"Gue tahu siapa orang yang lo cari, Colosseum jam 22.30."
Hana membaca kalimat itu berulang-ulang, mencoba mencari petunjuk dari pesan kertas tersebut. Tak ada tanda tangan, tak ada nama pengirim, hanya pesan singkat yang entah kenapa terasa seperti teka-teki yang mendesak untuk segera dipecahkan.
Siapa yang mengirim ini? Dan kenapa sekarang?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, tapi tak ada jawaban yang bisa ia temukan.
Hana mengembuskan napas panjang, menggenggam kertas itu erat seakan takut kehilangan. Colosseum? Apakah ini yang ada di pikirannya—Colosseum, tempat hiburan malam di pusat kota?
Ia melirik jam di dinding. Masih pukul 20.00. Waktu cukup untuk mempersiapkan diri, meskipun pikirannya masih dipenuhi keraguan.
Pergi atau tidak?
Namun, jauh di dalam hatinya, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Jika benar ini tentang orang yang selama ini ia cari, maka ia tak bisa melewatkannya begitu saja. Dengan hati-hati, ia menyimpan kertas itu ke dalam tas kecilnya, lalu bergegas ke kamarnya.
“Colosseum, jam 22.30,” gumam Hana pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Apa pun yang terjadi, gue harus cari tahu."
***
Hana tiba di Colosseum tepat pukul 22.30. Club malam itu memancarkan cahaya neon yang berpendar, memantulkan warna-warna mencolok di jalan basah oleh hujan. Suara dentuman musik terdengar jelas bahkan dari luar, seolah mengundang siapa pun yang melewati tempat itu untuk masuk dan terhanyut dalam gemerlap dunia malamnya.
Hana berdiri sejenak di depan pintu, mengatur napasnya. Ini adalah kali pertama dia masuk ke tempat seperti ini sendiri, dan hanya membawa secarik kertas itu, tanpa tahu siapa yang akan ditemuinya atau apa yang menunggunya di dalam.
Namun, rasa penasaran yang menggebu-gebu, membuat gadis itu mantap melangkah maju. Ia menunjukkan kartu identitasnya pada penjaga pintu bertubuh kekar, yang hanya meliriknya sekilas sebelum mengizinkannya masuk.
Begitu pintu terbuka, dunia yang berbeda menyambut Hana. Lampu-lampu strobo berkedip dalam irama yang memabukkan, menyorot wajah-wajah asing yang terhanyut dalam musik. Aroma alkohol, parfum mahal, dan asap rokok bercampur menjadi satu, menyesakkan namun tak bisa dihindari.
Hana berjalan melewati kerumunan dengan hati-hati. Sepatunya yang bertumit rendah hampir terinjak beberapa kali oleh orang-orang yang menari liar di lantai dansa. Ia melirik ke kanan dan kiri, mencari sesuatu—atau seseorang—yang mungkin memberi petunjuk lebih lanjut.
"Gue tahu siapa orang yang lo cari." Kata-kata di kertas itu terngiang kembali dalam pikirannya. Tapi siapa? Dan di mana mereka?
Hana menemukan tempat di sudut yang agak sepi, dekat dengan bar. Lalu memesan segelas air mineral, mencoba menenangkan diri sambil mengamati sekeliling. Matanya terus mengawasi setiap orang yang lewat, berharap menemukan seseorang yang terlihat seperti sedang menunggunya.
"Sendirian, cantik?" Suara seorang pria menginterupsi pikirannya. Ia menoleh dan melihat seorang lelaki tua hidung belang tersenyum dan berdiri di sampingnya. Namun, Hana hanya menggeleng singkat tanpa berniat memulai percakapan.
"Mau Om temenin? Kebetulan Om juga sendiri." Desaknya, sambil duduk di sebelah Hana.
"Nggak, gue lagi nunggu pacar gue." Bohong Hana, mencoba mengusir pria hidung belang itu.
"Mana? Kayaknya pacar lo nggak dateng deh. Gimana kalau sama Om aja, Om bayarin apapun yang lo pesen malam ini."
Merasa risih, Hana bangkit berniat pindah tempat duduk. "Permisi." Katanya menolak dengan tubuh gemetar. Baru kali ini dia pergi ke club dan langsung dihadapkan dengan Om-om hidung belang menyebalkan.
Grep!
Pria hidung belang itu menahan pinggang Hana dengan santainya. "Mau kemana cantik? Kenapa buru-buru."
Reflek Hana memekik ketakutan, "Tolong Om, lepasin gue. Gue bukan Ani-Ani. Om salah orang."
Bukannya berhenti, Om-om bertubuh gempal itu terkekeh melihat respon Hana yang ketakutan, lucu dan menggemaskan. Suara tawanya membuat bulu kuduk Hana merinding sebadan-badan.
Hana mencoba menghempaskan tangan pria itu dari pinggangnya, tapi tubuh gempalnya membuat usahanya sia-sia. Tubuh Hana gemetar hebat, campuran rasa takut dan jijik merayap di sekujur tubuhnya. Musik yang memekakkan telinga dan suasana riuh di sekitar mereka membuat teriakannya tak banyak menarik perhatian.
“Tolong, Om, lepasin gue!” serunya lagi, tapi pria itu justru terkekeh puas.
“Tenang aja, cantik. Om cuma mau ngobrol kok,” katanya, matanya memindai Hana dari atas ke bawah dengan tatapan yang membuat Hana jijik dan mual.
Refleks Hana mencoba mendorongnya lagi, namun pria itu justru semakin menempelkan tubuhnya. Kepanikan mulai menguasai Hana. Baru pertama kali ia masuk ke tempat seperti ini, dan sudah harus menghadapi situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Tiba-tiba, sebuah tangan lain menyentuh bahunya, tapi kali ini terasa berbeda—kuat namun tegas.
“Lepasin dia.”
Suara berat itu memecah suasana. Hana menoleh, dan matanya bertemu dengan seorang pria jangkung dengan rahang tegas dan sorot mata dingin. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam yang memantulkan lampu strobo. Wajahnya serius, tak menunjukkan sedikit pun toleransi terhadap tindakan si pria gempal.
“Eh, siapa lo? Gue lagi ngobrol sama dia,” ujar pria hidung belang itu dengan nada menantang, meski jelas ada sedikit gugup di matanya.
“Gue bilang, lepasin cewek ini,” ulang pria itu dengan nada yang lebih rendah, tapi penuh ancaman.
Tanpa menunggu jawaban, pria jangkung itu mencengkeram pergelangan tangan si hidung belang dan menariknya dengan kekuatan yang cukup untuk membuat pria gempal itu terhuyung ke belakang. “Pergi sebelum gue bikin lo nggak bisa berdiri,” ancamnya.
Si hidung belang mengumpat pelan sambil merapikan pakaiannya. “Santai aja, Bro. Gue cuma bercanda,” katanya, lalu bergegas menghilang ke tengah kerumunan.
Hana berdiri mematung, tubuhnya masih bergetar. Ia memandang pria yang baru saja menyelamatkannya dengan campuran rasa lega dan syok.
“Cepat pergi,” kata pria itu menatap Hana dengan ekspresi serius, “Ini bukan tempat lo.”
“Tapi…"
“Tapi lo nggak aman di sini. Gue harap lo nggak keras kepala, Cil."
Hana menatap pria itu dengan ekspresi bingung sekaligus kesal. "Cil?" ulangnya, nada suaranya naik setengah oktaf. "Gue udah 18 tahun, jelas-jelas bukan bocil. Udah punya KTP juga."
Pria itu hanya menyeringai tipis, tangannya masih terlipat di dada. "Kelakuan lo yang datang sendirian ke tempat kayak gini tanpa tahu apa-apa cukup bikin lo kelihatan kayak bocil. Sekarang, cepat pergi sebelum ada masalah lagi."
"Denger ya, gue di sini bukan buat main-main," Hana membalas dengan nada defensif. "Gue ke sini karena pesan itu." Ia mengeluarkan kertas lusuh dari tasnya, menunjukkannya kepada pria itu. "Lo tahu soal ini?"
Pria itu mengerutkan kening, mengambil kertas itu, lalu membacanya cepat. Pandangannya berubah, dari santai menjadi serius dalam sekejap.
"Sial," gumamnya pelan. Ia melipat kembali kertas itu dan mengembalikannya pada Hana. "Pesan ini nggak pernah bermaksud bantu lo. Gue yakin ini cuma cara buat mancing lo keluar."
Hana memutar bola matanya. "Lo lagi-lagi bilang gue nggak aman. Tapi lo siapa? Dan kenapa lo peduli banget sama gue?"
Pria itu mendekat, menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan Hana. "Gue peduli karena lo nggak ngerti seberapa dalam masalah yang bisa lo hadapi di sini. Gue nggak tahu siapa yang ngirim pesan ini, tapi percaya sama gue, lo nggak aman disini. Pergi atau lo bakalan nyesel tetap tinggal disini."
Hana mundur selangkah, bingung antara merasa terintimidasi atau penasaran. "Kalau lo tahu tempat ini berbahaya, kenapa lo ada di sini?" tantangnya.
Pria itu menyeringai lagi, kali ini dengan nada misterius. "Karena gue tahu cara bertahan. Lo? Lo bahkan nggak bisa ngusir om-om yang gangguin lo tadi."
Wajah Hana memerah. "Itu beda!"
"Udah cukup. Gue nggak punya waktu buat debat sama lo. Kalau lo pintar, lo bakal cabut sekarang juga."
Tapi Hana tetap diam, tubuhnya tegang. Bagian dari dirinya ingin lari seperti yang disarankan pria itu, tapi rasa penasaran yang membara membuatnya sulit mundur. Pesan itu, janji tentang seseorang yang ia cari, terus berputar di kepalanya.
Pria itu menghela napas lagi, kali ini dengan nada frustrasi. "Kalau lo nggak mau pergi, gue nggak janji lo akan aman disini, Cil."
Hana melotot. "Gue bilang jangan panggil gue bocil!"
Pria itu hanya terkekeh, lalu menunjuk dengan dagunya ke arah pintu keluar. "Disana pintu keluarnya, Cil? Tunggu apa lagi."
"Sialan!" Hana menghentakkan kakinya ke lantai, lalu berbalik dengan sebal. "Siapa dia berani-beraninya ngusir gue dari sini."
Sambil berjalan menjauh, Hana memeriksa jam tangannya—23.31. Siapa pun yang mengirim pesan itu, belum juga menunjukkan diri. Benarkah ini hanya jebakan? Hana mulai merasa tak nyaman lama-lama berada ditempat ini.
Tepat saat Hana keluar dari tempat itu, seorang pria tersenyum smirk, penuh arti. Tangannya dengan santai memasukkan sesuatu ke dalam saku jaketnya, lalu ia berbalik perlahan, menghilang di tengah keramaian club yang ramai.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Mas Sigit
ceritany sungguh bikin jantung q dug"ser krn penasaran sekaligus tegang krn takut hana kenapa"
2025-04-08
0