Bab 14

Langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba berubah muram, diiringi hujan deras yang turun tanpa ampun. Kilatan petir menyambar-nyambar, menerangi kegelapan malam sesekali dengan cahaya putih yang memekakkan mata. Suara gemuruhnya memantul dari gedung-gedung di sekitar, menciptakan suasana yang menegangkan.

Hana berdiri di depan halte kecil di dekat rutan, melipat kedua tangannya di dada untuk sedikit menghalau hawa dingin yang menembus pakaiannya. Rambutnya yang sebagian terurai mulai basah, meskipun ia berusaha berdiri di bawah atap halte.

Ia menghela napas panjang, melirik layar ponselnya untuk kesekian kali. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.37. "Sudah lebih dari satu jam," gumamnya pelan, sedikit frustasi.

Pesanan taksi onlinenya sudah dibatalkan beberapa kali oleh para pengemudi. Tidak heran—hujan yang turun begitu deras membuat siapa pun enggan keluar rumah, apalagi berkendara dalam kondisi seperti ini. Hana bisa memahami alasan mereka, tetapi tetap saja, rasa kesal dan lelah mulai menjalari tubuhnya.

"Sial, kenapa tiba-tiba hujan deras sekali?" Umpatnya. Ia merapatkan tangannya di dada, matanya sesekali melirik jalanan yang basah dan nyaris sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, sebagian besar melaju cepat, seolah ingin segera lepas dari jebakan cuaca buruk ini.

Ia kembali menyalakan ponselnya, harapan satu-satunya adalah minta jemput orang tuanya. Namun, saat memanggil kontak sang ayah, ponselnya mendadak mati kehabisan daya.

"Yang benar saja, kenapa hari ini menyebalkan sekali sih!" Kesal, Hana memasukkan ponselnya asal kedalam tasnya.

Petir kembali menyambar, kali ini lebih dekat, membuat Hana refleks memejamkan mata. Di tengah ketegangan, sebuah suara klakson mobil terdengar dari kejauhan. Hana membuka matanya, menoleh cepat. Sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari tempat ia berdiri.

Kaca jendela mobil itu perlahan turun, memperlihatkan wajah yang sudah tak asing lagi bagi Hana. Ares.

"Lo mau sampai kapan di sini? Naik!" titahnya.

Hana hanya diam, menatapnya dengan bingung.

"Masuk buruan," lanjut Ares sambil berteriak.

Setelah beberapa detik terdiam, Hana akhirnya melangkah mendekat ke mobil hitam itu. Ia tahu, di tengah kondisi seperti ini, Ares adalah satu-satunya orang yang bisa ia andalkan—mau tidak mau.

Saat tangannya membuka pintu belakang, suara Ares yang tegas langsung menghentikan gerakannya.

"Gue bukan supir. Duduk di depan!"

Hana menghela napas, menahan diri untuk tidak melontarkan komentar. Dengan enggan, ia berjalan ke sisi depan dan membuka pintu penumpang. Aroma khas interior mobil langsung menyergap, bercampur dengan jejak tipis wewangian yang entah kenapa terasa menenangkan.

Begitu Hana duduk di kursi penumpang, Ares menoleh sekilas, lalu tanpa banyak bicara melepas jaket hitam yang ia kenakan. Ia menyodorkannya pada Hana dengan gerakan tegas.

"Pakai ini, pakaian lo basah," katanya singkat.

Hana menolak dengan cepat, meski ada sedikit gemetar di suaranya akibat dingin yang mulai meresap ke tulangnya. "Nggak perlu. Gue nggak apa-apa."

Namun, Ares tak menggubrisnya. Matanya menatap lurus ke depan, meski ucapannya berikutnya membuat darah Hana serasa berhenti. "Pakai aja. Gue nggak akan fokus nyetir kalau harus terus lihat pakaian lo tembus pandang gitu."

Refleks, Hana langsung menunduk, memeriksa dirinya. "Sial!" gumamnya, wajahnya memanas dalam sekejap. Kemeja putih yang ia kenakan kini basah kuyup dan menjadi transparan. Bra hitamnya terlihat jelas di balik kain yang menempel di kulitnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Hana mengambil jaket dari tangan Ares dan langsung mengenakannya, berusaha menutupi tubuhnya secepat mungkin. Aroma jaket itu—aroma khas Ares, campuran maskulin yang samar—membuatnya sedikit salah tingkah, meski ia berusaha tak memperlihatkannya.

"Thanks," gumam Hana pelan, nyaris tak terdengar.

Ares mengangguk kecil, sudut bibirnya sedikit terangkat, meski ia tak berkata apa-apa. Ia kembali memfokuskan pandangannya ke jalan di depannya, sementara Hana berusaha mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa lebih berat dari biasanya.

Di dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara hujan deras menghantam kaca mobil, Ares membuka percakapan. "Daerah itu rawan, lain kali jangan nekat sendirian di tempat kayak tadi, apalagi malam-malam."

"Gue bisa jaga diri." Hana mendengus kecil, setengah kesal dengan ceramahnya.

