"Ambil apa pun yang lo mau, ini hadiah buat lo yang udah mau jadi bestai gue," ujar Ruka santai, tangannya sibuk mengagumi kuku-kuku cantiknya.
Hana memutar bola matanya, lalu mendengus kecil. "Bestai, sialan lo, Ruka!" Tapi meski protes, sudut bibirnya tak bisa menahan senyum. Ia pun mulai melangkah melihat-lihat deretan sepatu dan tas yang terpajang rapi di etalase butik mewah itu.
Seorang pramuniaga dengan setelan rapi menghampiri. Senyum profesionalnya mengembang sempurna. "Kakak-kakak cantik, ini koleksi terbaru kami," katanya sambil mengangkat sebuah tas berbahan kulit buaya yang memancarkan aura eksklusif.
"Wuih…" Ruka nyaris kehilangan kata-kata. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan impiannya. Tas limited edition itu tampak berkilau sempurna di bawah cahaya lampu butik.
Hana melirik tas tersebut dengan ekspresi menggoda. "Lo yakin mau beliin gue ini?" tanyanya sambil menaikkan alis, suaranya penuh nada menantang.
Tanpa pikir panjang, Ruka menoleh ke pramuniaga. "Bungkus dua, Mbak," katanya dengan nada penuh keyakinan.
"Heh?!" Hana melongo, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Gue juga mau. Ini cantik banget, Han, mana mungkin gue bisa nahan diri," bisiknya penuh semangat, matanya masih terpaku pada tas di tangan pramuniaga.
"Dasar! Lo emang nggak bisa lihat barang bagus, langsung kalap," keluh Hana sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi meskipun begitu, ia tak bisa menahan tawa kecil yang lolos dari bibirnya.
"Eh, itu tandanya gue punya selera tinggi," sahut Ruka santai.
Setelah puas berbelanja, dua gadis cantik itu melangkah keluar dari butik dengan tas belanjaan yang menggantung di tangan masing-masing. Langit sore mulai berubah warna, memberikan sentuhan keemasan pada trotoar yang sibuk.
Ting!
Nada pesan masuk terdengar dari ponsel Ruka. Calon mama muda itu berhenti sejenak, mengeluarkan ponselnya dari tas kulit buaya barunya, lalu membaca pesan yang muncul di layar.
"Dasar, baru ditinggal setengah hari aja udah ngereog," gumamnya pelan sambil menghela napas, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Kenapa?" tanya Hana penasaran, melirik ke arah sahabatnya.
"Biasa, laki gue," jawab Ruka sambil mengangkat bahu. "Katanya udah kangen. Padahal kita baru jalan setengah hari, kan?"
"Lebay banget, najong! Tapi serius deh, mending lo pulang. Nggak usah nginep. Ntar laki lo ngacak-ngacak rumah lagi—ahhh..."
Ucapan Hana terhenti mendadak ketika tubuhnya dihantam cukup keras oleh seseorang.
Tubuh ramping itu terpelanting, nyaris limbung ke belakang. Sebelum ia benar-benar jatuh, tangan kekar seseorang dengan cepat melingkari pinggangnya, menahannya agar tetap berdiri.
"Maaf, Mbak," ujar suara berat dari lelaki itu.
Hana mendongak, pandangannya langsung bertemu dengan sepasang mata gelap yang tajam. Lelaki tinggi dengan tubuh atletis itu tampak sedikit panik namun tetap menjaga ekspresi tenangnya. Wajahnya terlihat seperti seseorang yang sering muncul di layar drama, dengan rahang tegas dan kulit kecokelatan yang sempurna.
Hana mengerjap beberapa kali, terlalu terkejut untuk berkata apa-apa. Lelaki itu melepaskan tangannya perlahan dari pinggang Hana, memastikan ia sudah bisa berdiri dengan stabil. "Sekali lagi, maaf ya. Saya nggak sengaja. Lagi buru-buru tadi."
Ruka, yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu, langsung menyikut lengan Hana. "Eh, Han, lo ngapain bengong? Cowoknya udah bilang maaf, tuh," godanya dengan senyum penuh arti.
"Ah iya, nggak apa-apa," jawab Hana cepat.
Lelaki itu mengangguk sopan, lalu melirik sekilas ke arah Ruka yang sedang menyeringai. "Kalau begitu, saya duluan, permisi," katanya, sebelum beranjak pergi dengan langkah panjang.
Begitu lelaki itu hilang dari pandangan, Ruka langsung meledak dalam tawa. "Hahaha! Gila, Han! Lo kayak adegan drama banget barusan. Yang nahan pinggang lo itu... duh, kayak pangeran di film!"
"Diam, lo!" Hana berseru, wajahnya merah padam. "Tadi itu cuma kecelakaan, nggak usah lebay."
Ruka menyipitkan mata, memasang senyum penuh makna. "Kecelakaan yang manis, ya? Siapa tahu itu takdir, Han. Siapa tahu..."
"Nggak jelas lo!"
***
Mobil yang mereka kendarai melaju perlahan hingga akhirnya berhenti di depan rumah Hana. Malam itu terasa tenang, hanya suara serangga malam yang samar terdengar. Namun, perhatian Hana langsung tertuju pada sosok yang berdiri di depan pagar rumahnya. Seorang lelaki tampan dengan pakaian santai sedang bersandar santai di mobilnya, tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Wajahnya yang tajam terlihat akrab, meskipun senyum tipisnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak.
"El?" gumam Hana, matanya menyipit seolah memastikan penglihatannya.
Ruka, yang duduk di sebelahnya, langsung menegang. Ia menatap lelaki itu dari balik kaca mobil, lalu mendesah panjang. "Astaga... ngapain dia di sini?" gumamnya frustrasi.
Hana melirik Ruka, mencoba membaca ekspresi sahabatnya yang kini terlihat gelisah. "Lo nggak tahu dia bakal datang?" tanyanya pelan.
"Enggak," jawab Ruka datar, meskipun jelas-jelas ia tampak terganggu.
Sebelum Hana sempat merespons, Suami Ruka melangkah mendekati mobil mereka. Dengan gerakan santai, ia mengetuk kaca jendela di sisi Ruka. Mau tak mau, Ruka membuka kaca mobil itu, meskipun wajahnya penuh ketidaksenangan.
"Baby," sapa El manja. "Pulang, ya? Gue nggak bisa tidur sendiri."
Hana memutar bola matanya malas mendengar gombalan pasutri itu. Sementara Ruka mencoba menahan emosinya. "El, gue udah bilang—mau nginep di rumah Hana."
"Terus gue gimana, hm? Masa tega sih?"
Hana memandang keduanya bergantian, merasa terjebak dalam drama rumah tangga alay yang tak ia pahami sepenuhnya. "Udah sih lo balik aja Ruka. Kasihan itu bayi gede lo mau mentil."
"Tapi Han..."
"Ssst.... Bawa bini lo pulang, El!" Titah Hana cepat. "Besok gue ke apartemen lo, gue bantuin lo packing."
***
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Ruka, sahabat terbaik Hana, harus meninggalkan Indonesia untuk pindah ke London, menemani suaminya, El, yang melanjutkan studi di sana. Momen ini terasa berat, terutama bagi Hana, yang selama ini selalu memiliki Ruka di sisinya dalam setiap suka dan duka.
Mereka berdiri di ruang keberangkatan bandara. Ruka memeluk Hana erat, seolah enggan melepaskannya. Pelukan itu penuh kehangatan, sekaligus kepedihan. Mata Ruka sedikit berkaca-kaca, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tersenyum.
“Telepon gue, ya? Lo masih bisa curhat sama gue via telepon, Han. Jangan pernah ngerasa sendiri lagi,” kata Ruka dengan suara lembut, meskipun ada nada tegas di dalamnya.
“Iya, iya, bawel,” balas Hana dengan nada canda, meskipun hatinya juga terasa berat. Ia mencubit pipi Ruka yang kini mulai sedikit tembam. “Lo juga, di sana jaga kesehatan, hm. Jaga ponakan gue. Dan jangan lupa kabarin gue kalau El mulai macem-macem.”
Ruka terkekeh, tapi sebelum ia bisa menjawab, El, yang berdiri tak jauh dari mereka, langsung menyahut. “Ck, itu nggak mungkin, Hana,” katanya sambil menyilangkan tangan di dada. “Gue janji bakalan selalu prioritasin istri gue dan... si El junior nanti,” tambahnya dengan senyum bangga.
Hana memutar bola matanya, mencoba menyembunyikan rasa haru yang mendesak di dadanya. “Pokoknya, kalau El macem-macem, lo bilang gue. Gue kejar tuh anak sampai ke ujung dunia.”
“Iya-iya,” kata Ruka sambil menatap Hana dengan pandangan penuh kasih. “Gue bakal kangen lo, tahu?”
Hana tersenyum, tapi matanya mulai berkaca-kaca. “Gue juga bakal kangen lo, Ruka.”
Ketika akhirnya panggilan terakhir untuk penumpang diumumkan, Ruka menghela napas panjang. Ia melepas pelukan itu perlahan, lalu menggenggam tangan Hana untuk terakhir kalinya. “Jaga diri, ya,” bisiknya sebelum berbalik, menggandeng tangan El, dan melangkah menuju gerbang keberangkatan.
Hana berdiri di sana, melihat punggung sahabatnya yang perlahan menjauh. Hatinya terasa kosong, tapi ia tahu ini bukan perpisahan selamanya. Persahabatan mereka terlalu kuat untuk dikalahkan oleh jarak.
Saat akhirnya Ruka dan El menghilang dari pandangannya, Hana menarik napas dalam-dalam dan tersenyum kecil. “Sampai ketemu lagi, Ruka,” gumamnya pelan, meskipun air mata yang tertahan mulai mengalir di pipinya.
Dengan langkah berat, Hana keluar dari bandara dan menunggu taksi. Tiba-tiba, muncul seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun dengan pakaian lusuh berdiri di hadapannya. "Kakak cantik," panggilnya.
"Ya."
Bocah itu menyodorkan sebuah kertas yang dilipat, "ini buat kakak."
"Apa ini?"
"Buka saja, kak. Saya cuma disuruh kasih kertas ini ke kakak."
Hana mengambil kertas tersebut dan membacanya. Matanya membelalak sempurna saat membaca isi pesan yang tertulis disana.
"Siapa yang kasih kertas ini, dek?"
Namun, bocah itu sudah tak terlihat lagi di tempatnya. Mata Hana menyisir sekitar tempat tersebut, namun tak menemukan bocah itu lagi.
"Sialan!" Umpat Hana, lalu memasukkan kertas tersebut kedalam tas dan masuk ke dalam taksi.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments