"Bareng gue aja, Han," tawar Zahra sambil menyandang tasnya. Empat sekawan itu kini berjalan menyusuri lorong kampus.
Hana menggeleng pelan. "Enggak, Ra. Gue nggak langsung pulang kok. Ada urusan penting."
"Urusan apa lo? Nggak ngajak-ngajak kita?" sela Dafa dengan nada sewot, seperti biasa selalu ingin ikut campur dengan masalah orang.
"Lo mau ikut? Ayok kalau mau. Tapi ini bukan tempat yang bisa bikin lo happy, malah mungkin bikin lo mati kutu."
"Dimana? Penjara?" jawab Dafa asal sambil memutar bola matanya, seperti menganggap itu lelucon.
Hana mengangguk serius. "Iya, jadi ikut kagak?"
Mendengar itu, Dafa langsung mundur sedikit sambil menutup dadanya dengan dramatis. "Idih, gila lo! Bisa digodain gue sama para napi di sana. Sorry to say ya, Hanhan. Dafa sih ogah."
Hana terkekeh kecil, lebih pada meledek. "Tadi katanya mau ikut."
"Ya, gue kira ke mall atau nyalon. Tapi kalau ke penjara sih, ogah banget. Lagian, lo mau ngapain kesana-sana, hah?"
Hana tersenyum tipis, tapi tak menjawab langsung.
"Iya, lo ngapain ke sana, Han? Serius banget urusannya?" Tanya Zahra ikut kepo.
"Ada urusan penting, Ra."
"Sepenting apa sih? Nengokin siapa lo?" Selidiki Dafa sambil mengerutkan keningnya.
"Ada deh. Kalau penasaran, makanya ayo ikut yuk."
Dafa langsung melambai-lambaikan tangan. "Ogah ah, terima kasih. Gue masih sayang sama hidup gue. Lagian, drama di hidup lo tuh terlalu berat buat gue, Hanhan."
Zahra mengangguk setuju. "Gue juga, Han. Gue serahin ini ke lo aja. Tapi lo hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa kabarin."
"Santai aja. Gue tahu apa yang gue lakuin. Ya udah gue duluan, takut kang ojol nungguin."
"Gue ikut, takut Mas Ares juga udah datang."
Setelahnya keempat sekawan itu berpisah, Hana dan Zahra ke arah pintu gerbang, sedangkan Yuna dan Dafa menuju ke parkiran. Tempat dimana motor Yuna terparkir.
"Lo yang bawa, cong!" Yuna melemparkan kunci motor pada Dafa.
Reflek tangan lentik Dafa menangkapnya, namun tak selang semenit, Dafa kembali melempar kunci motor kepada Yuna. "Enak aja majikan suruh bawa motor. Lo yang bawa motor, Yu. Titik! Kalau nggak mau lo jalan kaki sampai rumah."
Tak punya pilihan, Yuna manut saja ketimbang harus pulang sendiri. "Iya-iya, tapi awas jangan pegangan."
Baru juga mulut Yuna mingkem, tangan Dafa sudah melingkar di pinggangnya. "Gue takut jatuh Yu, mana bisa nggak pegangan?"
***
Ares sudah menunggu beberapa menit di depan kampus, berdiri bersandar pada mobilnya. Angin sore berhembus lembut, menerbangkan rambutnya. Begitu matanya yang hitam menangkap sosok Zahra berjalan keluar gerbang, senyum tipis langsung menghiasi wajahnya.
Namun, senyumnya berubah makin lebar saat ia menyadari Zahra tidak sendiri. Hana berjalan beriringan dengannya, tampak mengobrol santai. Ares tahu Hana cukup dekat dengan Zahra, tapi entah mengapa melihat wajah Hana saja membuat moodnya naik.
Zahra segera melambaikan tangan begitu melihat Ares. "Mas Ares! Udah lama nunggu, ya?" tanyanya dengan nada ceria.
"Nggak kok," jawab Ares sambil berdiri dan menyambut keduanya. Matanya sekilas melirik Hana. "Hai, pulang juga, ya?" Tanyanya basa-basi.
"Ya iyalah gue pulang, lo kira gue bakalan nginep disini?" Hana mencak-mencak, tapi hanya dalam hati saja.
Realitanya, Hana mengangguk pelan. "Iya."
"Mau bareng?"
"Hana mau pergi, Mas. Ada urusan mendadak." Jelas Zahra, sambil bergelantungan manja di lengan kekar tunangannya.
Ares mengangguk paham, meski rasa ingin tahunya tersirat. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Oh gitu, ya udah kita pulang dulu ya."
"Iya, hati-hati." Hana hanya tersenyum tipis, sambil melambaikan tangan, menyaksikan kedua sejoli itu masuk kedalam mobil.
Sesaat, Hana menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia membuka aplikasi ojek online, memastikan pesanan yang sudah ia buat. Nama pengemudi dan nomor kendaraannya muncul di layar, lengkap dengan estimasi waktu kedatangannya.
"Masih lima menit lagi," gumam Hana pelan, menatap sekeliling. Area kampus sudah mulai lengang, hanya beberapa mahasiswa yang masih berlalu-lalang. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, mencoba mengisi waktu dengan berdiri tenang, meskipun pikirannya jauh dari tenang.
Benar lima menit kemudian, ojek online yang dipesannya datang. Sebuah motor berhenti di dekatnya, dan pengemudi dengan jaket khas layanan ojek online membuka kaca helmnya, menatap Hana dengan ramah.
"Mbak Hana, ya?" tanya si pengemudi, memastikan identitas penumpangnya.
***
Setelah perjalanan yang cukup lama dan melelahkan, akhirnya motor yang Hana tumpangi berhenti di depan Rumah Tahanan (Rutan). Suasana di tempat itu terasa dingin dan menekan, meskipun matahari masih bersinar terang. Hana turun dari motor, membayar ongkos perjalanan, lalu melangkah masuk dengan langkah yang mantap, meskipun ada sedikit keraguan di hatinya.
Setelah melalui prosedur pemeriksaan, ia dipandu oleh petugas menuju ruang kunjungan. Di sana, seseorang sudah menunggunya. Welly. Pria itu adalah pembunuh kekasihnya, orang yang seharusnya ia benci, tapi anehnya menjadi satu-satunya harapan Hana untuk menemukan kebenaran.
Hana berdiri beberapa detik di depan kaca pemisah, mengamati Welly yang duduk di sisi lain. Pria itu tampak lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya di persidangan. Wajahnya keras, namun ada sorot mata yang sulit diartikan.
Welly menatap Hana dari balik kaca dengan tatapan tajam. "Nggak nyangka lo bakal datang kesini," ujarnya dingin.
Hana menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di kursi yang sudah disediakan. "Gue nggak akan basa-basi. Kasih tahu gue siapa yang udah mempengaruhi lo."
Pria itu menyeringai kecil, lalu tertawa penuh sindiran. "Kasih tahu? Apa untungnya buat gue bantu, lo?"
Hana mengepalkan tangan di bawah meja, menahan emosi yang mulai menggelegak. "Gue tahu lo cuma pion di lapangan. Gue tahu lo nggak kerja sendiri. Lo mau nyebut siapa dalang sebenarnya, atau gue harus nyari cara lain buat bongkar semuanya?"
Welly mendengus, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Lo pikir gue bakal ngomong cuma karena lo minta? Hidup gue udah selesai, Han. Apa untungnya gue buka mulut?"
Hana menatapnya tajam, kali ini tanpa ragu. "Karena lo tahu dia nggak akan berhenti di sini. Lo tahu dia bakal terus melukai orang lain. Dan kalau lo nggak mau bantu, semua ini nggak akan ada akhirnya."
Ada jeda panjang. Welly memandang Hana dengan ekspresi yang sulit ditebak, seperti sedang menimbang sesuatu. Suasana di ruangan itu terasa semakin berat, seolah waktu berhenti.
Akhirnya, Welly bersuara, "Persetan dengan orang lain. Itu bukan urusan gue," ujarnya sambil terkekeh menyebalkan. Tawanya terdengar dingin dan penuh sindiran, membuat darah Hana mendidih seketika.
"Lo pikir ini lucu?" Hana menatapnya tajam, suaranya penuh emosi yang tertahan. "Lo ngancurin hidup gue, lo ambil orang yang gue sayang, dan sekarang lo cuma mau duduk di sini dan ketawa?!"
"Terus lo mau apa, hah?"
Hana mengebrak meja dengan keras, membuat suara benturan menggema di ruangan itu. Ia bangkit dari kursinya, tubuhnya bergetar menahan emosi yang memuncak.
"Lo—" Hana menunjuk Welly dengan telunjuk gemetar dengan mata yang berkilat penuh kemarahan.
Sementara pria itu tetap duduk santai di kursinya, seolah menikmati setiap detik amarah Hana. Senyum tipis yang melekat di wajahnya hanya membuat darah Hana semakin mendidih.
"Lo pikir lo bisa lepas dari ini semua?! Lo pikir dengan diem di sini lo bakal aman? Nggak, Wel. Cepat atau lambat, mereka bakal datengin lo. Mereka nggak peduli lo udah di dalam rutan sekalipun."
Welly hanya terkekeh, seperti menertawakan ancaman itu. "Kalau gue udah mati, ya udah. Masalah selesai."
"Lo salah besar!" Hana memotong dengan tajam. "Masalah ini nggak bakal selesai, bahkan kalau lo mati sekalipun."
Welly hanya menatap gadis itu dalam diam, tak lagi terkekeh, tak lagi menyeringai. Sorot matanya mengikuti langkah Hana yang perlahan merotasikan tubuhnya, meninggalkan ruangan itu dengan kepala tegak.
Sebelum mencapai pintu keluar, Hana berhenti sejenak, memunggungi Welly. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan hatinya yang masih bergejolak. "Lo bisa terus main aman, Welly. Tapi ingat ini," suaranya terdengar tajam meski pelan, "saat semuanya hancur, itu karena pilihan lo buat diem."
Tanpa menunggu balasan, Hana melangkah keluar, meninggalkan Welly yang masih terpaku di tempatnya. Di balik tatapan kosongnya, ada sesuatu yang mulai terguncang. Tetapi apakah itu cukup untuk membuat pria itu berubah?
Saat Hana berjalan menyusuri lorong dengan langkah cepat, pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan Ares. Lelaki itu berdiri di dekat pintu keluar, sedang berbincang serius dengan salah satu sipir yang bertugas. Tubuhnya tegap, mengenakan kaos berkerah hitam dengan tulisan besar Turn Back Crime di dadanya, dipadukan dengan celana cargo yang terlihat praktis namun tetap memancarkan wibawa seorang aparat. Siapa pun yang melihatnya akan langsung tahu dia adalah anggota intel kepolisian, seseorang yang terbiasa berurusan dengan situasi berisiko tinggi.
Hana tertegun sejenak. "Pantesan dia selalu muncul di tempat-tempat tak terduga. Sepertinya dia sedang menangani sebuah kasus penting," pikirnya dalam hati.
Baru sekarang Hana menyadari sepenuhnya bahwa Ares, tunangan Zahra, adalah seorang polisi. Itu bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan mengingat Zahra berasal dari keluarga kepolisian. Ayahnya adalah seorang jenderal berpangkat tinggi, jadi wajar jika dia berpacaran dengan seseorang dari lingkup yang sama.
Tatapan Ares seketika beralih pada Hana. Sorot matanya tajam, memindai wajah gadis itu dengan ekspresi penuh tanya. Hana berusaha menjaga ketenangannya meski langkahnya melambat.
"Lo ngapain di sini, Cil?" tanya Ares.
"Urusan pribadi," jawabnya singkat, berusaha menghindari pertanyaan lebih lanjut.
Ares menyilangkan lengannya di dada, tubuhnya condong sedikit ke depan, menciptakan aura intimidasi tanpa sengaja. "Pribadi? Tempat ini bukan buat urusan pribadi, apalagi buat bocil kayak lo," ucapnya dengan nada penuh sindiran.
Hana terdiam sejenak, berusaha menahan emosi yang mulai menggelegak di dalam dadanya. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Bukan urusan lo," balasnya dingin, menatap langsung ke mata Ares tanpa gentar.
Pria itu hanya menyeringai kecil. Sebelum ia sempat membalas, sipir yang tadi berbincang dengannya melangkah mendekat. Sipir itu memberi hormat singkat kepada Ares sebelum berkata, "Ndan, saya masuk dulu."
Ares mengangguk kecil. "Ya, silakan. Terima kasih."
Sipir itu berlalu, meninggalkan mereka berdua. Hana masih berdiri tegak, mencoba mempertahankan ketenangannya meski ia tahu Ares sedang mengamatinya seperti seorang detektif membaca sebuah kasus.
"Jadi, lo ngapain di sini?" tanya Ares lagi, "Ketemu Welly? Cari jawaban? Atau cuma nyari masalah?"
"Lo sadar nggak sih, cil? kalau orang yang lo temui itu bukan cuma narapidana biasa? Dia pembunuh dan pion di tangan orang yang lebih berbahaya. Kalau lo main-main dengan dunia mereka, lo yang bakal jadi korban selanjutnya."
"Gue tahu risikonya. Tapi gue nggak akan mundur."
Ares memandangi gadis itu lebih lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Lo keras kepala." Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, ekspresinya sedikit melunak. "Tapi dengar ini, cil. Dunia mereka nggak bisa dihadapi cuma dengan tekad. Lo butuh perlindungan, lo butuh strategi. Kalau lo terus kayak gini, lo cuma bunuh diri."
Hana mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. "Kalau gue harus mati untuk tahu kebenarannya, itu risiko yang bakalan gue ambil."
Ares menggeleng pelan, senyum miris tersungging di sudut bibirnya. "Bodoh," gumamnya. Tanpa menunggu reaksi, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan gadis itu berdiri sendirian di lorong.
Hana hanya diam, matanya terpaku pada punggung Ares yang perlahan menjauh, hingga akhirnya menghilang di tikungan lorong. Ia menarik napas panjang.
"Gue yang bodoh, atau dia yang terlalu peduli?" pikirnya dalam hati.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments