banget sih? Tumben-tumbenan telat,” Zahra mengomel sambil melipat tangan di dada. Wajahnya cemberut, pipinya menggembung seperti ikan buntal, membuatnya terlihat lebih lucu daripada marah.

Ares terkekeh kecil, lalu dengan lembut menyentuh pipinya. “Iya, sayang, maaf. Ada urusan mendadak tadi,” jawabnya sambil mencoba menenangkan tunangannya.

“Urusan mendadak apa sampai-sampai lupa jemput aku pagi ini? Kalau aku kena tegur dosen karena telat, Mas harus tanggung jawab, ya.”

“Iya, iya, maaf. Nanti kamu bilang aja ke Mas dosennya, biar Mas tahu siapa yang berani-beraninya tegur tunangan Mas yang cantik ini.”

Zahra menatap Ares curiga. “Memangnya Mas mau apa? Mau marahin dosen aku?”

“Enggaklah. Mas cuma mau tahu aja, dosennya yang mana.”

“Ih!” Zahra mencubit lengan Ares pelan, wajahnya merah seperti tomat. “Mas ini suka banget bikin aku gemes! Jangan macam-macam sama dosen aku, ya.”

Ares tertawa kecil, tangannya dengan santai meraih tangan Zahra untuk menghentikan cubitannya. “Ya nggak lah. Mas nggak bakal bikin masalah. Udah, ayo jalan, nanti kita telat beneran.”

Zahra menghela napas, cemberutnya perlahan menghilang. Meski sering kesal dengan gaya bercanda tunangannya, ia tak bisa benar-benar marah. Pria itu memang punya cara untuk mencairkan suasana, membuatnya tersenyum meski sebelumnya ia berniat untuk ngambek lebih lama.

Saat Ares membuka pintu mobil untuknya, Zahra sempat meliriknya sekilas. “Mas, tadi urusan mendadak apa, sih?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.

Ares hanya tersenyum samar sambil menutup pintu setelah Zahra masuk. “Nggak penting kok, yang penting sekarang Mas udah di sini.”

Namun, saat ia masuk ke mobil dan menyalakan mesin, pikirannya sempat melayang ke wajah Hana yang pucat pagi tadi. Sejenak, ada rasa bersalah yang menyelinap di hatinya, namun ia segera mengabaikannya, fokus pada Zahra yang kini duduk di sebelahnya, bercerita tentang kejadian di kampus.

"Oiyah, tadi Papa minta Mas malam ini buat makan malam di rumah. Udah lama Papa nggak ketemu Mas," ujar Zahra tiba-tiba, memecah keheningan di dalam mobil.

Ares mengangguk tanpa ragu. “Iya, nanti Mas datang,” jawabnya singkat, matanya tetap fokus pada jalan di depan.

Zahra menoleh ke arahnya, senyum tipis bermain di bibirnya. “Mas…”

“Hmmm?” sahut Ares tanpa menoleh.

“Aku udah nggak sabar pengen cepet-cepet lulus kuliah, terus kita nikah,” kata Zahra penuh harap. Matanya berbinar saat membayangkan hari itu, hari di mana ia resmi menjadi istri Ares.

Ares melirik ke arah tunangannya, lalu tanpa berkata apa-apa, ia menggenggam jemari Zahra dengan lembut. “Iya,” ucapnya sambil mengecup punggung tangannya. “Mas juga nggak sabar pengen cepat-cepat nikahin kamu.”

Pipi Zahra langsung merona, rona merah itu menjalar hingga ke telinganya. Ia menggigit bibirnya sendiri, mencoba menyembunyikan senyumnya yang terlalu lebar. “Mas bikin aku malu, tau,” gumamnya, pura-pura sebal.

Ares terkekeh, mencuri pandang ke arah Zahra yang kini sibuk menunduk, memandangi tangannya yang masih digenggam erat. Bagi Ares, ada sesuatu yang menyenangkan dari melihat Zahra seperti ini—ceria, penuh semangat, dan begitu tulus mencintainya. Namun, di sudut hatinya yang terdalam, ada sebuah kegelisahan kecil yang sulit ia abaikan.

Pikirannya kembali melayang, membayangkan Hana yang pagi tadi masih terlihat lemah dengan sisa-sisa demam di wajahnya. Sekelebat bayangan itu membuat Ares mengerutkan kening tanpa sadar, meski ia segera menepisnya. Sekarang, yang ada di hadapannya adalah Zahra—wanita yang ia pilih untuk menjadi masa depannya. Dan ia harus tetap fokus pada itu.

***

“Hana...” Zahra berlari kecil menghampiri sahabatnya yang duduk sendirian di pojok kelas. Wajah Hana terlihat masih pucat, meski ia mencoba tersenyum tipis. “Lo masih sakit? Kenapa nggak izin dulu aja sih?” tanya Zahra dengan nada khawatir.

“Udah dua hari gue nggak masuk, Ra. Takut dosen killer itu nyariin gue,” jawab Hana pelan, mencoba membela diri.

Zahra menghela napas panjang. “Lo lebay banget, Han. Orang sakit tuh fokus buat nyembuhin diri, bukan mikirin dosen killer.”

“Bener tuh,” tiba-tiba suara lain menyahut. Dafa, yang entah sejak kapan berdiri di dekat mereka, ikut menimpali. “Sakit tuh istirahat, bukan malah bikin drama kayak film telenovela.”

Zahra menoleh cepat, menatap Dafa dengan tatapan sebal. “Lo nyambung aja sih, Fa. Orang nggak diajak juga.”

“Gue punya mulut, Rara sayang. Mulut gue gatel kalau nggak nyinyir.” Ia menatap Zahra lebih dekat, ekspresi usil muncul di wajahnya. “Btw, lo abis cipokan sama tunangan lo, ya? Lihat tuh, lipstik lo belepotan.”

“Hah?!” Zahra buru-buru mengeluarkan ponselnya, menghidupkan kamera, dan mengarahkannya ke bibirnya. Matanya membelalak, sibuk memeriksa refleksinya.

Tawa cekikikan langsung pecah dari Dafa, membuat Zahra menoleh tajam. “DAFAAAAA!!!” teriak Zahra kesal, menyadari ia baru saja dikerjai oleh pria gemulai itu.

Bersambung....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!