"Maksud kalian…" Kata-kata Hana tercekat di tenggorokan, seolah ada beban besar yang mengganjal di sana. Tubuhnya gemetar, dan tangan kecilnya mengepal erat, seolah mencoba menahan rasa sakit yang begitu menyayat hati.
"Kematian Rico… ditutup sebagai kecelakaan?" Hana mengulanginya lagi.
El—Ketua Speed Demon, mengangguk pelan, "Polisi tidak menemukan cukup bukti untuk menuntut Welly atau anggota Red Dragon. Semua saksi mengarah pada kesimpulan bahwa ini adalah kecelakaan dalam balapan liar."
"Nggak! Itu bukan kecelakaan! Mereka menyerangnya! Gue lihat dengan mata gue sendiri Rico dipukuli sampai mati! Dan luka itu, bukan luka tertusuk besi seperti yang mereka bilang. Polanya berbeda." Hana mengambil ponselnya lalu membuka foto dan video yang menunjukkan luka tusuk di perut Rico.
"Lihat ini!" ujar Hana, jemarinya menunjuk gambar yang terlihat jelas di layar. "Kalau ini memang tusukan besi seperti yang mereka bilang, kenapa bentuk lukanya seperti ini? Luka ini lebih mirip tusukan belati, El! Bukan luka yang disebabkan oleh logam runcing di arena balapan!"
El, yang biasanya tangguh dan tegas, kini hanya bisa terdiam. Matanya terpaku pada layar ponsel itu, meneliti setiap detail luka yang ditunjukkan Hana. Ia melirik Sammy di sebelahnya.
Suasana tiba-tiba menjadi sangat sunyi, El menghela napas panjang, pandangannya kembali ke Hana yang masih menatapnya dengan penuh tekad.
"Kalau ini tusukan belati," gumam El pelan. Matanya menyipit, meneliti luka sayatan sekitar empat centimeter itu pada layar ponsel Hana. "Berarti kemungkinan besar... ada oknum polisi yang menutupi kasus ini."
Ruangan itu kembali sunyi, El mengusap dagunya, pikirannya mulai menyusun potongan-potongan teka-teki yang selama ini terasa samar.
"Welly nggak mungkin bekerja sendiri," sahut Sammy—Mekanik Speed Demon, tiba-tiba, memecah keheningan. "Gue tahu dia nggak seberani itu. Kalau dia sampai menyerang Rico dengan cara seperti itu, pasti ada yang memengaruhinya."
"Lo tahu sesuatu, Sam?"
Sammy mengangguk pelan, "Gue denger dari Rico beberapa hari sebelum kejadian... Welly sering terlihat dekat dengan seseorang. Gue nggak tahu siapa orang itu, tapi Rico bilang ada yang aneh. Katanya, Welly jadi lebih percaya diri, kayak ada yang 'backup' dia dari belakang."
"Jadi, lo pikir orang itu yang menghasut Welly untuk bertindak seperti ini?"
"Bisa jadi," jawab Sammy sambil mengangkat bahu. "Welly bukan tipe orang yang punya nyali besar untuk bergerak sendirian, apalagi sampai nekat membunuh Rico di depan umum. Ini pasti kerjaan orang yang lebih besar, lebih berkuasa."
"Brengsek!!!" El mengumpat keras, tinjunya menghantam meja hingga membuat semua orang di ruangan itu tersentak. Amarah terpancar jelas di matanya, rahangnya mengeras menahan gejolak emosi yang hampir tak terkendali. "Gue harus bongkar ini semua. Nggak peduli apapun itu!"
Ia berbalik menatap Sammy dengan tajam, seperti memberikan perintah yang tak bisa ditolak. "Kumpulin semua anggota, gue nggak mau ada yang ketinggalan. Kita harus tegakkan keadilan buat Rico, apapun risikonya."
Sammy mengangguk tanpa ragu. "Siap, bos. Gue bakal panggil mereka sekarang juga." Tanpa membuang waktu, dia mengambil ponselnya dan mulai menghubungi anggota geng satu per satu.
"El, lo yakin mau ngelakuin itu malam ini juga? Kita bahkan belum tahu siapa dalangnya, gimana kalau—"
"Han, Rico bukan cuma temen gue, dia saudara gue. Gue nggak bisa diem aja sementara orang-orang brengsek itu bebas berkeliaran."
Hana menunduk, menggigit bibir bawahnya. Ia ingin membantah, ingin meminta El untuk lebih berhati-hati, tapi ia tahu percuma. Ketika El, si keras kepala itu sudah mengambil keputusan, tak ada yang bisa menghentikannya.
***
Malam itu juga, semua anggota Speed Demon berkumpul di markas. Suasana terasa tegang, meskipun wajah-wajah mereka menunjukkan keberanian, tak bisa disangkal ada rasa khawatir yang mengintip di baliknya.
El berdiri di tengah-tengah dengan gagah berani, suaranya lantang ketika ia berbicara. "Kita nggak di sini cuma buat balapan. Kita di sini karena satu hal: keadilan buat Rico. Gue tahu ini berbahaya, tapi gue nggak akan mundur. Kalau ada di antara kalian yang nggak mau ikut, gue nggak bakal maksa."
Namun, tidak ada yang pergi. Semua anggota Speed Demon tetap berdiri tegak, menunjukkan solidaritas yang luar biasa.
"Baik," kata El sambil mengangguk pelan. "Kita mulai malam ini. Kita tegakkan keadilan untuk saudara kita, Rico Fernando."
Sorak-sorai kecil memenuhi ruangan, memecah ketegangan. Semua bersiap untuk pertempuran paling berbahaya dalam hidup mereka.
***
Hana mulai gelisah ketika menyaksikan rombongan Speed Demon yang dipimpin El keluar dari markas. Sorot mata mereka penuh dengan amarah, tekad untuk membalaskan dendam Rico terlihat jelas. Tapi di hati Hana, ada rasa takut yang semakin mencekam. Takut jika ada korban terjatuh lagi.
“Ini nggak boleh terjadi,” gumam Hana. Tangannya gemetar saat merogoh ponselnya dari dalam jaket. Ia membuka kontak dan segera mencari nama yang bisa ia percayai saat ini—Ruka istri El.
Telepon tersambung setelah beberapa dering. "Halo?" suara Ruka terdengar di ujung sana.
"Ruka... Lo harus lakukan sesuatu. El bawa semua anggota Speed Demon buat nyerang markas Red Dragon."
"Apa?!" Ruka hampir berteriak. "Kapan? Kenapa gue nggak dikasih tahu?!"
"Barusan," Hana berkata terburu-buru. "Mereka nggak mikir panjang, Ruka. Gue nggak mau ada pertumpahan darah lagi. Gue nggak mau ada yang mati lagi."
Ruka terdiam sejenak, mencoba memahami situasi. "Lo di mana sekarang?" tanyanya cepat.
"Di markas Speed Demon. Gue nggak bisa nahan mereka."
"Gue kesana sekarang," ucap Ruka tegas. Tanpa menunggu jawaban Hana, Ruka menutup telepon.
Hana menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Ia menatap jauh keluar, bayangan perkelahian, luka, dan kehilangan kembali menghantuinya.
"Rico, maafin gue," bisiknya, air mata mengalir pelan di pipinya. Ia hanya berharap kali ini semuanya tidak berakhir tragis seperti sebelumnya.
***
Hana mengepalkan tangan erat di pangkuannya, tubuhnya sedikit gemetar saat mobil yang dikemudikan Ruka menyusuri jalanan yang semakin sepi dan gelap. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah mengingatkan betapa besar risiko yang mereka hadapi malam ini.
"Lo yakin di sini?" tanya Ruka, matanya waspada mengamati sekeliling.
"Iya," jawab Hana dengan suara bergetar. Ia menunjuk ke depan, ke arah jalan kecil yang nyaris tak terlihat. "Belok kiri di ujung jalan. Ada bengkel di sana. Itu markas Red Dragon."
Ruka menekan pedal rem perlahan, membelokkan mobilnya sesuai arahan Hana. Jalan sempit itu terasa seperti lorong menuju jurang bahaya. Ketika mereka tiba di ujungnya, sebuah halaman luas dengan motor-motor berjejer memenuhi pandangan mereka.
"Itu tempatnya," bisik Hana, menunjuk ke arah bangunan kecil dengan cahaya neon merah suram bertuliskan 'Red Dragon Garage'. Tulisan itu berkedip-kedip, seolah mencerminkan atmosfer gelap di dalamnya.
Ruka menghentikan mobil beberapa meter dari bengkel tersebut. Ia menatap ke depan, mendengarkan suara riuh samar yang berasal dari dalam bangunan. Sorak-sorai kasar bercampur dengan dentingan logam yang jatuh membuat suasana semakin mencekam.
"Lo yakin mereka di sini?"
Hana mengangguk cepat. "El bawa semua anggota Speed Demon. Gue yakin mereka ada di sini."
"Ayo, kita cari El. Jangan bikin gerakan mencurigakan."
Hana melangkah keluar, tubuhnya terasa gemetar. Ia mengikuti Ruka dari belakang, berjalan mengendap-endap mendekati bengkel itu. Semakin dekat, suara benturan dan jeritan menjadi lebih jelas. Jantung Hana berdebar kencang, tangannya gemetar saat ia mencoba mengintip ke dalam melalui celah pintu yang sedikit terbuka.
Pemandangan di dalam membuatnya tercekat sesaat. Beberapa pria tergeletak di lantai, beberapa mengerang kesakitan, sementara yang lain terlihat pingsan dengan darah mengalir dari tubuh mereka. Bau anyir bercampur dengan oli membuat perut Hana terasa mual.
Ruka menatap Hana dengan wajah serius. "Kita telat," gumamnya penuh penyesalan.
"Yakin mau masuk?"
Ruka mengangguk. "Kalau nggak, El bisa mati di sana."
Dengan hati-hati, mereka mendorong pintu lebih lebar, melangkah masuk ke ruangan penuh kekacauan. Hana menahan napas, matanya menyapu seisi ruangan yang kacau itu. Di tengah ruangan ia menemukan, Sammy terlihat menghajar Welly tanpa ampun.
"Mana El?" tanya Ruka panik begitu masuk ke ruangan tersebut.
Seorang anggota Speed Demon yang bersandar di dinding dengan wajah penuh luka mengangkat tangan lemah, menunjuk ke halaman belakang. "Bos... ada di sana..." Setelah itu, pria tersebut jatuh tak sadarkan diri.
Hana merasakan dadanya semakin sesak. Tanpa menunggu arahan lagi, ia berlari melewati puing-puing dan tubuh-tubuh yang terkapar, menuju halaman belakang menyusul Ruka yang berlari pontang-panting.
Ketika sampai di sebuah gudang, pemandangan yang ia lihat membuat langkahnya terhenti.
“Ruka…” bisiknya, matanya membelalak saat melihat sahabatnya tengah menahan El yang berusaha menerjang seseorang yang tergeletak di lantai. Darah mengalir di sekitar pria itu, bercampur dengan kotoran di lantai gudang. Sedikit lagi, dia bisa menyingkap hoodie yang pria misterius itu kenakan, namun istrinya terlebih dahulu menariknya.
"Lepas Ruka, gue harus tahu siapa brengsek yang udah mempengaruhi Welly sampai tega ngebunuh Rico!" balas El dengan suara penuh kebencian, meronta untuk melepaskan diri dari genggaman Ruka.
“El, cukup! Lo mau bunuh dia?”
"Dia pantas mati! Lepasin Ruka!"
"Nggak El, gue nggak mau lo jadi pembunuh! Sadar El." Ruka terus mengingatkan.
Ditengah perdebatan El dan Ruka, mereka tak sadar jika pria berhoodie itu memanfaatkan kesempatan untuk menyandera Hana. Pria itu bangkit dengan cepat, lalu tanpa mereka sadari lengan besarnya tiba-tiba melingkari tubuh Hana dari belakang, dan dinginnya logam pipa besi yang menjadi senjatanya melingkar di leher Hana.
"Aaaaa—" Hana mencoba berseru, tetapi suara seraknya tertahan. Matanya membesar saat ia menyadari pria misterius yang sebelumnya dihajar El kini mencengkeramnya dengan kekuatan penuh.
"El!" jerit Hana, "Tolong!"
El dan Ruka kompak menoleh, mereka membeku sejenak, menyadari situasi lengah yang mereka ciptakan. "Shit!" Umpat El kesal, ia melangkah mendekat. "Lepasin dia!"
Pria misterius itu tersenyum miring, mencengkeram leher Hana lebih erat dengan pipa besi dinginnya. "Satu langkah lagi, dan gadis ini akan menemani si brengsek Rico di liang lahat." ancamnya.
Hana meronta, mencoba melawan, tetapi kekuatannya tak sebanding. Napas pria itu terdengar kasar dan berat di telinga Hana, seperti predator yang mencium aroma kemenangan.
"El... tolong..." bisik Hana ketakutan, tubuhnya mulai lemas dan pasrah diseret.
El berdiri terpaku, tangannya terkepal hingga buku-bukunya memutih. Wajahnya penuh kebingungan antara melawan atau menahan diri.
Sementara diluar sana, suara sirene polisi mulai terdengar dari kejauhan, membuat suasana semakin tegang.
Pria misterius itu makin panik. Ia mengencangkan pipa besi di leher Hana sambil menyeret gadis itu mundur.
"Aaaah...." Hana yang kesakitan mengerang rendah.
Tak mampu lagi menahan diri, El nyaris melompat maju. Namun suara Ruka yang melengking, memotong langkahnya. "Berhenti, El! Hana bisa mati!"
"Shit!" El berhenti, tangannya terkepal kuat, rahangnya mengatup keras saat melihat pria berhoodie itu kabur, menyeret Hana ke luar gudang tanpa bisa berbuat apa-apa lagi.
Hana yang menjadi tawanan, tak diam saja. Ia terus mencoba melawan, tubuhnya memberontak dengan sisa-sisa kekuatannya yang hampir habis. Namun, pipa besi yang melingkar di lehernya semakin menekan, membuat napasnya tercekik.
"Diam, atau mau gue kirim lo ke neraka sekarang juga?" suara pria itu menggema di telinga Hana, dingin dan penuh ancaman.
Hana terdiam, tubuhnya bergetar. Ia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian, tetapi tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melawan.
Setelah merasa cukup jauh dari gudang, pria misterius itu berhenti sejenak, lalu dengan kasar mendorong Hana ke tanah. Tubuh gadis itu terlempar, kedua lutut dan telapak tangannya menghantam permukaan kasar yang penuh serpihan batu kecil. Rasa sakit menjalar cepat, tetapi gadis itu hanya bisa mengerang pelan.
Pria itu tidak berkata apa-apa lagi. Dengan langkah cepat, ia melesat masuk ke dalam bayangan malam, menghilang seperti hantu yang menelan dirinya sendiri dalam kegelapan.
Hana terbaring lemah, dadanya naik turun saat ia berusaha mengatur napas. Sakit di lutut dan tangannya terasa menyengat, tetapi ia mencoba untuk bangkit. Saat itulah ia merasakan sesuatu di genggaman tangannya—rantai kalung yang terputus.
Di tengah kepanikannya, Hana ternyata tanpa sadar meraih kalung yang tergantung di leher pria itu. Ia menatap benda kecil itu di telapak tangannya dengan tatapan penuh tanya. Liontin yang menggantung pada rantai itu terlihat sederhana, tetapi ada ukiran aneh di permukaannya—simbol yang tidak ia kenali.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments