"Zahra, kenapa nggak masuk aja?" tanya Hana begitu melihat sahabatnya berdiri canggung di teras rumah.
"Gapapa, gue nungguin lo," jawab Zahra dengan senyum tipis.
Hana mengerutkan kening. "Ya udah, ayok masuk. Di luar dingin loh, ntar malah masuk angin." Tanpa menunggu jawaban, Hana menggandeng tangan Zahra, menariknya masuk ke dalam rumah.
Begitu mereka masuk, Hana membawa Zahra langsung ke kamarnya dan mempersilahkan duduk di kasur, sedangkan Hana melepas tas dan jaketnya. "Gue mandi dulu ya. Lengket banget ketek gue habis latihan tadi."
"Hmm..." Zahra hanya bergumam pelan, sibuk menatap sekeliling kamar Hana. Ia tak pernah bosan melihat bagaimana kamar sahabatnya terlihat sangat aesthetic. Di salah satu sudut, ada rak buku kecil penuh dengan novel dan beberapa bingkai foto yang memperlihatkan Hana bersama teman-temannya dan seorang lelaki yang Zahra langsung tahu jika laki-laki itu adalah Rico, pacar Hana yang sering diceritakan.
Hana melirik Zahra sebelum melangkah ke kamar mandi. "Jangan aneh-aneh ya di kamar gue," ujarnya setengah bercanda.
"Lo pikir gue mau ngapain?"
Setelah Hana masuk kamar mandi, Zahra membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan. Pandangannya kini tertuju pada bingkai foto di atas rak buku. Ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekat, lalu melihat-lihat foto yang terpajang disana.
Zahra tersenyum kecil sambil memandangi foto-foto yang tersusun rapi di rak buku. Tangannya dengan hati-hati mengambil salah satu bingkai yang memuat foto Hana dan seorang pria berambut cepak dengan senyum lebar. Foto itu terlihat diambil saat sebuah acara outdoor, keduanya mengenakan kaos putih yang tampak seragam.
"Hana lucu banget waktu sekolah, kelihatan chubby dan imut," gumam Zahra, jari-jarinya menyentuh kaca bingkai. Pandangannya berpindah ke pria di foto itu. "Rico... Kasihan cowok ini. Padahal ganteng banget, tapi Allah sepertinya lebih sayang dia." Ujarnya dengan nada sedih, mengenang cerita tragis tentang pria yang pernah begitu dekat dengan sahabatnya.
Ia mengembalikan bingkai itu ke tempat semula, lalu melanjutkan memeriksa rak buku. Mata Zahra tertarik pada koleksi buku yang tersusun rapi di rak tengah. Dominasi novel romantis langsung terlihat, dengan judul-judul populer yang sering menjadi bahan perbincangan di kalangan pembaca. Ada juga beberapa buku motivasi, yang membuat Zahra tersenyum kecil. "Tipikal Hana, selalu butuh sesuatu buat membangun semangatnya," gumamnya.
Di antara novel dan buku motivasi, Zahra menemukan beberapa komik dengan sampul warna-warni yang menghidupkan rak itu. "Nggak nyangka Hana masih suka baca komik," ucapnya pelan sambil menarik salah satu komik berjudul Orange. Ia membalik-balik halamannya dengan santai, mengingat bagaimana ia dulu juga sering membaca cerita-cerita seperti ini di sekolah.
Namun, saat tangannya menyentuh sudut rak, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah buku kecil, tanpa judul atau hiasan di sampulnya, terlihat agak tersembunyi di balik tumpukan novel. Zahra menariknya keluar. Itu bukan buku biasa—terlihat seperti jurnal atau buku catatan pribadi.
“Jangan-jangan ini diary Hana?” pikir Zahra.
Rasa ingin tahu membuat tangannya sedikit gemetar saat memegang buku itu. Tapi sebelum ia sempat membuka halaman pertamanya, suara pintu kamar mandi terbuka. Zahra dengan cepat meletakkan buku itu kembali ke tempatnya dan mengambil komik di tangannya, pura-pura asyik membaca.