"Kalau bisa jaga diri, lo nggak bakal terjebak di halte itu, kan?" Ares melirik sekilas ke arah Hana, "Coba kalau gue nggak lewat situ? Lo mau pulang gimana?"

"Iya-iya, makasih. Puas lo?" jawabnya dengan nada ogah-ogahan.

"Ck, kok nggak tulus gitu? Padahal gue bantu lo tulus dan ikhlas, loh."

Hana meliriknya tajam, tapi tak berkata apa-apa. Ia tahu kalau ia membalas, perdebatan ini hanya akan semakin panjang.

"Jaket gue aja udah lo pakai," lanjut Ares, "harusnya lo bilang terima kasih yang bener, bukan ngomel-ngomel."

Hana memutar bola matanya, tapi akhirnya menyerah. "Fine. Terima kasih, Pak Polisi yang baik hati dan tidak sombong, udah nolongin gue di tengah hujan badai ini," ujarnya dengan nada datar, jelas-jelas tidak ikhlas.

Ares tertawa kecil, nada suaranya lebih ringan sekarang. "Gitu dong, nggak susah kan bilang makasih?"

Hana hanya mendengus pelan, memalingkan wajahnya ke jendela. Hujan masih deras di luar sana. Andai saja malam ini ia tak bertemu dengan Ares, bagaimana ia bisa pulang?

***

Hana hanya mendengus pelan, memalingkan wajahnya ke jendela. Tetesan hujan yang deras memburamkan pandangannya ke luar, menciptakan bayangan samar dari lampu jalan yang memantul di permukaan kaca.

Pikirannya melayang, merenungkan kebetulan aneh yang mempertemukannya dengan Ares malam ini. Andai saja pria itu tak lewat di halte, bagaimana ia bisa pulang? Apakah ia akan terus terjebak dalam dingin yang menggigil, basah kuyup tanpa ada seorang pun yang peduli?

Mobil terus melaju, membelah malam yang diguyur hujan deras. Suasana di dalam mobil menjadi hening, hanya suara wiper yang bergerak ritmis di kaca depan, seperti detak waktu yang tak pernah berhenti.

Sesaat, Hana melirik Ares yang sedang fokus pada jalan di depannya. Wajahnya yang serius, sorot matanya yang tajam, dan caranya berbicara yang cenderung bossy—semua itu membuat Hana kesal, tapi sekaligus sulit mengabaikan rasa aman yang aneh saat bersamanya.

"Lo lagi mikirin apaan?" suara Ares tiba-tiba memecah keheningan, membuat Hana sedikit tersentak dari lamunannya.

"Nggak ada," jawabnya cepat, kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela.

"Yakin?" Ares melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum setengah mengejek.

Hana memilih diam, menahan diri untuk tidak membalas godaan pria itu. Ia tahu, jika ia meladeni, pembicaraan ini hanya akan semakin melebar ke arah yang tidak ia inginkan.

"Jangan terpesona sama gue, ingat gue udah punya tunangan," kata Ares jahil, sambil mengangkat tangannya untuk memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Percaya diri banget, lo. Gue suka sama lo?"  Hana begidik, "kayak nggak ada cowok lain aja di dunia ini, lagian hati gue juga udah ketutup buat cowok lain."

Ares tertawa kecil, "Gue cuma ngingetin. Kadang cewek suka kebawa suasana kalau udah kehujanan dan dijemput pria tampan kayak gue."

"Tampan? Sadar diri dikit, Pak Polisi," balas Hana, akhirnya tak bisa menahan diri untuk ikut membalas. "Dan tenang aja, gue nggak tertarik sama lo. Lagian, Zahra itu temen gue. Gue nggak segila itu buat nyolong tunangan orang."

Ares tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Bagus. Soalnya, walaupun lo tergoda, gue nggak bakal ngelepasin Zahra."

"Ngimpi lo terlalu tinggi, wahai Pak Polisi yang terhormat," balas Hana cepat dengan nada tajam, tapi matanya tetap menatap lurus ke depan. "Gang depan belok kiri, rumah ketiga."

"Rumah lo?" tanya Ares, sambil melirik sekilas ke arah Hana, bibirnya melengkung tipis dengan senyuman khasnya yang menyebalkan.

"Bukan, rumah tetangga gue!" jawab Hana sarkastik.

Ares terkekeh pelan, benar-benar menikmati setiap momen melihat ekspresi kesal gadis cantik itu. "Nyolot banget, sih. Gue cuma nanya, kok."

"Lo ngeselin!" Hana melipat tangan di depan dada, menahan diri untuk tidak meledak.

"Oke-oke, cil."

Ketika akhirnya mobil berhenti di depan rumah yang dimaksud Hana, Ares menoleh. "Lo yakin ini bukan rumah tetangga lo, kan?" tanyanya sambil menaikkan alis, jelas-jelas menggodanya.

Hana mendengus keras, membuka pintu mobil tanpa repot menjawab. "Thanks for nothing," katanya sebelum menutup pintu dengan sedikit hentakan.

Ares tertawa kecil di balik kemudi, menyalakan lampu sen ke kanan, dan melaju pergi, meninggalkan Hana yang berdiri di depan rumah sambil memandangnya dengan sorot kesal.

"Dasar nyebelin," gumam Hana sambil menghentak-hentakan kakinya, masuk ke dalam rumah.

***

Keesokan harinya, suasana di kantin kampus terasa lebih hidup dari biasanya. Zahra datang dengan senyum lebar yang tidak biasa, membuat Dafa langsung memasang ekspresi jahil.

"Cie... cerah amat mukanya, Neng. Abis dikasih jatah ya sama Mas Ares semalam?" goda Dafa sambil menyenggol bahu Zahra.

Zahra mendengus kecil sambil tertawa, tapi tak menjawab. Senyumnya malah makin lebar, membuat Dafa semakin heboh. "Eh, serius nih?! Lo beneran dapet bonus romantis dari tunangan lo, ya? Ayo, cerita dong!"

Di sisi lain, Hana yang duduk tidak jauh dari mereka hanya bisa mendengus kesal. "Dih, emang cowok nyebelin kayak Ares bisa bikin orang seneng?" batinnya, mengingat kejadian menyebalkan semalam.

Berbeda dengan ekspresi kesal Hana, Zahra terlihat sangat menikmati suasana pagi itu. "Dafa, lo tuh kebanyakan nonton drama deh," balas Zahra akhirnya. "Mas Ares emang sweet, tapi nggak seperti yang lo bayangin."

"Oh, jadi emang bener sweet? Ayo, spill dong! Kalian berdua habis nyicil kuping atau hidungnya dulu?" desak Dafa, semakin gemas sambil menyanyikan lagu 'madu dan garam' ekspresi wajahnya sangat menjiwai sekali.

Sakit dadaku, kumulai merindu

Kubayangkan jika kamu tidur di sampingku

Di malam yang semu, pejamkan mataku

Kubayangkan tubuhmu jika di pelukanku

Merasa jijik dengan ekspresi Dafa yang seperti cacing kepanasan, Hana menoyor kepala Dafa, diikuti oleh Yuna yang tak mau ketinggalan menganiaya si Dafa. Kepala Dafa nyungsep ke kanan dan ke kiri.

"Dasar omes!"

"Ih... Kalian apa seh? Ini bukan maenan, gimana kalau tiba-tiba gue gagar otak gegara kalian berdua mainin kepala gue? Kalau mau mainin nih kepala bawah gue!" Dafa menunjuk kearah celananya.

Bugh! 

Kali ini bukan toyoran lagi, melainkan tinju maut yang Yuna layangkan ke perut Dafa.

"Sebenarnya gue mau tinju perkutut lo, Fa! Tapi karena kasihan nanti nggak bisa berdiri lagi, jadi agak gue naikan dikit sasarannya."

Dafa mendelik, tangannya memegangi perutnya tempat tinju Yuna mendarat tadi. Meski pukulan itu pelan, tapi tepat sasaran, membuatnya kehilangan kata-kata untuk sesaat. Bahkan erangan kesakitannya hanya terpendam.

"Parah lo, Yun!"

"Gapapa, Ra. Biar nih kadal buntung sadar diri, jangan mesum mulu pikirannya," jawab Yuna santai sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Dafa yang sudah mulai pulih dari rasa sakit, mencak-mencak sambil melotot. "Babi lo, Yu! Gue buntingin juga lo, biar tahu rasa!"

"Sini, kalau berani."

Dafa tampak ragu sejenak, lalu menunjuk Yuna dengan gaya dramatis. "Jangan main-main sama gue! Nih, lo semua yang bakal jadi saksi kalo gue bakal balas dendam ke Yuna suatu hari nanti!"

"Silakan, gue tunggu kalo lo berani," jawab Yuna santai sambil menyeringai. "Tapi sebelum itu, mending lo cari akal biar otak lo nggak kosong lagi, Fa."

***

Zahra melangkah keluar dari gedung kampus, senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya saat melihat Ares sudah menunggu di dalam mobil. Lelaki itu bersandar santai di kursi pengemudi, tampak tetap karismatik meski hanya mengenakan kaos polos dan celana jeans.

"Mas harusnya nggak perlu repot-repot jemput kalau lagi sibuk," ujar Zahra lembut.

Ares menoleh padanya, matanya yang tajam melembut saat melihat wajah kekasihnya. "Mas nggak pernah sibuk kalau urusannya soal kamu."

Zahra tersipu, rona merah tampak di pipinya. Ia duduk dengan rapi lalu meraih seatbelt untuk menguncinya. Namun, saat tangannya meraih tali sabuk, pandangannya terhenti pada sesuatu di jok.

Gelang wanita berwarna emas dengan liontin kecil berbentuk hati tergeletak di sana, seperti sengaja ditinggalkan. Jantung Zahra berdegup kencang, senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh tatapan curiga.

"Mas," panggilnya pelan, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap netral. "Ini punya siapa?" Zahra mengangkat gelang itu, memperlihatkannya pada Ares.

Bersambung....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!