Bab 15

"Mas, ini punya siapa?" Zahra mengangkat gelang yang ia temukan, memperlihatkannya pada Ares.

Ares melirik sekilas ke arah gelang itu, ekspresinya datar seolah tidak ada yang salah. "Oh, itu mungkin punya sepupu Mas. Kemarin dia sempat pinjam mobil ini buat ke acara keluarganya."

Zahra diam sejenak, matanya tetap fokus pada wajah Ares, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan. "Sepupu Mas yang mana?"

Ares menatap jalan di depannya, tangannya menggenggam setir lebih erat. "Yasmin. Kamu tahu kan, sepupu Mas yang di Jakarta itu."

"Oh, Yasmin." Zahra mengangguk, alih-alih merasa lega, perasaan Zahra justru semakin tidak tenang. Yasmin memang sepupu Ares, tapi setahu Zahra, wanita itu bukan tipe yang memakai perhiasan mencolok seperti gelang ini. "gelangnya mirip banget sama punya Hana."

"Kamu nggak mikir aku sama Hana punya hubungan spesial, kan?"

Zahra terkekeh, "mana mungkin, Mas. Hana sahabatku, nggak mungkin juga tega nikung aku."

Ares mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Zahra dengan lembut. "Kamu nggak perlu khawatir. Mas cuma milik kamu, nggak ada orang lain," ucapnya, penuh keyakinan.

Zahra mengangguk kecil, tapi dalam hatinya, perasaan tak nyaman itu masih mengganjal. Ia mencoba tersenyum lagi, meski tidak sehangat sebelumnya. Mobil pun melaju meninggalkan kampus, menyisakan suasana hening yang penuh dengan pikiran-pikiran tak terucap.

***

Di bawah kanopi depan gedung kampus yang mulai lengang, Hana dan Yuna berdiri sambil menatap layar ponsel masing-masing, memastikan driver ojek online mereka tak batal di tengah jalan. Hujan gerimis mulai turun, menciptakan suasana dingin yang sedikit memperlambat pergerakan para mahasiswa lainnya.

"Si Dafa beneran ngambek sama gue?"

Hana, yang sejak tadi lebih sibuk memperhatikan titik driver di layar ponselnya, melirik Yuna sambil menahan tawa. "Beneran. Lo nggak lihat tadi dia langsung cabut tanpa pamit? Baperan banget melebihi perawan aja."

"Biarin aja, cowok nggak jelas kayak dia mending jauh-jauh deh."

"Hati-hati, Yun. Jangan terlalu benci sama orang. Lo tahu kan, benci sama cinta itu beda tipis."

Yuna langsung menoleh, menatap Hana dengan ekspresi tak percaya. "Lo serius, Han? Gue sama si Dafa? Nggak banget, sumpah! Kalau cinta itu ada jaraknya, cinta gue ke dia tuh sejarak bumi sama Pluto!"

Hana terkekeh pelan, jelas menikmati reaksi berlebihan sahabatnya itu. "Ya siapa tahu, Yun. Kadang cinta datang dari hal-hal yang nggak kita duga. Lo bisa aja tiba-tiba klepek-klepek sama banyolan absurdnya Dafa."

"Duh, amit-amit deh," balas Yuna sambil memutar bola matanya. "Gue lebih milih jomblo seumur hidup daripada harus sama dia."

Hana hanya menggeleng sambil tersenyum. "Eh, btw lo tahu tempat les bela diri nggak, gue pengen bisa bela diri."

"Karate atau taekwondo?"

"Terserah yang mana aja, asal jangan sampai isi kodam."

Yuna terkekeh, "emang kenapa? Kalau punya kodam kan enak? Ada yang jagain."

"Serem tahu, yang ada gue ntar bisa lihat mahluk halus lagi." Hana begidik ngeri membayangkan mahluk tak kasat mata.

Yuna tertawa pelan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Serius, lo takut sama hal-hal gituan? Padahal katanya lo tuh pemberani."

"Pemberani kan beda sama nyari masalah sama hal gaib, Yun. Gue nggak mau punya bodyguard tak kasat mata yang bisa bikin gue lihat hal-hal yang nggak seharusnya dilihat. Udah cukup horor hidup gue selama ini."

"Horor apaan? Kayaknya hidup lo datar-datar aja deh," balas Yuna, setengah meledek.

"Lo lupa gue pernah lihat penampakan di lorong kampus malam-malam? Udah kapok banget gue," ujar Hana sambil memeluk dirinya sendiri, seolah menggigil meskipun udara di sekitarnya tidak dingin.

"Oh iya, yang lo bilang ngeliat cewek rambut panjang di pojok lorong? Terus ternyata cuma bayangan pohon sama bayang-bayang lo sendiri?"

Hana melotot tajam. "Ngapain lo ungkit-ungkit! Itu kan tetap aja pengalaman nggak enak buat gue."

"Iya-iya, sorry, gue bercanda. Kalau lo serius mau les bela diri, gue ada kenalan instruktur karate yang bagus. Lokasinya deket kosan gue, tempatnya juga enak."

"Serius?" tanya Hana, antusiasme mulai terlihat di wajahnya. "Gue mau dong, anterin kesana."

"Lah, ojol lo gimana?"

"Gampang itu."

***

Setelah perjalanan singkat dengan ojek online, Hana dan Yuna akhirnya tiba di tempat les karate yang Yuna usulkan. Lokasinya sederhana namun rapi, sebuah ruko dengan lantai pertama yang diubah menjadi dojo. Dari luar, suara langkah kaki kecil menghentak lantai terdengar jelas, diiringi teriakan semangat para bocah yang tengah berlatih.

Hana melangkah masuk dengan ragu, sementara Yuna tampak santai seperti biasa. Pandangan Hana segera tertuju pada sekumpulan anak-anak yang tengah belajar gerakan dasar karate. Beberapa di antaranya tampak serius, sementara yang lain sesekali mencuri pandang ke arah mereka berdua, penasaran dengan kedatangan dua gadis muda yang tampak asing.

Hana menoel lengan Yuna, "lo mau gue latihan sama bocil-bocil ini?"

"Kenapa emang? Lo kan juga pemula. Sama aja, Han. Mulai dari nol itu biasa."

"Yunaaa..." Hana mendesis kesal, "Masa gue harus sparring sama bocil? Kalau gue menang, nggak ada yang bisa dibanggain. Kalau kalah... duh, malu seumur hidup," keluh Hana sambil memutar bola matanya.

"Santai, Han. Gue cuma ngajak lo ke sini biar lo lihat-lihat dulu. Ada kelas untuk dewasa di lantai dua. Instruktur yang gue bilang tadi, sensei Rendy, ngajarnya di atas."

Mendengar penjelasan itu, Hana mendesah lega. "Oh, syukurlah. Gue udah kebayang bakal dijadiin babysitter sambil latihan."

Mereka pun naik ke lantai dua, di mana suasananya terasa jauh berbeda. Ruangan ini lebih sepi, hanya ada beberapa orang dewasa yang tengah melakukan pemanasan. Seorang pria berusia sekitar 30-an, dengan tubuh atletis dan wajah tegas, berdiri di tengah ruangan sambil memberi arahan.

"Dia sensei Rendy?"

Yuna mengangguk sambil tersenyum jahil. "Iya, dia ganteng kan? Makanya gue semangat ngajak lo ke sini."

Hana menatap Yuna curiga. "Jangan-jangan niat lo ngajak gue ke sini bukan buat latihan, tapi buat pdkt sama dia?"

"Nggak, kok!" jawab Yuna gugup, membuat Hana semakin yakin dengan dugaannya.

"Nggak usah bohong kali, gue tahu apa yang ada di otak lo." Ledek Hana, membuat pipi Yuna memerah.

Sensei Rendy, yang menyadari kehadiran kedua gadis itu, mendekat sambil tersenyum ramah. "Halo, ada yang bisa saya bantu?"

Hana dan Yuna saling melirik sebelum akhirnya Yuna menjawab, "Temen saya ini mau daftar, Sensei."

Rendy mengangguk. "Bagus, kita selalu terbuka buat pemula. Kalau kamu serius, kita bisa mulai hari ini juga. Kebetulan kelas pertama saya sepuluh menit lagi selesai."

Hana mengangguk tanpa ragu. "Baik, saya mau."

"Wih, semangat banget lo, Han. Tadi masih ragu, sekarang langsung daftar. Salut, deh."

Hana hanya meliriknya sambil mengangkat alis. "Lo juga, dong. Nemenin gue sekalian olahraga."

"Enggak ah, gue kan cuma nganter," sahut Yuna sambil mengedikkan bahu.

Namun, beberapa menit kemudian, Yuna malah terlihat berdiri di samping Hana di ruang ganti, sibuk berganti pakaian ke seragam latihan. "Eh, kok lo ikut?" tanya Hana dengan nada penuh kecurigaan.

Yuna mengangkat bahunya santai. "Tiba-tiba kepikiran aja. Siapa tahu seru, kan?"

"Bilang aja lo mau modusin sensei Rendy."

"Ssssttt... Jangan kenceng-kenceng."

Setelah berganti pakaian, keduanya masuk ke ruang latihan. Rendy berdiri di depan kelas, memimpin pemanasan untuk kelompok pemula. Suasananya jauh lebih serius dibandingkan lantai bawah, tapi tetap terasa hangat dan menyambut. Hana dan Yuna berdiri di barisan belakang, mencoba mengikuti gerakan pemanasan dengan saksama.

Saat sesi dimulai, Rendy mengajarkan gerakan dasar pukulan dan tendangan. Hana berusaha keras mengikuti, meskipun beberapa kali ia merasa tubuhnya kaku dan sulit bergerak dengan benar. Di sisi lain, Yuna tampak lebih cepat beradaptasi, bahkan sesekali tersenyum puas setiap kali gerakannya lebih baik daripada Hana.

"Semangat, Han!" seru Yuna sambil meniru gerakan pukulan dengan penuh gaya.

Hana mendengus pelan, tapi tak mau kalah. Ia menggandakan usahanya, meskipun lengannya mulai terasa lelah. Minimal harus bisa membela diri sendiri, Red Dragon bukan geng biasa.

"Lo serius amat, Han," celetuk Yuna, menendang ringan angin di depannya. "Gue kira lo cuma ikut-ikutan buat gaya-gayaan."

Hana tak menanggapi, gadis itu mencoba memfokuskan pikirannya pada gerakan demi gerakan. Pukulan dan tendangan yang diajarkan Rendy tampak sederhana, tetapi membutuhkan ketelitian. Setiap kali Hana merasa gerakannya melenceng, Rendy akan mendekat dan memperbaiki posisinya dengan sabar.

"Bagus, Hana," ujar Rendy sambil mengangguk. "Coba lebih stabil di kaki, ya. Jangan terlalu tegang di pundak."

Hana mengangguk, mencoba mengikuti arahan Rendy. Ia tak peduli bahwa di sekitarnya, Yuna sesekali mencibir dan menyindir dengan nada bercanda. Fokusnya hanya satu: menjadi lebih kuat.

***

Setelah menghabiskan seluruh tenaganya pada latihan karate, Hana pulang dengan langkah berat dan wajah lelah yang tak bisa ia sembunyikan. Pikirannya sibuk mengulang gerakan yang diajarkan Rendy, seolah ingin memastikan semua yang dipelajarinya tertanam kuat di ingatan.

Namun, saat ia sampai di depan rumahnya, langkahnya terhenti. Matanya terpaku pada sosok yang berdiri di depan pintu, menunggunya dengan tatapan penuh arti.

"Han..."

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!