"Kok lo diem aja?" suara Hana memecah keheningan. Gadis itu muncul dengan rambut basah dan handuk melilit tubuhnya, membawa hawa segar setelah mandi.
Zahra tersenyum kecil tanpa menoleh. "Nggak, gue lagi liat koleksi lo. Lo ternyata pecinta komik juga, ya?"
Hana tertawa kecil sambil mengeringkan rambutnya. "Kadang-kadang. Komik lebih enak dibaca pas lagi stres. Nggak terlalu berat kayak novel."
"Iya gue setuju."
"Lo mau cerita apa? Kayaknya nggak mungkin deh lo kesini cuma mau baca komik doang." Todong Hana, sambil mendudukkan bokongnya di kasur.
Zahra meletakkan komik yang dipegangnya ke atas meja, lalu mendekati Hana dengan langkah mantap. "Han, gue mau curhat tentang Mas Ares," katanya dengan nada serius, wajahnya terlihat tidak nyaman.
"Kenapa sama tunangan lo?"
"Gue ngerasa mas Ares punya cewek lain deh."
"Heh?" Hana tersentak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. "Maksud lo apa? Dia selingkuh?"
Dengan raut wajah yang sedih, Zahra mengangguk pelan. "Sepertinya gitu, Han. Tadi gue nemuin gelang cewek di mobilnya. Terus pas gue tanya, dia bilang itu milik sepupunya."
"Terus apa yang salah, Ra? Lo jangan asal nuduh deh. Gimana kalau gelang itu emang milik sepupunya?" Hana mencoba memberikan argumen.
"Nggak mungkin! Sepupunya itu tomboy, sama sekali nggak mungkin dia pakai gelang cewek yang girly banget." Raut wajah Zahra semakin serius, menunjukkan betapa ia meyakini instingnya.
Hana mengerutkan kening, berusaha memahami situasi sahabatnya. "Tapi, Ra, lo bisa salah paham. Mungkin ada penjelasan lain yang logis."
"Nggak mungkin, sepupunya itu tomboy macam Yuna. Nggak mungkin dia pakai gelang cewek yang girly banget."
Hana terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja diungkapkan Zahra. Ia mengenal Ares sebagai pria yang penuh misteri, tetapi selama ini tak pernah melihat tanda-tanda bahwa lelaki itu akan berbuat seburuk itu. Namun, melihat raut wajah sahabatnya yang tampak rapuh, ia tahu ini bukan saatnya untuk meragukan Zahra.
"Ra, lo yakin banget sama feeling lo?" tanya Hana akhirnya, duduk di samping Zahra yang menunduk murung.
Zahra mengangguk pelan, tangannya memegang ujung bajunya sendiri, tampak gelisah. "Iya, Han. Gue tahu ini cuma gelang, tapi... entah kenapa gue ngerasa ada yang aneh. Mas Ares juga belakangan jadi agak beda, kayak suka ngelamun kalau lagi sama gue."
"Kalau lo udah yakin ada yang nggak beres, lo mau ngapain? Mau langsung tanya dia lagi?"
"Gue takut, Han..." bisik Zahra dengan suara yang hampir tak terdengar. "Kalau gue salah nuduh, dia pasti marah. Tapi kalau gue bener... gue nggak tahu harus ngapain."
Hana menghela napas, menepuk pelan pundak Zahra. "Dengerin gue ya, Ra. Kalau lo memang ngerasa nggak nyaman, lo punya hak buat tahu kebenarannya. Tapi jangan asal tuduh. Lo harus cari bukti dulu. Kalau cuma gelang, itu belum cukup."
Zahra mengangkat wajahnya, menatap Hana penuh harap. "Jadi gue harus gimana, Han?"
"Lo harus observasi dulu. Perhatikan dia lebih dekat, cari tahu kalau ada tanda-tanda lain. Tapi jangan gegabah, oke? Kadang kita suka salah tangkap cuma karena emosi," saran Hana.
Zahra terdiam beberapa saat, tampaknya mencerna saran Hana. "Lo bener, Han. Mungkin gue harus lebih sabar dulu. Tapi kalau gue nemuin bukti lagi, gue harus apa?"
"Kalau udah ada bukti kuat, baru lo omongin baik-baik. Jangan tunggu lama-lama. Hubungan harus dibangun di atas kejujuran, Ra. Kalau dia beneran selingkuh, lebih baik lo tahu sekarang daripada nanti," jawab Hana, matanya menatap Zahra dengan serius.
Zahra mengangguk perlahan. "Iya, Han. Gue bakal coba. Makasih ya... Gue lega bisa curhat sama lo."
"Tenang aja, Ra. Gue selalu ada buat lo," kata Hana sambil memeluk Zahra dengan erat. Namun, di dalam hati, Hana merasa ada sesuatu yang mengganjal disini, tapi entah itu apa.
***
Hari-hari Hana kini lebih sibuk dari biasanya. Setiap usai kuliah, gadis itu segera bergegas menuju dojo tempat dia berlatih karate. Keterampilan bela diri bukan hanya sekadar hobi baginya; itu adalah kebutuhan yang tak terelakkan. Dia bertekad untuk menguasai ilmu bela diri dalam waktu tiga bulan.
Hana merasakan semangatnya meningkat setiap kali dia menginjakkan kaki di dojo. Di sana, suara teriakan dan ketukan kaki di tatami bergema, menciptakan suasana yang penuh energi dan motivasi. Setiap kali pelatih Rendy memberikan instruksi, Hana berusaha menyerap setiap kata dan menerapkannya dengan semaksimal mungkin.
Satu hal yang selalu membuatnya bersemangat adalah tantangan dari teman-teman barunya di dojo. Mereka tidak hanya sekadar berlatih bersama, tetapi juga saling memberi dukungan. Yuna, yang awalnya hanya menemani, kini menjadi partner latihan yang tak terpisahkan. Setiap kali Hana mulai merasa lelah, Yuna selalu ada untuk memotivasi, baik dengan canda tawa atau dengan tantangan baru.
"Lo siap untuk sparring lagi, Han?" tanya Yuna dengan senyuman lebar, matanya berbinar penuh semangat.
Hana mengangguk, berusaha terlihat percaya diri meskipun keringat mengalir di dahi. "Iya, ayo! Kali ini gue nggak mau kalah!"
Dengan semangat yang membara, keduanya melangkah ke pusat tatami, area latihan yang dikhususkan untuk sparring. Suara langkah kaki dan suara napas yang terengah-engah mengisi udara, menciptakan suasana yang penuh antisipasi. Hana bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat saat dia bersiap menghadapi Yuna.
Yuna, yang lebih berpengalaman, berdiri tegak dengan sikap percaya diri. "Ingat, Han, jangan terlalu tegang. Santai saja, ikuti alur gerakan," ujarnya sambil menatap Hana dengan serius.
Hana mengangguk, berusaha mengingat semua teknik yang telah dia pelajari. Pelatih Rendy selalu menekankan pentingnya ketenangan dalam bertarung. "Oke, mulai ya!" seru Yuna, dan tanpa menunggu lebih lama, dia melangkah maju, mengayunkan tangan ke arah Hana dengan cepat.
Hana menghindar, mencoba menangkis serangan Yuna dengan lengan. Keduanya bergerak lincah, berputar dan melompat, saling menukar serangan dan tangkisan. Hana merasa adrenaline mengalir deras dalam tubuhnya. Setiap serangan dan setiap gerakan memberi tantangan baru, namun dia bertekad untuk tidak menyerah.
“Bagus, Han! Lo udah belajar!” teriak Yuna, memberi semangat saat Hana berhasil menghindar dari serangan lain dan membalas dengan tendangan ringan. Namun, tidak lama setelah itu, Yuna berhasil menyenggol Hana, membuat gadis itu terhuyung ke belakang.
“Wah, lo masih harus banyak latihan!” Yuna menggoda, tawa kecilnya mengalun di udara.
Hana mengerutkan dahi, menahan rasa kesal dan lelah. “Gue nggak mau kalah!” Dia bangkit, menegakkan punggungnya dan bersiap untuk kembali berhadapan. “Ayo, Yun! Ini belum selesai!”
Dengan semangat yang kembali berkobar, Hana melangkah maju. Mereka berdua bertanding dengan intens, saling berusaha mengeluarkan kemampuan terbaik. Setiap kali Hana merasa kelelahan, ingatan akan impiannya untuk bisa membela diri dan menjaga orang-orang terkasih membangkitkan kembali semangatnya.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang penuh adrenalin, mereka berdua terhenti, napas terengah-engah.
Senyum lebar muncul di wajah pelatih Rendy, “Bagus Hana, walaupun masih harus belajar banyak, tapi kemampuan mu mulai mengimbangi Yuna. Pertahankan!”
“Siap, Sensei!” jawab Hana penuh semangat, merasakan gelora kebanggaan di dalam dirinya.
“Oiyah, karena mulai minggu depan saya akan sibuk dengan persiapan lomba, mulai besok kamu dilatih oleh teman saya ya, Han. Dia lebih jago daripada saya, dan saya yakin kamu akan lebih cepat menguasai ilmu dan teknik dengannya.”
“Siap, Sensei!” Hana mengulangi dengan antusias, meskipun di dalam hati muncul rasa gugup. "Siapa teman Anda?"
“Dia seorang mantan juara nasional, jadi tidak perlu di ragukan lagi kemampuannya. Dan juga, dia mungkin terlihat menakutkan, tapi sebenarnya dia sangat baik,” Rendy menjelaskan, sambil tersenyum. “Jadi, jangan khawatir!”
Yuna yang mendengar informasi itu melirik Hana dengan wajah bercanda. “Wah, lo bakal dilatih oleh juara nasional! Harus siap-siap ya, Han. Jangan sampe bikin malu!”
Hana hanya mengangguk, berusaha menampilkan wajah percaya diri. Meskipun dalam hatinya, keraguan mulai merayap. “Gue pasti bisa. Ini kesempatan buat gue belajar lebih banyak,” pikirnya, memotivasi diri.
Setelah latihan selesai, mereka berdua duduk di sudut dojo, mendinginkan diri. Hana masih memikirkan kata-kata Rendy dan harapan yang baru saja ditanamkan padanya.
“Lo pasti bisa, Han. Gue percaya sama lo,” Yuna menepuk bahu Hana dengan penuh semangat, seakan tahu apa yang sedang berkecamuk di benak sahabatnya.
“Thanks, Yun. Gue akan berusaha keras. Gue pengen bener-bener bisa bela diri.”
***
Hari yang dinantikan Hana akhirnya datang juga, sayangnya karena pelatihnya diganti, Yuna jadi malam ikut berlatih. Tak menyurutkan semangat, Hana datang seorang diri.
Sesampainya di dojo, suasana terlihat lebih sepi dibandingkan biasanya. Hana menghela napas dalam-dalam, "dasar, kayaknya cewek-cewek ganjen itu cuma pada ngincer sensei Rendy. Lihat nih, mentang-mentang sensei Rendy nggak ngajar, pada malas-malasan." Gerutunya sambil menaiki tangga demi tangga menuju lantai dua.
Dengan langkah mantap, ia memasuki ruangan latihan, mendadak harapannya seketika sirna ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di depan.
"Elo???" Hana terkejut, suaranya nyaris tak terdengar. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan wajah familiar, yang telah membuatnya merasa tidak nyaman di beberapa kesempatan sebelumnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments